MOJOK.CO – Bom bunuh diri di Medan pada 13 November 2019 pagi hanya memakan satu korban tewas. Korban sekaligus pelaku. Kok kayak sembarangan gitu sih?
Pagi di dekat kantin Polreta Medan, Sumatra Utara, terjadi ledakan bom pada pagi pukul 8.45 Rabu (13/11). Polisi menduga kuat teror ini merupakan aksi bom bunuh diri.
Hal yang cukup mengerikan adalah, Polresta Medan sedang ramai karena ada banyak orang sedang membuat SKCK. Maklum, saat ini periode pendaftaran CPNS, dan salah satu syarat pendaftaran memang melampirkan SKCK.
Beruntung ketika terjadi ledakan, posisinya agak jauh dari kerumunan masyarakat yang mengurus SKCK. Hal ini patut disyukuri karena hanya mengakibatkan korban tewas pelakunya sendiri.
Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo membenarkan soal aksi bom bunuh diri di Polresta Medan tersebut.
“Ya betul. Saat ini sedang dilakukan olah TKP oleh Densus 88 dan Polda Sumatra Utara. (Sekarang) menunggu hasil investigasi lebih lanjut,” kata Prasetyo seperti dikabarkan Tirto.id.
Sampai saat ini diketahui satu korban tewas dengan tubuh hancur, yang juga sebagai pelaku. Sedangkan korban luka ada 4 orang, dan semuanya adalah anggota kepolisian.
- Kasi Propam, luka di tangan.
- Pekerja harian lepas, luka di bagian wajah.
- Anggota Propram.
- Anggota piket bagian operasional.
Pertanyaannya, kenapa bom bunuh diri di Medan ini seperti dilakukan serampangan, tidak terencana, dan—untungnya—tidak menelan korban selain pelaku sendiri?
Hal semacam ini juga mengingatkan publik akan ledakan bom bunuh diri yang juga pernah terjadi di Tugu Kartasura, Solo, pada 3 Juni 2019 silam. Saat itu, diduga sasarannya adalah pos polisi, namun—syukurnya—bom keburu meledak dan mengakibatkan korbannya cuma pelaku.
Hal yang patut dipahami adalah hampir semua serangan teror dari 2010-2019, sasarannya sebagian besar mengarah ke institusi representasi “negara”. Dan serangan yang dilakukan terkesan sporadis, kurang terencana, dengan tingkat keberhasilannya minim.
Setidaknya, kalau merujuk artikel Irsad Ade Irawan berjudul “Pergeseran Orientasi Terorisme di Indonesia 2010-2018” (ditulis 2018), aksi teror seperti bom bunuh diri dan sebagainya bisa dibagi dua periode. Yakni, 2000-2009 dan 2010-2019.
Dari penembakan polisi di Kebumen (2010) dan Purworejo (2010), ledakan di Masjid Mapolresta Cirebon saat salat jumat (2011), granat meledak di Gladak, Solo (2012), bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Poso (2013), bom Kampung Melayu dan penusukan polisi di Blok M, Jakarta (2017), dan serangan teror di Mapolda Riau (2018).
Ini belum memasukkan aksi-aksi teror lain yang—malah—jauh menggegerkan. Seperti aksi teror di Gedung Sarinah (2014), bom di tiga gereja Surabaya (2018), sampai penusukan Wiranto (2019).
Barangkali jika ada yang bisa dibilang aksi teror ini membawa korban cukup banyak “hanya” terjadi pada bom di tiga gereja di Surabaya. Dan aksi di Surabaya ini pun sasarannya bukan ke simbol-simbol negara, melainkan untuk mengacaukan hubungan umat antar-agama di Indonesia.
Meskipun merupakan tragedi mengerikan, paling tidak aksi teror sepanjang 2010-2019 ini terjadi tidak seperti yang terjadi pada periode 2000-2009. Selain lebih matang dalam perencanaan, sasaran yang dituju pada 2000-2009 juga bukan melulu representasi “negara”, melainkan lebih ke simbol-simbol “barat”.
Seperti bom yang meledak di rumah Duta Besar Filipina (2000), bom Bali I (2002) dengan korban 202 tewas, bom Hotel JW Marriot Jakarta (2003) korban 11 tewas, Kedubes Australia (2004) korban 5 tewas, bom Bali II (2005) korban 22 tewas, dan bom Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton (2009) dengan korban 7 tewas.
Aksi pada periode 2000-2009 ini merupakan bagian dari anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang merupakan alumni jihad Afghanistan dan berafiliasi dengan Al-Qaeda. Pengalaman mereka yang sering melakukan aksi di berbagai negara bikin JI sangat lihai soal perencanaan teror. Termasuk pula mampu membuat bom dengan daya rusak mengerikan.
Berbeda dengan aksi teror yang terjadi pada periode 2010-2019, beberapa aksi merupakan ulah Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang memiliki afiliasi dengan ISIS (pecahan Al-Qaeda juga sebenarnya). Tidak seperti JI yang lebih terencana dalam melakukan aksi bom bunuh diri atau teror, aksi JAD lebih sporadis.
Al-Qaeda punya “perang” sendiri dengan Barat (utamanya Amerika Serikat), maka JI menjadikan aksi teror di Indonesia pada 2000-2009 sasarannya selalu hal yang kebarat-baratan sebagai wujud “mengirim pesan” ke negara-negara Barat.
Sedangkan pada 2010-2019, ISIS agak beda dengan Al-Qaeda. Mereka memang punya tujuan untuk menghapus bentuk negara guna membentuk “negara baru” alias Kekhalifahan ISIS. Oleh karena itu, wajar kalau sasarannya adalah aparat dan apapun yang menjadi simbol sebuah negara.
Kalau merujuk pada tulisan Mas Kardono Setyorakhmadi, yang pernah mewancarai anggota JAD. Hal ini disebabkan karena JAD ini tidak memiliki figur sentral di Indonesia atau di Asia Tenggara. Kebanyakan dedengkot-dedengkot JAD bergerak karena inisiatif tim-tim kecil. Yang sering juga dinamai sebagai “sel tidur ISIS” oleh aparat pemerintah.
Hal ini berkebalikan dengan JI yang dulu sempat punya Noordin M. Top (Warga Negara Malaysia). Bahkan nama-nama seperti Dr. Azahari, Imam Samudra, dan Ali Imron adalah veteran jihad Afghanistan yang punya pengalaman tempur mumpuni. Wajar kalau kemudian aksi bom bunuh diri yang digawangi mereka selalu menjadi tragedi besar di Indonesia.
Namun, sejak ditangkapnya tokoh-tokoh JI, disusul dengan kematian Noordin M. Top pada 2010, aksi teror di Indonesia sejak saat itu mengalami semacam estafet. Dari yang tadinya pelaku teror ini berafiliasi ke Al-Qaeda, belakangan ini mereka yang menyerang adalah pelaku yang berafiliasi dengan ISIS.
Lalu mengenai bom bunuh diri di Medan, kalau merujuk pada hal-hal di atas, kuat dugaan kalau pelakunya dari JAD, atau yang berafiliasi dengan ISIS. Kalau soal serangannya yang sembarangan dan bondo nekat itu, ya selain tidak ada figur di Indonesia dan Asia Tenggara, Kekhalifahan ISIS sendiri memang sudah hancur lebur di sononya.
Jadi aksi teror bom bunuh diri Medan ini ya kemungkinan sekadar bentuk konkret dari sisa-sisa doktrin yang pernah diterima pelaku saja, bukan merupakan instruksi dari Abu Bakar al-Baghdadi, khalifah ISIS, yang sudah koit itu.
BACA JUGA Bom Surabaya adalah Buah Kontestasi JI dan JAD atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.