MOJOK.CO – Seorang lelaki bercerita soal ketidaknyamanannya berada di dalam organisasi yang mengharuskan memanggil senior dengan kata “Kak” atau “Abang”.
TANYA
Hai Kak Au, saya A.N. Status sebagai mahasiswa ranah sosial. Saya ingin menanyakan sesuatu yang selama ini menghantui pikiran saya. Semoga berkenan menjawabnya.
Pertanyaan saya ini mengenai sikap profesionalisme di dalam suatu organisasi. Sebelumnya saya ingin memberikan pemahaman saya mengenai profesionalisme itu sendiri. Yaitu, bagaimana kita dapat memprioritaskan hal-hal sesuai dengan kepentingannya dan juga bagaimana cara kita menghargai seseorang di dalam situasi dan keadaan tertentu.
Saya adalah anggota baru di organisasi mahasiswa yang tiga pengurusnya merupakan teman lama saya. Karena sudah saling kenal sebelum masuk organisasi, maka saya sudah tidak canggung sama sekali untuk berbicara dengan mereka ketika pertama kali masuk organisasi ini.
Saya sebagai anggota baru dan juga sebagai teman mereka sebisa mungkin berpandai-pandai menempatkan posisi saya. Apabila saya di dalam organisasi, saya akan memanggil teman saya yang menjadi pengurus tersebut dengan panggilan “Kak” atau “Bang” untuk menghormati posisi mereka di organisasi. Sedangkan di luar organisasi, saya memanggil nama saja dan mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut sebelumnya.
Pernah suatu malam ketika sesudah rapat organisasi, saya diajak ngopi dengan teman saya yang pengurus bersama pengurus lainnya. Karena saat itu topik pembicaraan di luar pembahasan organisasi maka saya berbicara tanpa kata penghormatan pada teman saya tersebut. Pengurus lain yang melihat saya berbeda dan serempak mereka meninggalkan kami berempat saja (saya dan tiga pengurus yang merupakan teman lama saya).
Saya heran dan menanyakan langsung mengapa pengurus lain tersebut meninggalkan kami. Lalu salah seorang teman saya memberikan penjelasan bahwasanya pengurus yang pergi tadi tidak suka dengan cara saya yang hanya memanggil nama saja ke teman pengurus mereka.
Benar saja, ketika esok siangnya saya mengunjungi ruang sekretariat seluruh pengurus termasuk teman lama saya memberikan perlakuan yang berbeda kepada saya. Jika sebelumnya saya hanya dipanggil dengan menyebutkan nama saja, kini ada tambahan kata “Dek” dalam penyebutan nama saya. Saya hanya menyikapi biasa saja karena saya tau posisi saya sekarang ini adalah anggota baru.
Kurang lebih seminggu setelah kejadian ngopi itu, saya dan tiga pengurus yang merupakan teman saya dipanggil oleh alumni untuk dikumpulkan bersama pengurus lain. Lalu alumni kami menanyakan apakah pantas yang saya lakukan pada tiga teman saya. Di luar dugaan, dua orang teman saya tersebut menyatakan bahwasanya saya tidak pantas memanggil nama saja ke mereka meskipun sudah berada di luar organisasi.
Sependapat dengan dua teman saya, para pengurus lain dan alumni juga mengatakan yang saya lakukan sangatlah tidak profesional. Seharusnya saya tidak memanggil pengurus dengan namanya saja meskipun mereka adalah teman saya. Karena itu dapat memperburuk marwah kepengurusan organisasi tersebut.
Saya tidak terima dengan pernyataan para pengurus dan juga alumni. Maka saya mempertanyakan apakah yang saya lakukan sudah melanggar AD/ART organisasi. Tetapi jawaban yang saya terima adalah “Ini sudah menjadi budaya untuk menghormati mereka yang lebih dulu masuk di organisasi ini, kamu memang berteman dengan dia sebelum masuk organisasi ini. Tapi sekarang kamu harus menjaga marwahnya dengan memanggil dia ‘abang’ baik itu di luar maupun di dalam organisasi,” ucap seorang pengurus yang dikenal dekat dengan alumni.
Sesudah kejadian tersebut, saya kini memanggil teman lama saya dengan kata penghormatan baik itu di dalam maupun di luar organisasi. Hal ini membuat saya merasa terlalu dibatasi. Perlakuan berbeda juga saya dapatkan dari pengurus lain. Hampir setiap rapat selalu disinggung mengenai sikap profesionalisme yang harus dijunjung tinggi dalam organisasi.
Sekarang hubungan saya dengan teman lama saya tersebut tidak seakrab dulu lagi. Mereka menganggap saya sebagai orang baru yang harus menghormati mereka di setiap situasi apa pun dan kapan pun. Meski ada satu orang teman saya yang meminta saya untuk memanggil namanya jika berada di luar lingkup organisasi, tetap saja saya merasa tidak kerasan untuk bertahan di organisasi tersebut.
Apakah pendapat Kak Au mengenai hal ini? Haruskah saya mengajukan resign meskipun organisasi ini adalah organisasi yang saya minati? Atau saya harus bertahan dengan hal yang menurut saya tidak masuk akal? Terimakasih.
JAWAB
Hai Mas AN yang sedang mengalami ketidaknyamanan di dalam organisasinya saat ini.
Begini, Mas. Seperti yang kita tahu bahwa setiap lingkungan pasti memiliki kulturnya masing-masing. Seperti pepatah yang kita kenal: di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Mungkin budaya pemanggilan nama senior dengan panggilan penghormatan di organisasi sampeyan tersebut mempunyai maksud yang lain. Seperti, tidak sekadar soal senioritas saja. Misalnya saja, untuk melatih respek antar anggota satu sama lain, sehingga tercipta suasana kerja organisasi yang lebih baik.
Akan tetapi, dapat dipahami kalau nggak semua orang dapat menerima kultur tersebut. Sebaliknya, bagi sebagian orang terkadang dengan adanya sistem hierarki yang ada, nggak serta merta dapat membangun sistem organisasi yang sifatnya lebih kekeluargaan. Yang ada malah menciptakan situasi yang terlalu formal dan jadi mudah ngerasa nggak enak satu sama lain.
Namun, kembali lagi, tentu saja kultur di organisasi tersebut tidak menjadi sesuatu yang salah. Apalagi kalau memang orang-orang di dalam organisasi sudah saling bersepakat mengenai budaya tersebut. Jadi, aturan yang ada itu tidak bisa disalah-salahkan begitu saja. Mengingat, setiap organisasi sudah punya aturannya sendiri.
Kalau memang orang-orang di dalamnya sudah nyaman dengan budaya pemanggilan nama yang berbeda atas nama profesionalisme. Tentu saja sampeyan nggak bisa ujug-ujug pengin mengubah itu semua, kan? Kecuali, kalau selain sampeyan, ada teman-teman lain di organisasi tersebut yang juga merasa nggak nyaman dengan budaya yang harus memanggil dengan menggunakan kata “Kak” atau “Bang” pada senior.
Kembali lagi, sampeyan juga nggak salah kalau misalnya merasa nggak nyaman dengan budaya tersebut. Ataupun nggak mau mengikuti kultur yang sudah ada itu. Itu menjadi pilihan sampeyan. Kira-kira, mana yang lebih sampeyan butuhkan? Kenyamanankah? Ataukah pengalaman berorganisasi yang sesuai minat itu?
Jadi, ini kembali ke sampeyan. Apakah sampeyan memilih tetap bergabung dalam sebuah organisasi dengan ketidaknyamanan demi minat pribadi? Ataukah keluar dengan alasan budaya dalam organisasi tidak masuk akal dan memang tidak sesuai dengan prinsip sampeyan?
Jadi silakan pertimbangkan saja sekarang. Kira-kira mana yang akan membuat sampeyan lebih bahagia. Fyi, tidak perlu memaksakan pada suatu hal yang kayaknya menarik, tapi ternyata nggak bikin sampeyan nyaman.
Soal nyaman dan tidak nyaman. Btw, sampeyan hanya perlu menjaga diri sampeyan sendiri. Bodo amat dengan omongan mereka di belakang. Kalau memang betul-betul nggak nyaman, nggak bisa bikin hati tenang, dan nggak bisa membuat sampeyan bersikap dengan “bebas”, kenapa harus dipertahankan?
Ngomong-ngomong, untung saja di organisasi sampeyan itu hanya disuruh manggil “Kak” atau “Bang”, bukan “Prof”. Lha kalau “Prof”, bisa jadi nanti malah dimarahin sama Prof Ariel. Eh.