MOJOK.CO – Merawat orang tua yang sakit-sakitan memang terkesan heroik, tapi tidak pada kenyataannya. Soalnya, bisikan jadi anak durhaka bakal muncul di kepala.
Dalam berbagai kesempatan, menjadi anak durhaka sempat jadi tawaran yang menarik bagi saya. Iya, menarik sekali.
Oh, jangan dipikir frasa “anak durhaka” yang saya sebut tadi itu dimaksudkan dengan cara membantah orang tua atau memukul orang tua. Atau kekejaman-kekejaman lain yang sering kamu tonton di sinetron-sinetron Indosiar.
Dalam situasi saya, jadi anak durhaka itu mudah sekali. Cukup tinggal di rumah sendiri bersama keluarga kecil saya. Ngontrak atau mau KPR nggak apa-apa, yang penting tinggal sendiri. Terpisah dari orang tua saya.
Sayangnya, harapan sepele itu tidak bisa saya lakukan. Alasannya? Saya tak mau jadi anak durhaka… plus orang tua saya sepuh dan sakit-sakitan.
Bapak saya usianya 84 tahun. Menderita stroke, katarak, dan gloukoma.
Ibu saya, usianya 72 tahun. Ada pengapuran di kaki kirinya, membuatnya begitu kesulitan kalau mau jalan ke mana-mana.
Dan saya, dengan usia 30-an tahun, punya anak dan istri, punya pekerjaan dengan pendapatan yang cukup bagus di Jogja, tapi tak bisa ke mana-mana (baca: hidup mandiri).
Dari kondisi seperti itu, ada alasan khusus kenapa saya merasa iri ketika tahu ada teman yang bisa mengontrak rumah bersama keluarga kecilnya. Bisa hidup mandiri dan punya kemewahan untuk bebas memutuskan apa yang terbaik untuk keluarganya.
Meski kadang ada juga teman-teman saya yang agak terseok-seok secara ekonomi keluarga kecilnya, tapi mereka tampak bahagia—setidaknya di mata saya.
Perasaan iri ini wajar adanya, karena dengan usia saya yang sudah setua ini, saya masih ngintil ikut rumah orang tua. Bukan karena tidak mampu ngontrak rumah, tapi ya karena pilihannya adalah saya siap jadi anak durhaka dengan hidup terpisah atau tidak.
Hidup di rumah sebagai anak yang merawat kedua orang tua yang sakit dan sepuh butuh kesabaran ekstra (kalau tak mau menyebutnya tanpa batas).
Istri saya saksinya. Kami berkali-kali harus mendiskusikan ulang ketika ingin beli sesuatu. Sekadar memutuskan mau sunat untuk anak saya saja, kami perlu memikirkannya masak-masak. Sebab, semua keputusan keluarga kami bakal dikomentari orang tua saya.
Itu belum dengan kondisi rumah kami, yang mana saya sampai punya bel khusus di kamar yang nyambung langsung dengan kasur orang tua saya. Jaga-jaga kalau Bapak mau kencing di pispotnya atau menuntun Ibu yang mau ke kamar mandi, saya dan istri harus siap sedia 7 kali seminggu plus 24 jam sehari.
Udah mirip kayak suster yang jaga piket di rumah sakit ya? Hehe.
Ketika saya keceplosan situasi ini ke teman-teman saya, kebanyakan dari mereka akan bilang, “Kamu beruntung orang tuamu masih hidup, Daf… bla-bla-bla,” dan nasihat-nasihat bijak lainnya.
Ya, semua akan bilang bahwa situasi saya penuh kemewahan. Tak perlu bayar cicilan rumah, tak perlu bayar angsuran macam-macam, karena beberapa di antaranya sebagian sudah ter-cover oleh uang pensiunan PNS kedua orang tua saya.
Masalahnya adalah, kenapa sulit sekali melihat itu semua sebagai kemewahan?
Kenapa ya sulit sekali menemukan kemewahan ketika harus membersihkan air kencing bapak saya, mencuci selimutnya, mencuci sarungnya, mengepel kamarnya yang bau pesing?
Kenapa ya sulit sekali merasa beruntung ketika harus menceboki pantat bapak saya, yang sudah penuh dengan kotoran manusia, dan saya harus mengumpulkannya pakai tangan saya sendiri?
Kenapa ya, hal-hal yang “indah” itu sulit sekali saya lihat sebagai keberuntungan, alih-alih sebagai sebuah kesialan?
Kemewahan-kemewahan yang oleh mereka-mereka yang sudah kehilangan orang tuanya, dianggap sebagai keberuntungan.
Sambil kadang komentar di beranda media sosial saya, “Kamu beruntung banget, Mas. Orang tua masih hidup, masih diberi kesempatan berbakti. Sayang sekali, aku nggak seberuntung kamu. Orang tuaku udah tiada.”
Hal yang saya tahu sebelum-sebelumnya, ketika orang tua si komentor ini masih hidup, orang yang komentar itu, dulu, tak pernah telepon orang tuanya. Sekadar menanyakan kabar orang tuanya saja tak sempat. Alasannya? Sibuk kerja.
Dan komentar seperti itu baru muncul justru ketika kedua orang tuanya sudah tiada.
Tentu saya bukan satu-satunya yang merasakan itu, istri saya, orang terkuat dengan hati seluas samudra yang pernah saya tahu, adalah superhero bagi saya. Ia tak pernah keberatan sama sekali merawat orang tua saya.
Kenapa bisa seperti itu jawabannya juga sederhana: istri saya sudah tidak punya orang tua dari usianya yang sangat muda. Ia sudah menganggap kedua mertuanya, seperti orang tuanya sendiri. Hal yang tak akan ada di cerita sinetron Indosiar dengan latar paling realistis sekalipun.
Pun dengan anak saya yang masih berusia 4 tahun. Tak pernah sekalipun mengeluh tentang rewelnya orang tua saya.
Selama ini tetap selalu jadi anak yang menyenangkan, mendengarkan apa yang selalu saya nasihatkan, dan tak pernah macam-macam. Benar-benar anak yang baik dan nurut, padahal saya tak pernah punya cara spesial dalam mendidiknya.
Bahkan, meski usianya masih 4 tahun, dia masih peduli dengan kakek dan neneknya. Seperti kalau kami sedang belanja di minimarket, kadang dia kepikiran mbah utinya, dan kepengin beli oleh-oleh. Sensitivitas yang bahkan tak pernah saya miliki di usia yang sekarang.
Dan itu yang bikin saya akhirnya merasa menemukan kemewahan-kemewahan yang sebelumnya tak pernah saya temukan. Istri yang baik, penyabar, dengan hati seluas samudra, plus anak yang lucu, nurut, dengan perhatian yang luar biasa ke keluarga (sesuatu yang agak absurd untuk anak seusianya).
Hal inilah yang kemudian jadi bahan bakar saya. Membuat saya justru merasa bahagia ketika orang tua saya, sangat bergantung pada keluarga kecil saya. Dan itu terjadi ketika Ibu mengultimatum saya, “Pokoknya kalau sampai kamu beli rumah sendiri dan pindah, aku ikut kamu ya?”
Saya tersenyum mendengarnya. Rasanya senang saja menjadi tulang punggung untuk merawat orang tua saya. Meski kadang, bisisikan-bisikan untuk menjadi anak durhaka, terus bermunculan di telinga.
Namun, jangan khawatir, bisikan itu akan hilang dengan sendirinya. Terutama kalau saya melihat wajah anak saya dan mengajukan tanya…
… apakah anak saya, akan mampu menerima beban serupa ketika nanti saya yang menua?
Saya tak tahu jawabannya. Yang saya tahu, kalau orang tua saya menanyakan pertanyaan serupa, saya akan menjawabnya. “Ya, saya akan menerima beban itu sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya.”
BACA JUGA Anak yang Dipaksa Durhaka oleh Orang Tuanya atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.