MOJOK.CO – Seruan garang berkali-kali muncul dari para buzzer Jokowi di media sosial untuk mengganggu aksi “Gejayan Memanggil”. Kalau aksi ini nggak sesuai harapan kalian, maaf ya. Tapi boong.
“Demone neng sebelah endi e, Mas?” Demonya di sebelah mana, Mas?
Seorang anak kecil naik sepeda BMX, mungkin kelas 3-4 SD, bertanya mendekati saya. Saya masih terengah-engah untuk menjawabnya, maklum saat itu posisi saya sedang berjalan cukup jauh dari bilangan Jembatan Merah menuju titik aksi “Gejayan Memanggil” di pertigaan Gejayan, Yogyakarta.
“Emange ngopo?” (Memangnya kenapa?) tanya saya.
“Meh nonton,” katanya sambil haha-hihi lalu menjauh begitu saja.
Punggung si anak yang mulai basah menandai berapa lama ia sudah seharian bermain di luar rumah. Usai mendekati saya, si anak ini mendekati lagi satu demi satu perserta aksi “Gejayan Memanggil” di depan saya. Kami memang masih terpisah-pisah menjadi kelompok-kelompok kecil sebelum bertemu di titik kumpul.
Melihat punggung anak kecil yang semakin menjauh itu, ingatan saya kembali pada dua dekade silam. Kenangan yang diam-diam kembali menyelinap.
Di pertigaan IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN), seorang anak kecil dengan sepeda Federal berputar-putar melihat aksi mahasiswa 1998 yang berakhir rusuh. Mungkin anak pada 1998 itu 3-4 tahun lebih tua dari si anak BMX. Saya tahu persis. Iya, sangat tahu, karena anak kecil pada 1998 pakai sepeda Federal itu saya sendiri.
Ada sedikit kesamaan antara saya pada 1998 dengan si anak yang mendatangi saya pada aksi “Gejayan Memanggil” 2019. Kami berdua sama-sama tidak takut. Tidak khawatir. Tidak ada sedikitpun kegelisahan kalau aksi yang akan kami tonton bakal berakhir ricuh, rusuh, chaos, lalu sampai mengakibatkan banyak massa terluka.
Kami sama-sama cuma penasaran melihat mahasiswa dan massa berkumpul sebegitu banyaknya. Benar-benar tontonan wahana bermain yang mengasyikkan, dan bekal yang pantas dibawa ke sekolah untuk diceritakan esok hari.
Maka, aksi-aksi organik “Gejayan Memanggil” semacam itu tak ubahnya sebuah pagelaran yang menyenangkan. Mungkin karena memang tak menampilkan banyak wajah-wajah garang seperti yang dibayangkan banyak orang.
Wajah-wajah yang—bahkan—masih kalah garang ketimbang wajah-wajah akun pendukung Jokowi atau buzzer pemerintah dengan seruan-seruan mereka di media sosial. Seruan-seruan garang yang menunjukkan sikap tak simpatik dengan aksi “Gejayan Memanggil”.
Bisa jadi mereka khawatir. Khawatir kalau rusuh. Atau bisa jadi mereka memang ogah Presiden dan Wakil Rakyat mereka kena kritik. Atau mereka percaya bahwa agenda memprotes UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, dan ditundanya pengesahan RUU PKS adalah agenda-agenda “Taliban” atau aksi mencoba melawan negara.
Ini cukup mengherankan. Sebab, tak sedikit para buzzer Jokowi yang mencibir aksi “Gejayan Memanggil” itu merupakan aktor intelektual yang ikut urun rembuk saat aksi 1998 silam. Bahkan beberapa di antaranya juga menjadi peserta aksi melawan Soeharto secara langsung. Tapi siapa sangka, kini mereka malah jadi Harmoko-Harmoko baru.
Memang betul, situasi 1998 dengan 2019 sangat jauh berbeda. Sangat jauh. Keduanya tak bisa dibandingkan, dan memang tak bisa disamakan. Maka, biarlah senior-senior yang kini jadi buzzer Jokowi itu mengagumi kenangannya. Biarkan mereka menyembah kebanggaan itu.
Biarkan senior-senior itu berevolusi jadi senior fasis. Senior yang berharap bisa mengendalikan semua. Termasuk pikiran mahasiswa-mahasiswa yang lebih muda dari mereka. Memandang dengan sikap remeh karena merasa pernah jadi aktor sejarah. Padahal, segala macam privilege yang mereka peroleh saat ini tak lain hanya karena alasan sederhana: lahir lebih dulu.
Itu yang bikin aksi “Gejayan Memanggil” dari anak-anak muda kemarin tak ingin saya ganggu. Pun dengan beberapa “senior 1998” yang ikut turun gunung. Berbeda dengan senior fasis di gedung ber-AC, mereka yang ikut ke jalan ini sukses menahan diri. Sukses bertansformasi jadi sosok orang tua.
Orang tua yang bangga terhadap anak-anaknya. Karena mereka tahu, “Gejayan Memanggil” adalah panggung anak-anak mereka.
Meski panas matahari begitu terik sampai bikin aspal jadi seperti lempeng seterika, tapi kepala anak-anak muda mahasiswa ini begitu dingin. Tenang. Seperti air. Hal yang mungkin bikin massa jadi bisa begitu cair.
Anak-anak muda ini berhasil menurunkan egonya untuk mengibarkan identitas almamater atau organisasi masing-masing. Semua membaur. Jadi satu. Benar-benar seperti nonton konser saja. Saling melempar senyum dan saling menawari minum. Aksi yang menggembirakan.
Mungkin mood yang segar ini ditularkan juga dari warga sekitar. Di perjalanan menuju titik aksi saja, setiap warga yang saya lewati selalu meneriakkan kalimat-kalimat menyegarkan. “Semangat ya, Mas. Sarapan dulu, Mas, biar nggak lemes,” kata mereka.
Apa sambutan hangat ini pantas diremehkan? Apa senior-senior fasis itu perlu bertanya ke warga sekitar, “Eee, anu, Bapak tahu nggak ini demo soal apa? Bapak baca RUU-nya semua nggak?” Apa reaksi anak-anak yang menyapa saya dan ikut tersenyum menyambut massa aksi juga harus diremehkan?
Mereka tahu kok. Mereka punya pemahamannya sendiri, pemerintah sedang tak berjalan dengan baik-baik saja. Mereka tahu.
Soal apakah pengetahuan mereka lebih sedikit dari kalian, buzzer Jokowi atau senior fasis, itu kan kalau dari standar kalian saja. Mereka juga punya pengalamannya sendiri, punya pengetahuannya sendiri.
Lagipula, pemandangan di lapangan sangat jauh dari ketakutan-ketakutan buzzer Jokowi dan senior-senior fasis sebelumnya. Kalaupun akhirnya ada yang nebeng sampai menyampanyekan #turunkanJokowi di tengah-tengah tagar #GejayanMemanggil, yakin sama saya, itu bukan dari anak-anak muda ini.
Di tengah ribuan massa, harus diakui, sangat sulit memang membuat aksi “Gejayan Memanggil” tetap steril. Jujur saja, saya menemukan beberapa orang yang mengenakan atribut “bendera tauhid”. Saya melihat mereka langsung. Kira-kira 2-3 orang. Tapi toh, mereka menyingkir. Tersingkir secara alami.
Aksi rusuh yang dikhawatirkan juga tak terjadi. Sebelum pukul 5 sore, anak-anak muda ini pulang dengan tertib. Tak ada aksi kekerasan. Semua pulang dengan senyum. Pesan sudah disampaikan dari Yogyakarta untuk mereka di Senayan sana.
Saatnya anak-anak muda ini pulang ke habitatnya di warung kopi dan diskusi-diskusi. Karena mereka tahu, mendidik penguasa tak bisa dilakukan dengan hanya presensi sempurna atau IPK tiga koma lima.
Terakhir, mungkin untuk mewakili teman-teman mahasiswa, saya ingin sampaikan permintaan maaf untuk para buzzer Jokowi di luar sana. Maaf. Maaf sekali kalau aksi “Gejayan Memanggil” tak sesuai dengan harapan kalian semua. Mungkin kalian tak menduga, ternyata semua berjalan sesuai rencana dan pesan bisa disampaikan secara paripurna.
Sekali lagi. Maaf. Kalian belum beruntung, silakan coba lagi.
#GejayanMemanggil pic.twitter.com/Jtqn511XCM
— MOJOK.co (@mojokdotco) September 23, 2019
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Buzzer Jokowi atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.