Mengalahkan Pesaing
Sewaktu masih kuliah saya pernah punya gebetan, sebut saja si Doi. Ia datang dari Priangan timur, kuliah di Bandung untuk menggapai masa depan, tinggal di rumah bibinya di daerah Buah Batu. Orangnya lucu dan suka bergaul sehingga Si Doi juga banyak diminati teman yang lain. Pokoknya persaingan amat ketat untuk pedekate dengan dia. Dalam situasi tersebut, saya harus punya strategi yang bagus.
Di suatu Sabtu sore yang berangin, saya coba-coba main ke rumahnya dengan alasan yang amat jadul kalau didengar hari ini, tapi sangat ampuh di zaman itu, yakni pinjam catatan kuliah. Ini memang modus operandi pemuda era ’90-an.
“Iyah, ka bumi weh, aya Tatang kok,” ujar Doi waktu ditelepon dari telepon umum ke nomor rumahnya. Dia bilang, silakan datang ke rumah, kebetulan Tatang juga sedang ada di rumahnya.
Siapa Tatang? Pertama, Tatang adalah nama yang disamarkan, begitu pun nama tempat dan konteksnya yang pada beberapa bagian didramatisir dengan hiperbola. Tatang disamarkan untuk menjaga integritasnya. Tatang itu teman satu angkatan di fakultas tapi lain jurusan, yang telah coba-coba mencuri start, datang lebih dulu ke rumah Doi.
Dagdigdug hati saya tak keruan mendengar kabar dari telepon tersebut. Tak enak buat bilang tidak jadi ke rumahnya, tapi saya pun okein untuk datang meski agak ragu. Jangan-jangan Tatang adalah pacarnya? Jangan-jangan baru pendekatan juga seperti saya? Daripada penasaran, saya pergi juga ke rumah Doi.
Singkat cerita saya naik motor, dari Gatsu ambil arah timur, lalu belok ke kanan di Jalan Turangga, potong Jalan Karawitan menuju Buah Batu, lalu akhirnya tiba di depan pintu rumahnya. Aha! Tampak terlihat di atas keset depan pintu ada sepasang sepatu (satu kanan, satu kiri): pasti itu sepatu Tatang! Sepatu milik pesaing!
Refleks saja sebelum mengetuk pintu saya ambil sepatu itu yang sebelah (sepatu kirinya), lalu saya lempar ke genteng rumah tetangga. Sehabis itu saya baru mengetuk pintu.
“Eh, sudah dateng. Masuk, tuh ada Tatang. Mau minum teh atau kopi?” sambut Doi.
“Kopi,” kata saya sambil duduk di ruang tamu. Ada Tatang di sana. Tatang mesem-mesem ketangkap basah. Suasana jadi kaku. Tatang serbasalah, saya pun juga. Sama-sama tepergok malam mingguan ke cewek yang sama. Apa dengan adanya henpon sekarang, ngapel berjamaah nggak disengaja model begini masih terjadi?
“Ditinggal ke dapur dulu yah, mau buat minum kopi.”
Kami berdua ditinggal di ruang tamu. Pada saat yang bersamaan mengalun suara mini compo di dapur; itu lagu Nicky Astria yang bernyanyi “Jarum Neraka”. Mumpung cuma berdua, saya ngomong pelan ke Tatang.
“Maneh aya perlu naon kadieu, Tang?” Pelan tapi tegas, seolah-olah ngajak konflik. Saya sedang tanya, apa tujuan Tatang ke rumah ini.
“Henteu, mampir hungkul, tadi kabeneran keur ka imah babaturan SMA, eh gening tatangga.” Tatang bilang ia kebetulan saja mampir karena waktu main ke rumah teman SMA-nya, ternyata deketan dengan rumah si doi (ah, modus, ujar saya dalam hati).
“Oh, sugan teh apel.” Kirain ngapel. Itu kata saya.
“Ah, heunteu, Bro, rek balik ieu oge.” Tatang bilang dia tidak sedang apel, hanya mampir, sebentar lagi dia janji akan pulang.
Akhirnya Doi bergabung lagi di ruang tamu. Ia datang bawa kopi di atas nampan, ada pisang gorengnya juga, ada satu gelas kopi buat saya, satu air putih buatnya, dan satu gelas kopi lagi buat Tatang.
“Mangga disambil!”
“Wah, ngerepotin,” ujar Tatang basa-basi. Saya mah anti-basa-basi, langsung bertindak seruput kopi, ambil pisang gorengnya, lalu dimakan, lalu kemudian nyeruput kopi lagi biar nggak seret di tenggorokan.
Tatang terlihat gelisah salah tingkah, tidak ambil pisang goreng, kopinya pun diminum sedikit. Tak lama Tatang pamit untuk duluan pulang, katanya ada keperluan penting yang mendadak. Si Doi keheranan.
“Eh, mau ke mana atuh, udah, santai aja di sini dulu. Ngobrol,” Doi mencegah.
“Ah, nggak. Urgent pisan euy. Nuhun.” Tatang lalu beranjak dari ruang tamu menuju pintu keluar untuk pulang. Saya duduk di ruang tamu menanti ketegangan karena akan terjadi sebuah kejadian (eng … ing … eng).
Tiba-tiba Tatang yang barusan sudah pamit mau pulang datang lagi ke ruang tamu.
“Eh, aya naon, Tang? Ada yang ketinggalan?” tanya Doi.
“Nggak, aduh, gimana yah?” Tatang seperti kebingungan.
“Kenapa emang, Tang?”
“Inih euy, sepatu, sepatu saya ilang satu,” kata Tatang sambil garuk kepala.
“Ah, masak ilang satu, mungkin pas ke sini memang pake sepatunya sebelah?” kata saya becandain. Tatang terlihat tak suka, buang muka dan langsung ketus menjawab, “Wah, nggak mungkinlah, masak dari rumah pake sepatu sebelah.”
“Cari lagi atuh, siapa tahu sepatunya ketendang, terus ada di tempat lain. Cari lagi atuh.” Itu si Doi menyarankan.
Tatang bergegas lagi ke teras diikuti Doi sebagai tuan rumah. Saya di mana? Di ruang tamu, senyum-senyum sendiri.
“Nggak ada euy, asli, nggak ada. Aya nu maok gitu?” Tatang menduga sepatu kirinya ada yang maling.
“Wah, teu mungkin atuh, kalo maling mah nggak mungkin ngambil sebelah aja. Dua-duanya atuh,” kata Doi.
“Iya, yah.” Tatang pasrah.
Di akhir kisah, Tatang yang datang bersepatu lengkap sekarang mesti menerima kenyataan pahit, sepatunya hilang sebelah dan ia pulangnya minjam sandal milik pembantu rumah Doi, swalow kekecilan warna kuning. Tatang kemudian meminta sepatu sebelahnya lagi, yang tidak hilang, ditinggal di rumah Si Doi.
“Eh, Tang, bawa aja juga sepatu sebelahnya, buat apa juga ditinggal di rumah?”
“Titip sini ajalah, malu bawanya.”
“Udah, bawa aja, buat kenang-kenangan,” kata saya ikut-ikutan.
“Aduh, euy,” keluh Tatang sambil melirik penuh curiga kepada saya.
Akhirnya Tatang benar-benar pulang, naik Honda Astrea Star, pakai sandal pinjaman pembantu sambil membawa kenangan buruk: sepatunya yang kanan saja, yang tidak hilang malam itu. Kasihan Tatang, musnah sudah semua pendekatannya oleh kejadian memilukan ini. Saya yakin ini kunjungan Tatang yang terakhir ke rumah si Doi
Tinggal saya dan Si Doi di ruang tamu.
“Kamu yah?” Si Doi curiga kepada saya, tidak saya jawab tentu saja. Biarlah sejarah ini tetap menjadi misteri.
“Kamu kan pelakunya?”
Saya tetap bungkam. Dalam hati saya hanya berkata, Oh, Tatang, maapkan saya telah keterlaluan.
Lupa demi Gengsi
Yang ini cerita lagi bersama si Doi juga. Tapi, konteksnya setelah kejadian dengan Tatang. Alkisah, sepulang kuliah dia ngajak saya makan siang di sebuah rumah makan Padang. Rumah makan ini memang favorit mahasiswa. Menunya lumayan, nggak mahal dan nggak murah, lokasinya di sekitar simpang Dago wilayah Bandung Utara. Kami boncengan motor Vespa, saya di depan, si doi diboncengan.
Singkat cerita, kami pun makan dan minum. Setelah selesai si Doi bilang begini, “Bayarin yah, lagi nggak punya uang.”
Saya terkejut, tapi tak diperlihatkan, karena uang saya juga tak cukup untuk bayar berdua. Saya telah salah sangka, saya pikir Doi yang akan traktir karena dia yang mengajak makan ke saya. Ternyata dia juga tidak punya uang.
Pada saat seperti itu, apalagi masa pedekate ke gebetan, gengsi harus dikedepankan.
“Siap, no problem. Kamu duluan aja ke parkiran, biar Aa yang bayar ke kasir.” Jawaban gengsi.
Aturan adat di rumah makan itu memang mengatur bahwa pelanggan silakan makan duluan, baru setelah kelar wajib lapor ke kasir, apa yang dimakan dan apa yang diminum. Untung sekali, di rumah makan itu struktur ruangnya kondusif. Ada dua pintu; satu pintu untuk masuk pelanggan yang akan makan, satu pintu lagi adalah pintu keluar. Meja kasirnya terletak di dekat pintu keluar.
Si Doi sudah keluar duluan dengan tenang lewat pintu masuk pelanggan. Sikapnya tenang karena tahu saya akan membereskan pembayaran. Ia duluan menunggu di parkiran motor. Saya tetap di meja makan menunggu beberapa saat hingga dia benar-benar keluar.
Setelah agak lima menitan, saya pun beranjak dari meja makan, keluar. Lewatnya? Juga dari pintu masuk pelanggan, tak melewati meja kasir. Pada saat itu suasana rumah makan memang sedang kondusif, ramai oleh pelanggan. Petugas kasir terlihat sibuk tak sempat memperhatikan orang-orang yang makan dan yang keluar. Saya lolos melenggang menuju parkiran.
“Udah dibayar?” kata Doi saat berjumpa di parkiran motor. Saya tak mengangguk, tak menggeleng, dan tak menjawab.
“Udah belum dibayar?” Ia tanya ulang saat di bocengan menuju pulang. Selama di vespa itu si Doi perhatian sekali, perhatian menanyakan terus apa saya sudah bayar.
Saya jawab akhirnya sambil ngegas Vespa di jalanan Dipati Ukur. “Lupa euy, udah bayar apa belum yah? Asli lupa.”
“Masak nggak inget? Curiga ah.”
Karena nggak dijawab dengan pasti juga, sepanjang jalan pertanyaan itu diulang terus. Saya cekikikan sambil melaju, dan tetap saya tak bilang jujur kepadanya. Biarlah ini menjadi misteri kedua yang saya simpan darinya.
Apa yang terjadi setelahnya? Saya tidak berhasil melanjutkan hubungan lebih serius dengan si Doi. Mungkin karena dapat karma dari Tatang, mungkin juga memang bukan jodoh. Jodoh saya mah kemudian adalah si Manis Manja yang sekarang jadi istri saya, yang pendekatannya berlangsung dramatis dan layak disimak karena mengandung kearifan lokal, tapi sayang kisah dengannya bukan untuk konsumsi publik. Atas nama cinta, saya tutup cerita ini. Demikianlah.