MOJOK.CO – Jadi presiden saja dibatasi dua periode, jadi bupati dan walikota juga begitu. Lalu kenapa ada anggota DPR yang tetap menjabat selama 30-an tahun ya?
Kabar mundurnya Yasonna Laoly dari jabatan Menteri Hukum dan HAM sempat bikin publik terheran-heran. Apalagi jika alasan Yasonna adalah karena terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024.
Bagi orang awam, secara sekilas saja, menjadi seorang menteri jelas lebih mentereng ketimbang jadi anggota DPR RI. Apalagi, Yosanna sebenarnya pernah menjadi anggota DPR dari 2004 sampai 2014. Selama 10 tahun, cuy. Kalau udah jadi menteri, kenapa memilih jadi wakil rakyat lagi?
Oke, lah, bisa jadi alasan Yasonna mundur dari menteri sebelum jabatannya berakhir adalah dirinya tidak yakin akan dipilih menjadi menteri lagi oleh Presiden Jokowi. Hm, alasan yang masuk akal sih. Tapi pernahkah kamu menyadari kalau menjadi legislator itu sebenarnya idaman oleh banyak pejabat kita?
Selain soal gaji dan tunjangan yang menggiurkan karena total bisa kantongi Rp1 miliar per bulan, menjadi anggota DPR juga tidak dibatasi oleh periode masa jabatan. Tidak seperti jabatan presiden atau kepala daerah yang hanya dibatasi dua periode, menjadi wakil rakyat—asalkan terus terpilih saat pileg—benar-benar bisa lanjut terus-menerus.
Masalahnya, ketika seorang legislator sudah bisa meluncur ke Senayan, hanya sedikit dari mereka yang gagal maju kembali (Budiman Sudjatmiko adalah sedikit contoh anggota DPR yang gagal terpilih kembali). Biasanya, karena semakin punya “modal”, baik secara finansial dan sosial, anggota DPR akan melenggang di periode selanjutnya.
Ambil contoh anggota DPR bernama Popong Otje Djundjunan atau biasa disapa Ceu Popong. Ia telah menjadi wakil rakyat sejak 1987. Sudah lebih dari 30 tahun Ceu Popong menduduki jabatan wakil rakyat di gedung parlemen. Hal itu juga menunjukkan kalau Ceu Popong mengalami 6 era presiden. Dari Presiden Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, sampai Jokowi. Buseeet.
Nama lain seperti Setya Novanto juga tidak kalah awet—meski tidak selama Ceu Popong. Sejak 1999, narapidana kasus korupsi E-KTP ini sudah menduduki kursi empuk wakil rakyat. Satu periode lebih senior ketimbang Yosanna. Bahkan Setya Novanto sempat menduduki jabatan Ketua DPR RI sebelum akhirnya mundur karena kasus pemufakatan jahat terkait PT Freeport dan tertangkap KPK.
Absolute power corrupts absolutely kalau kata John Dalberg-Acton. Hal semacam ini sebenarnya sudah terlihat dengan bebasnya batas periode menjadi wakil rakyat. Tanpa ada batasan pula, mau seburuk apa pun kinerja DPR, mereka tetap bisa duduk lagi di Senayan lagi pada periode selanjutnya.
Pada 7 Maret 2017 silam, survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis Transparency Internasional Indonesia (TII) pernah menempatkan DPR sebagai lembaga negara paling korup di Indonesia. Meski begitu, hasil survei ini ditentang habis-habisan oleh Fadli Zon, Wakil Ketua DPR.
Pada kenyataannya, setahun setelah survei tersebut muncul ke publik, pada 2018 anggota DPR menjadi pejabat paling banyak yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan data dari KPK, ada 103 anggota DPR dan DPRD yang tertangkap. Jumlah itu bahkan hampir tiga kali lipat lebih banyak dari kepala daerah yang “hanya” 30 orang saja yang tertangkap KPK sepanjang 2018.
Hal ini belum dengan fakta bahwa kinerja DPR selama ini dinilai buruk oleh banyak pihak. Ditambah dengan kehadiran rapat yang minim. Bahkan saat rapat paripurna DPR RI periode 2014-2019 pada 30 September 2019 ini, hanya setengah wakil rakyat yang hadir rapat. Padahal rapat itu merupakan rapat terakhir anggota DPR RI periode sekarang.
Masalahnya, sering sekali jumlah kehadiran anggota DPR dicatat Sekretariat Jenderal DPR dengan faktanya berbeda. Seperti pada Rapat Paripurna I 29 Agustus 2019 misalnya. Di catatan rapat dicatat ada 297 anggota yang datang rapat dari 560 anggota. Tapi pada kenyataannya yang betul-betul duduk ikut rapat hanya 110 orang saja. Kirain yang bisa titip absen cuma mahasiswa aja.
Sekalinya anggota DPR benar-benar “kerja” dan menghasilkan undang-undang, hasil kerjanya pun diprotes banyak pihak. Dari RKUHP sampai dengan UU KPK.
Buruknya kinerja DPR ini lah yang seharusnya perlu diusulkan untuk merevisi undang-undang agar wakil rakyat jadi punya batasan periode.
Pertanyaan kemudian, kenapa enak sekali menjadi wakil rakyat tanpa batas periode?
Keistimewaan ini bukannya tidak ada yang menggugat. Pada 2012 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menerima gugatan dari seseorang bernama Song Sip.
Dalam gugatan tersebut disebutkan agar seorang calon anggota legislatif yang sudah menjabat selama dua periode seharusnya tidak bisa menjadi anggota dewan lagi. Hal ini terkait pada kekhawatiran otoritas tanpa batas bagi anggota DPR.
Sayangnya, gugatan itu ditolak oleh MK secara keseluruhan. Alasannya, karena gugatan ini tak memiliki dasar hukum atau legal standing dalam judicial review tersebut. Tak satu pun undang-undang yang menyebutkan menjadi anggota DPR itu ada batas periodenya.
Ya wajar belaka kalau undang-undang pembatasan periode anggota DPR tidak ada, lha wong yang bikin undang-undang juga DPR sendiri.
BACA JUGA Surat Terima Kasih untuk DPR dan Jokowi atas Revisi UU KPK atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.