Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai Khotbah

Rayakan Tahun Baru kok Dibilang Budaya Yahudi, Nasrani, dan Majusi sih?

Ahmad Khadafi oleh Ahmad Khadafi
28 Desember 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Apa benar merayakan tahun baru, membunyikan terompet, lalu bermain kembang api merupakan hal yang bakal bikin auto Nasrani, Yahudi, dan Majusi dalam satu waktu?

Fanshuri gundah selama beberapa hari ini. Di kampung sebelah muncul selebaran soal haramnya merayakan tahun baru karena menyerupai kaum non-muslim. Seperti biasa, demi tidak terus-terusan berpusing sendirian, Fanshuri beranjak ke kediaman Gus Mut.

Tentu saja alasannya, ingin main catur.

“Gus, Gus Mut nggak lagi gitu resah gitu belakangan ini?” tanya Fanshuri sembari menata bidak catur.

“Resah? Resah kenapa, Fan?” tanya Gus Mut.

“Beberapa hari kemarin ada selebaran di kampung sebelah kalau merayakan tahun baru itu haram,” kata Fanshuri.

“Oh iya to? Kok aku baru tahu. Mana selebarannya? Kamu bawa?” tanya Gus Mut.

Fanshuri segera mengambil selebaran itu dari kantong celananya, lalu menyerahkan ke Gus Mut.

Dalam selebaran itu tertulis kata-kata yang cukup jelas, “Kita Muslim, tahun baru itu 1 Muharram bukan 1 Masehi. Meniup terompet budaya orang Yahudi, merayakan malam tahun baru ajaran orang Nasrani, menyalakan api budaya orang Majusi.”

Entah karena apa Gus Mut terkekeh usai membacanya. Hal yang justru bikin Fanshuri jadi semakin bingung.

“Lho kok Gus Mut malah ketawa sih?” tanya Fanshuri.

“Nggak, nggak apa-apa,” kata Gus Mut mencoba menahan diri. “Maaf kalau aku jadi tertawa. Soalnya walau bagaimana pun kita harus menghormati mereka yang pakai tafsir agama yang begitu. Kita nggak boleh mencela. Cuma ya tadi—maaf—aku refleks aja, Fan,” kata Gus Mut.

“Memangnya betulan ya, Gus? Kalau budaya yang di luar budaya Islam itu nggak boleh kita lakukan?” tanya Fanshuri.

“Sebelum sampai sana pertanyaannya, saya mau tanya dulu ke kamu. Memangnya budaya Islam itu yang bagaimana?” tanya Gus Mut.

Iklan

Fanshuri sedikit kikuk mendengar pertanyaan itu. “Hm, mungkin hukum diyat 100 unta untuk pembunuh yang diampuni oleh keluarga korban atau memakai gamis untuk menutup aurat. Eh, iya nggak sih, Gus?”

“Hukum 100 unta itu sih sebenarnya sudah pernah diterapkan masyarakat jahiliyah sebelum Nabi Muhammad menyebarkan Islam di Mekah, sedangkan orang kafir Quraisy itu pakai baju juga nutup aurat, lha wong daerah mereka gersang dan berdebu. Pakaian mereka digunakan karena menyesuaikan iklim di Jazirah Arab yang bergurun,” jelas Gus Mut.

Fanshuri terkejut mendengarnya. “Masa sih 100 unta itu ada sebelum Islam hadir di kota Mekah?”

“Pada periode Jahiliyah, pernah terjadi peperangan antara dua saudara Al-Harits, yakni Syurahil dengan Salamah. Nah, si Syurahil ini bikin sayembara, barang siapa yang bisa bawa kepala Salamah, maka dia bakal dapat 100 unta. Bahkan unta juga sudah jadi alat tukar di masyarakat Jahiliyah untuk membayar mahar atau diyat sebelum era ke-Islam-an. Jadi mana coba yang orisinil budaya Islam atau orisinil budaya Arab?” tanya Gus Mut.

Fanshuri melongo.

“Hal yang sama juga harus diterapkan untuk urusan terompet. Memang sejak kapan terompet cuma berhak disebut sebagai budaya Yahudi? Lha wong kaum Viking juga pakai terompet berabad-abad sebelumnya. Sejak kapan pula tahun baru Masehi jadi budaya Nasrani? Lha wong kata Masehi saja diambil dari bahasa Arab—bahasanya agama Islam—al-masiikh, yang berarti mengusap atau membelai kok. Yang kemudian dipakai istilah oleh bahasa Ibrani sebagai messiah yang artinya diurapi. Jadi mananya itu yang budaya Nasrani?”

“Lalu artinya penjelasan itu apa, Gus?” tanya Fanshuri lagi yang diam-diam memasukkan lagi papan catur karena tahu nggak bakal jadi main.

“Jadi budaya itu bukan sesuatu yang kaku. Sangat cair. Semua kebiasaan masyarakat punya andil masing-masing. Yang nanti berpengaruh juga dalam setiap perkembangan agama dan budaya dalam pesebarannya. Terlalu mengenalisir kalau sebuah lelaku budaya dianggap sebagai milik A atau milik B,” kata Gus Mut.

“Lha kalau soal menyalakan kembang api yang katanya Majusi, Gus?” tanya Fanshuri.

Gus Mut bersandar sejenak.

“Sekarang aku tanya, dulu waktu zaman Nabi Muhammad mendirikan masjid di Madinah, apa iya bentuk masjidnya seperti masjid kita yang ada kubah dan menaranya?” tanya Gus Mut.

“Hmm, sepertinya sih nggak sih, Gus. Setahu saya sih Masjid Nabawi dulu sederhana sekali,” kata Fanshuri.

“Bahkan saking sederhananya, Masjid Nabawi itu cuma sedikit saja yang ada atapnya,” kata Gus Mut.

“Lah kalau hujan basah dong?” tanya Fanshuri.

“Nah itu, jangan samakan perspektifmu di Indonesia dengan di Arab, Fan. Di Madinah itu turun hujan bisa dihitung jari dalam setahun. Masjidil Haram saja yang area deket Kakbah nggak pakai atap,” jelas Gus Mut lagi.

“Jadi penggunaan kubah dan menara itu terhitung baru dilakukan usai wafatnya Nabi Muhammad ya, Gus?” tanya Fanshuri.

“Iya. Ketika Islam berkembang sampai Persia, daerah di mana agama Zoroaster berkembang, yang kalau dalam Islam kita mengenal sebagai Majusi. Lalu orang-orang Islam melihat ada menara cukup tinggi di bangunan-bangunan masyarakat Persia. Diadopsilah itu untuk tempat mengumandangkan azan,” jelas Gus Mut.

“Jadi penggunaan menara dalam masjid-masjid itu tinggalannya orang-orang penyembah api?”

“Bahkan itu belum dengan bagaimana orang Islam zaman segitu mengenal kubah,” jelas Gus Mut.

“Bukan dari kaum Majusi juga, Gus?” tanya Fanshuri.

“Oh, bukan. Agak panjang kalau soal kubah, karena kebudayaan Mesopotamia juga memakai kubah dalam bangunannya, juga Kerajaan Romawi yang nanti jadi pusat agama Katolik. Lalu ketemu deh itu orang-orang Islam dengan kebudayaan Turki yang saat itu terpengaruh budaya Romawi. Lalu orang-orang Islam melihat kubah itu dan diadopsi untuk penanda bangunan masjidnya. Kubah itu kalau tidak salah dipakai pertama kali di Dome of Rock di Yerusalem yang juga dikenal sebagai Masjid Umar,” terang Gus Mut.

“Jadi bahkan menara dan kubah di banyak masjid di Indonesia juga ada persilangan budaya antara Nasrani dengan Majusi juga ya, Gus?” tanya Fasnhuri.

“Makanya itu, tadi kan aku bilang, kita jangan kaku kalau melihat budaya. Budaya itu nggak bisa dikenai haram-halal, yang bisa dikenai hukum itu perilaku manusianya. Dan namanya perilaku itu juga harus dihitung juga dengan niatnya. Nggak bisa kan, orang Islam punya pohon cemara di halaman rumahnya lalu dibilang sudah jual akidahnya?” tanya Gus Mut.

“Ya nggak bisa sih, Gus, kalau gitu. Lucu aja jadinya,” kata Fanshuri.

“Sama seperti orang yang merayakan tahun baru, lalu dihukumi menyerupai kaum Majusi, Yahudi, dan Nasrani tadi,” kata Gus Mut.

“Terus kalau begitu, apa yang bakal dilakukan Gus Mut sama kampung sebelah yang sebarin selebaran ini?”

“Ya nggak apa-apa, imbauan mereka juga ada sisi positifnya kok. Supaya kita nggak berhambur-hamburan dan mubazir,” kata Gus Mut.

“Lho kok gitu? Kan mereka sepenuhnya salah,” kata Fanshuri.

“Siapa bilang yang bikin selembaran ini sepenuhnya salah? Aku kan bilang kita sebaiknya tidak melihat budaya secara kaku. Kalau mereka memang melihat budaya selalu melekat pada ajaran agama lain, ya itu mungkin bentuk kehati-hatian saja dari mereka. Dan yang kayak begitu, pandangan yang berbeda dengan kita—sekuat apa pun perbedaan itu dengan kita—ya bagiku perlu kita hormati juga. Karena itulah makna dari toleransi sebenarnya. Mau nggak ngerayain monggo, nggak juga monggo. Yang penting jangan jotos-jotosan saja,” kata Gus Mut sambil tersenyum.

Fanshuri terdiam seribu bahasa. Sampai tiba-tiba…

“Lah, kok kita nggak jadi main catur sih?” tanya Gus Mut tiba-tiba ingat.

Terakhir diperbarui pada 15 Januari 2021 oleh

Tags: budayaKatolikmajusiMasjid NabawinasraniTahun BaruterompetYerusalem
Ahmad Khadafi

Ahmad Khadafi

Redaktur Mojok. Santri. Penulis buku "Dari Bilik Pesantren" dan "Islam Kita Nggak ke Mana-mana kok Disuruh Kembali".

Artikel Terkait

Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO
Liputan

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Katolik Susah Jodoh Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami MOJOK.CO
Esai

Cari Pasangan Sesama Katolik itu Susah, Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami

13 November 2025
Paus Leo XIV, Sarjana Matematika Memimpin Umat Katolik MOJOK.CO
Esai

Habemus Papam! Kisah Paus Leo XIV Sarjana Matematika yang Akan Memimpin Umat Katolik di Masa Kritis

9 Mei 2025
Saksi Yehuwa Bukan Bagian dari Kristen MOJOK.CO
Esai

Saksi Yehuwa yang Bagi-Bagi Brosur Itu Bukan Bagian dari Kristen

24 Januari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.