MOJOK.CO – Pebulu tangkis Indonesia, Markis Kido meninggal dunia ketika sedang melakukan kegiatan yang digemarinya: main bulu tangkis
Pernah ada masanya, pemain bulu tangkis itu kena stigma harus bertubuh ramping. Saya mengenal anggapan semacam itu ketika menyaksikan bulu tangkis masih di era Candra Wijaya, Sigit Budiarto, sampai Tony Gunawan.
Apalagi jika bulu tangkis dimainkan di nomor ganda. Lapangan yang kira-kira hanya seluas ukuran ring tinju itu harus dibagi dalam bidang permainan dua orang. Shuttlecock beradu begitu cepat dalam ruang yang begitu sempit, waktu jadi berjalan begitu rapat.
Wajar jika anggapan bahwa hanya pemain-pemain bertubuh ramping saja lah yang mampu mencapai puncak dunia di nomor ganda bulu tangkis. Maklum, pembagiannya ruangnya lebih simpel agar bisa mendukung gerakan-gerakan lincah.
Itulah kenapa saya begitu heran ketika menyaksikan Markis Kido pertama kali di tayangan televisi pada saat Piala Dunia Bulu Tangkis. Kalau kenangan saya tidak memberontak, kira-kira itu terjadi antara tahun 2006 atau 2007. Ini ada satu pemain Indonesia, tubuhnya gempal, tapi kok gerakannya asyik sekali.
Saya tidak begitu ingat siapa lawannya, yang jelas adalah saat itu Markis Kido melawan pasangan ganda putra dari benua Eropa.
Sepanjang permainan yang sangat tidak seimbang itu, saya menyaksikan pembantaian besar-besaran oleh Markis Kido di sana. Seperti menyaksikan Muhammad Ali membantai pemuda Korea Utara yang kurus kurang gizi di atas lapangan bulu tangkis.
Berkali-kali cegatan Markis Kido di depan net meledakkan suara penonton. Lompatannya begitu tinggi, gerakannya intimidatif, begitu kokoh, tapi—anehnya—juga begitu lincah.
Saya ingat satu adegan ketika dua pasangan dari Eropa ini tersungkur di lantai tapi malah tersenyum lebar. Seolah senyum itu berkata, “Level kami ada jauh di bawahnya, tapi Markis Kido bermain kesetanan seperti sedang menghadapi seorang legenda bulu tangkis.”
Satu julukan yang kemudian muncul dari adegan pembantaian itu adalah ini: Markis Kido “si ganda petir”.
Sebuah gambaran yang menggambarkan kesungguhan, keteguhan, dan kekuatan seorang Markis Kido dalam bermain bulu tangkis.
Tubuh gempalnya saat itu menari ke satu sudut lapangan ke sudut yang lain, berlari ke sana kemari seperti penari balet. Lembut, tapi bertenaga. Lincah, tapi tangguh. Ini belum dengan smash-nya yang sangat keras dan menyimpan daya rusak yang dahsyat untuk raket lawan.
Hendra Setiawan, pasangan Markis Kido saat itu sejak 2002, sebenarnya juga tak kalah hebatnya. Hanya saja karena karakter Hendra yang kelewat kalem, baik di luar lapangan maupun di dalam lapangan, gerakan-gerakan Markis Kido jadi jauh lebih menonjol dan menarik untuk ditonton.
Ibarat musisi, jika Hendra adalah seorang gitaris maka Markis Kido adalah seorang penggebuk drum yang enerjik. Harmoni keduanya—setidaknya—membawa alunan gelar-gelar penting pada tahun-tahun setelah kejuaraan itu.
Beberapa tahun kemudian, bukan Candra Wijaya, bukan Mohammad Ahsan, tapi Markis Kido lah yang berhasil membawa Hendra Setiawan, pebulu tangkis yang dijuluki “dewa” oleh penggemar bulu tangkis dari Tiongkok, bisa mencapai puncak dunia.
Gelar tertinggi bagi atlet bulu tangkis karena jadi satu-satunya kompetisi bulu tangkis yang dilangsungkan 4 tahun sekali. Ya, medali emas Olimpiade Beijing 2008.
Menghadapi legenda Tiongkok Cai Yun/Fu Haifeng di final, Markis Kido tidak hanya melawan dua pebulu tangkis di hadapannya, tapi juga miliaran rakyat Tiongkok yang mendukung atletnya untuk bisa mendapatkan medali emas di rumah mereka sendiri.
Akhir ceritanya kita tahu, Markis Kido membalikkan keadaan dari kalah 12-21, menjadi 21-11 dan 21-16. Puncak karier seorang pebulu tangkis profesional yang akhirnya bisa dicapai bagi kakak Bona Septano ini.
Daya ledak Markis Kido memang sempat digantikan Mohammad Ahsan yang menjadi tandem baru bagi Hendra Setiawan pada tahun-tahun berikutnya. Namun penggemar bulu tangkis tanah air tak akan bisa lupa bagaimana Markis Kido menginspirasi banyak bapak-bapak saat turnamen bulu tangkis tujuh belasan di kampung-kampung dalam upaya meniru gerakan-gerakannya.
Secara jumlah gelar, boleh lah Markis Kido ada di bawah Ahsan-Hendra, tapi tipikal permainnya harus diakui selalu sukses menggetarkan penonton. Meledak-ledak, bertenaga, dan punya daya hancur yang begitu cantik ketika ditayangkan di layar kaca.
Gerakan-gerakan berkarakter yang kini resmi jadi legenda. Karena pada usianya yang ke-36 tahun, pahlawan bulu tangkis Indonesia ini harus menutup episode smash-smash kerasnya.
Tak akan ada lagi lompatan ajaib dari tubuh gempal yang menggetarkan bumi, tak akan ada lagi gerakan menyengat di depan saat mengantisipasi net lift lawan, dan tak akan ada lagi teriakan-teriakan bersemangat yang selalu sukses membawa penonton di layar kaca menjadi merasa ikut bermain.
Satu-satunya hal yang bisa jadi penghibur bagi penggemarnya adalah ketika menyadari sang legenda ganda petir ini… meninggal dalam keadaan sedang memegang Palu Mjolnir-nya di atas medan tempurnya sendiri.
Penutupan paling paripurna dalam buku perjalanannya sebagai atlet dalam keadaan bermain-main bulu tangkis dengan paripurna.
Rest in power, Markis Kido. Biarkan kami yang menyimpan cerita-ceritamu di dunia ini sebagai dongeng buat anak cucu kami nanti. Agar generasi mendatangi tahu bahwa pernah ada masanya… Indonesia punya pebulu tangkis yang sukses menaklukkan dunia dengan gaya dan penuh tenaga.
BACA JUGA Kenapa Ahsan dan Hendra Jago Banget Main Badminton? atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.