Rambat dan Prayit adalah sahabat masa kecil yang sampai mereka dewasa, hubungan persahabatan mereka masih terus bertahan. Betapa tidak, keduanya bersekolah di sekolah yang sama sejak SD, SMP, dan SMA. Bahkan, selepas lulus SMA pun, keduanya juga bekerja di pabrik yang sama.
Tak hanya urusan kerja, dalam urusan yang lain pun, keduanya juga hampir selalu barengan. Mabuk bareng, karaoke bareng, mancing bareng, nongkrong bareng, bahkan main perempuan pun mereka bareng. Tak heran jika kemudian orang-orang kampung menyebut mereka sebagai dwitunggal. Di mana ada Rambat, di situ ada Prayit.
Persahabatan keduanya terus terjaga, bahkan setelah mereka menikah. Rambat menikah dengan Lastri, kawan satu kelasnya semasa SMA. Sedangkan Prayit menikah dengan Ambar, karyawan QC di tempat Prayit dan Rambat bekerja, setahun setelah Rambat menikah.
Rambat dan Prayit agaknya memang sudah mendapat restu langit. Keduanya ditakdirkan untuk terus bersama. Hal itu terlihat jelas saat Rambat berhasil membeli sepetak tanah yang rencananya akan ia bangun sebagai rumah untuk ia tinggali bersama Lastri istrinya. Tak dinyana, petak tanah yang berhasil dibeli Rambat itu ternyata bersebelahan dengan rumah milik kakek Ambar yang rencananya memang akan diwariskan pada cucu kesayangannya itu.
Maka, jadilah keduanya bertetangga sebelahan persis.
Bersebelahan rumah membuat Rambat dan Prayit semakin tak terpisahkan saja. Yah, memang pada saat-saat tertentu, terjadi gesekan-gesekan kecil yang kemudian membuat hubungan mereka agak renggang, misal saat ada perbedaan pendapat soal pemasangan paving di jalan depan rumah mereka, atau saat Rambat protes pada Prayit karena terlalu berisik saat menonton siaran sepakbola di malam hari. Namun, semua gesekan-gesekan kecil itu biasanya akan segera reda satu atau dua hari kemudian.
Tahun berganti tahun, tak terasa, Rambat dan Prayit sudah punya anak. Rambat punya sepasang anak laki-laki dan perempuan, sedangkan Prayit dikaruniai satu anak perempuan.
“Mbat, ini aku mau nanya, tapi agak wagu,” kata Prayit pada Rambat suatu ketika saat mereka berdua nongkrong sambil mancing di sungai dekat tegalan sawah di ujung kampung.
“Halah, mau nanya apa?” tanya Rambat.
“Begini, aku kan sudah menikah empat tahun sama Ambar, nah, entah kenapa, aku merasakan kebosanan dalam urusan ranjang, apa kamu merasa begitu juga dengan si Lastri?” jawab Prayit sembari mengacungkan lambang kawin dengan tangannya: jempol dislempitkan di sela-sela jari telunjuk dan jari tengah.
Rambat agak kaget dengan pertanyaan Prayit, tapi ia tertarik juga untuk menjawab, sebab, pada dasarnya, Rambat sejatinya juga mengalami kegelisahan yang sama.
“Wah, iya, Yit. Jujur, aku juga merasa begitu. Seperti ada yang kurang gitu.”
“Nah, kan. Berarti bukan aku thok yang merasa,” kata Prayit, “kelihatannya kita perlu melakukan sesuatu, Mbat.”
“Sesuatu apa?”
“Begini, selama menikah, kamu pernah nggak jajan barang sekali dua kali seperti dulu saat kita masih belum menikah?”
“Hush, ngawur, yo jelas nggak pernah. Sejak menikah dengan Lastri, aku sudah berjanji dalam hati untuk tidak jajan lagi. Lastri itu perempuan baik-baik, aku nggak pengin menyakitinya.”
“Nah,” kata Prayit bersemangat, “Mungkin itu yang membuat kita merasa bosan, kita kelihatannya sekali-kali memang butuh jajan, Mbat.”
“Wah, nggak berani aku, Yit, nanti kalau ketahuan Lastri, gimana? Bisa nangis nggero-nggero dia.”
“Mangkanya jajannya jangan di Kemetiran,” kata Prayit merujuk salah satu tempat pelacuran di kota mereka. “Kita jajannnya premium sedikit, kita sewa hotel, trus ceweknya yang kita suruh dateng ke kamar kita. Nanti aku coba hubungi si Darmo, dia katanya punya kenalan germo yang bisa nyariin barang bagus.”
Rambat tampak ragu-ragu dengan usulan Prayit. Ia ingin menolak, tapi dalam hati kecilnya, ia sebenarnya penasaran juga.
“Gimana?” tanya Prayit.
Rambat masih terdiam.
“Hash, kesuwen. Sudah, pokoknya nanti malam kita berangkat, sore ini aku tak langsung mbooking hotel.”
Rambat masih juga diam. Tapi ia juga tak menolak. Prayit menganggapnya sebagai sebuah diam tanda setuju.
Malamnnya, Prayit benar-benar melaksanakan rencananya. Ia cangking si Rambat menuju hotel Tunggeng Inn, salah satu hotel budget tak jauh dari pabrik tempat mereka bekerja.
“Aku sudah booking di Tunggeng, aku booking satu kamar, dana kita terbatas, jadi nanti kita gantian, kayak dulu. Aku sudah hubungi Darmo, dan dia sudah menghubungi Mami Anggit, germo yang katanya sudah menyiapkan barang bagus buat kita. Oh ya, nanti kita patungan. Hotelnya habis tiga ratus, trus buat ceweknya kena satu juta, soalnya dua kali, aku sekali, kamu sekali. Totalnya satu tiga, nanti kamu urun enam ratus, biar aku yang tujuh ratus.” kata Prayit sepanjang perjalanan.
Rambat hanya manut.
Sesampainya di Hotel, Prayit langsung menuju meja resepsionis untuk check in. Di Lobi hotel, Prayit memberikan instruksi pada Rambat.
“Ini ceweknya sudah otw, habis ini sampai. Yang main kamu duluan saja, aku belakangan. Kamu stand by di kamar saja. Nanti ceweknya bakal langsung naik ke kamar, sudah aku kasih tahu nomor kamarnya. Ini ceweknya namanya Sisca, umurnya 34 tahun, sudah agak berumur memang, tapi kata Mami Anggit, dia barang bagus, jadi tidak akan mengecewakan,” jelas Prayit. “Nanti kalau kamu sudah selesai, kamu langsung turun, trus kasih tahu aku. Gantian. Aku nunggu di angkringan depan itu.”
Tanpa banyak cakap, Rambat pun langsung masuk lift dan segera menuju ke kamarnya, sedangkan Prayit tampak keluar dan langsung mengambil posisi di kursi angkringan.
Sesuai rencana, Sisca datang dan langsung menuju kamar. Di dalam kamar, Rambat sudah menanti dengan agak deg-degan. Maklum, ini pertama kalinya ia bakal main dengan perempuan selain istrinya setelah ia menikah.
“Kelihatannya sudah nggak sabar ya, Mas?” goda Sisca, perempuan setengah baya yang tubuhnya benar-benar semledot bagaikan bakpao yongyen itu.
“Ehm… iya, kelihatannya…” jawab Rambat gugup.
Tanpa banyak basa-basi, Sisca pun langsung melepas bajunya, begitu pula dengan Rambat. Keduanya kemudian langsung menjalani pergumulan spiritual.
Dua puluh menit berlalu, Rambat pun keluar dari kamar dan langsung memberitahu Prayit yang sudah menunggu di angkringan depan hotel.
“Yit, giliranmu,” kata Rambat.
“Gimana rasanya? Mantap?” tanya Prayit.
“Mantap apanya, mengecewakan. Permainannya masih kalah lincah ketimbang Lastri istriku.”
Prayit agak terheran-heran. “Wah, padahal kata Mami Anggit, Sisca itu bintang jempolan, lho.”
“Kalau nggak percaya, coba saja sendiri,” balas Rambat yang kemudian langsung duduk di kursi angkringan.
Tanpa banyak ba bi bu, Prayit pun segera menuju lift dan langsung naik ke kamar.
Lima belas menit berlalu. Prayit tampak sudah keluar dari hotel dan langsung mendatangi Rambat.
“Gimana?” tanya Rambat.
“Bener katamu, Mbat!” jawab Prayit.
“Bener, gimana?” tanya Rambat lagi.
“Mainnya masih kalah lincah ketimbang Lastri istrimu!”