MOJOK.CO – Seorang lelaki mengeluhkan kondisinya yang pengangguran dan ditinggal nikah adik kandungnya. Ia semakin galau ketika harus menghadapi omongan orang.
TANYA
Halo Mojok~
Perkenalkan nama saya Mahmud. Saya seorang fresh graduate dari kampus kecil di Kota Kembang. Selulus kuliah, saya sering mendapat pertanyaan semacam,
“Sekarang kerja di mana?” Dari orang-orang di sekitar saya. Yang membuat saya merasa tidak bisa tenang dengan status pengangguran saya.
Biasanya, saya akan menjawab, “Masih belum menemukan jodohnya.” Sambil cengar-cengir manis semanis es tebu.
Yang semakin menyedihkan, belum sempat menemukan jawaban lain untuk pertayaan template tersebut, saya sudah dibuat bingung oleh ulah adik perempuan saya. Ternyata ia memutuskan untuk menikah dengan tambatan hatinya yang telah ia pacari selama 7 tahun, tepat sebulan setelah saya wisuda.
Tentu saya ikut merasakan bahagia, namun rasanya masih ada yang mengganjal di hati. Rasa-rasanya kok status saya yang masih pengangguran ini semakin berat dengan bumbu-bumbu pertanyaan, “Kapan menikah?”, “Kok keduluan adiknya?” dari orang-orang di sekitar saya. Saya harus bagaimana, Jok? Biar saya bisa legawa menerima kenyataan ini?
JAWAB
Hai Mahmud yang belum legawa dalam menerima kenyataan hidup…
Jadi ada dua hal yang saat ini sedang memberatkan hidup kamu, ya. Pertama, karena saat ini masih berstatus pengangguran. Kedua, ditinggal nikah oleh adik sendiri.
Mengenai permasalahan pertama kamu yang masih menganggur, menurut saya sih, selama kamu masih berusaha mencari pekerjaan, baik mendaftar di tempat-tempat yang sedang buka lowongan ataupun berusaha memulai sendiri pekerjaanmu, maka tidak alasan bagimu untuk mencemaskan sesuatu.
Jika kamu memang galau masalah kerja dan betul-betul tidak ingin menjadi pengangguran, tentu kamu tidak akan membatasi diri dengan menunggu sebuah pekerjaan. Mahmud, di zaman sekarang ini, ada banyak sekali kesempatan yang bisa kamu lakukan asalkan kamu punya keberanian memulai sendiri pekerjaan tersebut. Ada banyak jalan yang bisa kamu mulai, jika kamu betul-betul tidak ingin menjadi pengangguran.
Jangan sampai kamu terus merasa cemas dan hanya berhenti dalam kecemasan tanpa melakukan apa-apa.
Lantas terus-menerus menyalahkan keadaan, mengapa kamu harus lulus dan menjadi pengangguran. Jika kamu masih mudah menyalahkan kondisi atau orang lain atas kegagalanmu, itu artinya kamu belum cukup dewasa dan belum betul-betul siap dalam menjalani tantangan hidup yang akan semakin besar seiring dengan pertambahan usiamu.
Sedangkan untuk permasalahanmu yang kedua, sebelum saya menjawabnya, saya ingin bercerita tentang kisah teman saya. Jadi, saya memiliki seorang teman perempuan dan dia memiliki adik laki-laki dengan selisih usia hanya sekitar 1 tahun. Jadi, mereka terlihat seperti anak yang seumuran atau justru seperti anak kembar.
Kalau kita membicarakan perihal pernikahan dan memandangnya dari kebiasaan di masyarakat, tentu saja idealnya adalah teman saya ini yang harusnya menikah duluan. Selain dia adalah anak pertama, dia juga seorang perempuan. Di mana, dalam pandangan masyarakat kita, anak perempuan biasanya akan menikah lebih cepat dibandingkan lelaki seumurannya. Jika terlambat, maka ejekan semacam, ‘nggak laku!’, ‘perawan tua!’, akan sering mampir dalam kehidupannya.
Namun di kenyataan yang harus dilakoni oleh teman perempuan saya ini, adik laki-lakinya lah yang justru menikah duluan. (((Ya seorang adik laki-laki yang justru mendahuluinya))). Meski di awal, pernikahan tersebut sempat mendapatkan pertentangan dari keluarga karena dianggap nggak pantes dan kurang menghargai ‘keberadaan’ teman perempuan saya ini.
Sedangkan teman saya, meski pada awalnya dia merasa berat. Namun, ia berpikir akan egois jika adiknya harus menunda pernikahan hanya karena menunggunya yang memang masih belum menemukan seseorang yang tepat untuk menjalani hari-hari dengannya.
Lagipula, baginya pernikahan adalah sesuatu yang baik. Ia tidak ingin menjadi penghalang niat baik adik laki-lakinya yang ingin mengambil amanah baru sebagai seorang suami. Ia pun tidak ingin, adik laki-lakinya menjadi seorang lelaki yang ‘menggantungkan’ seorang perempuan dengan waktu yang lebih lama.
Ternyata bagi teman saya, sudah menerima keadaan itu saja belum cukup. Pasalnya, celotehan-celotehan tidak menyenangkan masih saja ia terima. Tidak hanya dia, adik laki-lakinya pun juga ikut mendapatkan omongan dan dianggap sebagai: adik yang tidak tahu diri.
Namun, teman saya ini memahami, jika ia terus mendengarkan omongan orang lain yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, maka dia tidak akan merasakan kebahagiaan. Bagi orang lain, semua yang kita lakukan pasti menyimpan kesalahan yang pantas untuk dicela.
Mahmud, omongan orang memang sering terasa menganggu di pikiran, namun yang perlu kita pahami meski menyakitkan, omongan-omongan tersebut juga bisa membantu untuk menguatkan diri kita.
Begini, Mahmud, menikah bukanlah perkara dulu-duluan. Pernikahan bukan masalah pertandingan di mana yang telah melaksanakannya terlebih dulu, maka dianggap menang dalam pergaulan. Nikmati saja proses pencarianmu sekarang.
Tenang saja, mengenai kedua kegalauanmu itu, semua pasti memiliki waktunya sendiri-sendiri. Asalkan, kamu tidak berhenti dalam kondisi yang terus-menerus mengeluhkan keadaan, lantas merasa nyaman dengan bertopengkan kondisi itu.