Boleh dibilang, Rambat adalah lelaki yang sangat beruntung. Betapa tidak, dengan tampangnya yang ala kadarnya dan pekerjaannya yang hanya sebagai penjaga toko elektronik, ia berhasil mempersunting Rahma sebagai istrinya. Rahma bukan perempuan biasa, ia adalah perempuan istimewa. Tak hanya cantik, ia juga mandiri, pengertian, dan telaten mengurus rumah tangga.
Di kampungnya, Rahma dikenal sebagai bunga desa. Maka tak heran jika banyak lelaki yang iri dengan Rambat.
Pernikahan Rahma dan Rambat sudah berjalan lebih dari lima tahun, mereka juga sudah dikaruniai tiga orang anak. Sebuah gambaran yang hakiki tentang kebahagiaan sebuah keluarga.
Tapi dasar Rambat memang lelaki tak tahu diuntung, dengan segala anugerah istri “sempurna” yang ia dapatkan, ia ternyata masih tetap tergoda untuk selingkuh. Dan bajingannya, ia selingkuh dengan Wulan, kawan Rahma di tempat kerja.
Perselingkuhan itu bermula saat Rambat mengantar Rahma berangkat kerja ke sekolah. Kebetulan, Rahma bekerja sebagai karyawan TU di salah satu sekolah swasta di dekat kantor kecamatan. Saat mengantarkan Rahma itu, tak sengaja Rambat bertemu dengan Wulan yang bekerja sebagai guru kesenian di sekolah tempat Rahma bekerja.
“Oh, ini suaminya Mbak Rahma, ya?” tanya Wulan pada Rahma.
“Iya, Mbak.” Jawab Rahma yang kemudian langsung mengenalkan suaminya kepada Wulan.
Entah kenapa, ada yang aneh di hati Rambat saat ia bertatap wajah dengan Wulan. Hatinya serasa berdebar. Ia merasa ada sesuatu yang lain dari Wulan, sesuatu yang tidak bisa ia temukan pada sosok Rahma. Bukan soal kecantikan, sebab jika dibandingkan dengan Rahma, Wulan jelas masih kalah dengan Rahma. Entah, tapi yang jelas, semenjak perjumpaan saat itu, Rambat merasa yakin bahwa ia jatuh cinta pada Wulan.
Rambat kemudian mulai bergerilnya pada sosok Wulan. Akun Facebook, Twitter, dan Instagram Wulan langsung ia ikuti.
Singkat cerita, perasaan cinta terlarang itu rupanya bersambut. Wulan ternyata juga memendam perasaan pada Rambat. Karenanya, tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk saling ngelike foto, berbalas komen, hingga kemudian berbalas DM.
Keduanya semakin intens berkomunikasi, dan pada satu titik, mereka dengan berani saling mengungkapkan rasa ketertarikan mereka masing-masing. Hingga akhirnya, perselingkuhan itu pun tak bisa dicegah lagi.
Berkali-kali Rambat menyambagi Wulan di rumahnya. Hal itu ia lakukan saat suami Wulan sedang ada kerjaan lembur. Jika suaminya lembur, Wulan memang sendirian di rumah, sebab ia memang belum punya anak.
Hubungan gelap itu bertahan lumayan lama. Rambat dan Wulan sama-sama lihai menyimpan rahasia, sehingga sampai beberapa bulan Rambat rutin menyambangi Wulan di rumahnya, baik Rahma maupun suami Wulan sama sekali tidak mengetahui bahwa pasangannya selingkuh.
Lanskap hubungan terlarang itu kemudian berubah karena sebuah peristiwa.
Kala itu, saat Rambat sedang asyik bercumbu dengan Wulan, tiba-tiba, terdengar bunyi mesin motor masuk ke halaman rumah Wulan.
Wulan hafal betul dengan bunyi mesin motor tersebut. Itu bunyi mesin motor suaminya. Ia tentu tak menyangka jika suaminya akan pulang secepat itu, padahal seharusnya, suaminya baru pulang dua jam kemudian.
Benar saja, rupanya motor yang masuk ke halaman itu memang motor Cahyono, suami Wulan.
Rambat pun panik, terlebih saat suara langkah kaki Cahyono semakin terdengar dekat.
Kepanikan Rambat semakin menjadi-jadi tatkala ia sadar bahwa rumah Wulan tidak punya pintu belakang, itu artinya tak ada pintu keselamatan bagi Rambat di hadapan suami Wulan.
Beruntung sungguh beruntung, Wulan rupanya cukup jenius.
Saat Cahyono mengetuk pintu, Wulan dengan santai berkata kepada Rambat, “Mas, cepat pakai bajumu, Mas Cahyono biar aku yang urus.”
Rambat segera memakai bajunya, sementara Wulan berjalan santai menuju pintu rumah sambil membawa kantong plastik yang penuh dengan sampah.
Wulan langsung membuka pintu, dan di hadapannya berdiri sang suami tercinta.
Dengan tenang, Wulan mencium tangan suaminya, “Kok cepet pulangnya?” tanya Wulan pada Cahyono suaminya.
“Iya, kerjaan lemburnya cuma sedikit, jadi bisa pulang lebih awal,” jawab Cahyono.
“Ooooh.”
Cahyono kemudian bersiap melepas sepatunya. Namun kemudian, Wulan mencegahnya dan malah mengulungkan kantong plastik berisi sampah yang sudah ia bawa kepada Cahyono.
“Eh, Mas, mumpung sepatunya belum dilepas, tolong buangin sampah kita ke tempat pembuangan sampah yang ada di depan itu, ya” pinta Wulan.
Cahyono nurut, ia raih bungkusan sampah itu dan kemudian berjalan ke tempat pembuangan sampah warga yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumahnya.
Waktu saat Cahyono membuang sampah itu rupanya cukup bagi Rambat untuk memakai pakaian dan menyelinap keluar.
“Duuuh, ayeeeeem, untung Wulan perempuan cerdas, kalau enggak, sudah dibacok Cahyono pasti aku,” batin Rambat sembari berlari ke arah jalan raya untuk mencegat ojek untuk pulang.
Sepanjang perjalanan, jantung Rambat tak henti-hentinya berdetak kencang. Perasaannya campur aduk. Ayem tapi juga mangkel. Ayem karena dirinya baru saja selamat dari amukan Cahyono, dan mangkel karena pergumulannya dengan Wulan belum sempat mencapai puncak.
Karenanya, begitu turun dari ojek dan sampai di ujung gang dekat rumahnya, ia langsung berencana untuk menggumuli Rahma sebagai obat mangkel karena pergumulannya masih tanggung dengan Wulan.
Sampai di depan rumah, ia langsung mengetok pintu.
Dari dalam rumah, Rahma langsung membukakan pintu untuk Rambat.
“Dari mana, Mas?” tanya Rahma.
“Dari rumah Sukirno, dia mau nitip beli dispenser sama kipas angin,” jawab Rambat berdusta.
Rambat sudah tak sabar ingin segera masuk rumah dan bercumbu dengan Rahma. Namun belum juga ia masuk rumah, Rahma sudah mencegahnya.
“Eh, Mas, mumpung Mas masih di luar, tolong buangin sampah kita ke tempat pembuangan sampah yang ada di depan itu, ya,” pinta Rahma sembari menyerahkan bungkusan sampah kepada Rambat.