Dasar urusan selangkangan, kalau sudah ngebet, rasanya susah buat dihalau. Itu yang dirasakan Rambat. Sedari sore dia sudah nyut-nyutan pengin bercocok tanam di atas ladang istrinya, Marni. STTB, begitu kata orang-orang. Anak ’90-an tahunya itu singkatan dari Surat Tanda Tamat Belajar, tapi di kasus ini maksudnya Sange Tak TerBendung.
Sejak pulang kerja tadi Marni memang sudah tampak sedemikian menggoda.
Sayang, untuk urusan ranjang mereka tak bisa bebas kapan saja mereka mau. Maklum, mereka berdua masih tinggal dengan orang tua sehingga untuk melaksanakan ritual, harus menunggu malam.
Penantian pada akhirnya tak berkhianat. Malam datang juga. Di ranjang Rambat sedikit gelisah.
“Dek,” desis Rambat setelah memindahkan si kecil yang berusia setahunan dan sudah tertidur agak ke pojok kasur.
“Hmmm, apa ….” Marni masih sibuk dengan HP-nya.
“Sibuk amat, Dek?”
“Ini loh, ada pelanggan yang ‘itu’-nya tetap gatal setelah pakai sabun jualanku. Dia pakai tiap hari katanya, tapi ‘itu’-nya tetap gatal,” jawab Marni datar. Sebagai reseller sabun kewanitaan, waktu kerjanya memang nyaris 24 jam.
“Lho kok bisa ya?”
“Nggak tahu. Gatal pengin ‘itu’ kali,” balas Marni santai.
Rambat terkikik. Dirangkulnya Marni.
“Atau jangan-jangan bukan gatal, tapi kegatelan?” goda Rambat.
Marni mencubit batang suaminya. “Ih, Mas …,” Marni melirik, “kok sudah keras aja?”
Rambat cengengesan.
“Mas punya cerita buatmu,” ujarnya sambil mengendus-endus leher istrinya. Ia tahu titik terlemah perempuan itu.
“Geli, Masss ….” Marni mulai menggeliat-geliat. “Cerita apa? Soal gatel?”
“Bukan, cerita Pak Haji.”
Rambat berbaring di ranjang, lampu sudah dimatikan, cahaya dari kusen jendela masuk ke kamar. Marni mematikan HP merangkak mendekati Rambat. Melihat istrinya merangkak saja Rambat sudah merasa ngilu.
Rambat mulai bercerita sambil membelai-belai rambut istrinya. Sedangkan Marni balas mengelus-elus perut suaminya.
Begini ceritanya ….
Pepaya di depan rumah Pak Haji sedang berbuah. Pohonnya tak tak terlalu rimbun, tapi buahnya cukup lebat. Sayang, pohonnya cukup tinggi.
Pak Haji orangnya baik, siapa saja yang meminta buah pepayanya pasti dikasih, asal makan di tempat. “Biar yang lain juga dapat jatah,” begitu alasannya.
Sore itu, Rini, remaja kelas satu SMA tetangganya, datang.
“Pak Haji, aku boleh minta pepayanya?”
“Boleh saja, asal mau memanjat,” kata Pak Haji yang sedang duduk di teras sambil membaca koran.
Rumah Pak Haji sepi. Ia hanya tinggal berdua dengan istrinya. Anak-anaknya sudah pindah ke kota lain.
“Soal manjat gampang, Pak Haji,” kata Rini.
Hup, seketika dia sudah sigap melompat dan menempel di batang pohon. Pak Haji cemas menyaksikan. Apalagi si Rini masih memakai rok sekolah.
“Hati-hati, Dduk,” pesan Pak Haji.
“Pak Haji mau sekalian diambilkan?” tanya Rini dari atas pohon.
“Bolehlah,” Pak haji mendekat ke bawah pohon, “lemparin saja, Nduk, nanti kusambut,” kata Pak Haji.
Pak Haji lalu melihat ke atas, ia berada persis di bawah Rini. Seketika Pak Haji melihat pemandangan yang tidak diharapkan. Rini memanjat pohon pepaya dalam kondisi tidak pakai celana dalam.
“Astagfirullah, Nduk. Turun, turun sekarang.”
“Kenapa Pak Haji?” Rini merasa heran.
“Pokoknya turun sekarang.”
Seketika Rini meluncur. Dan, hap, sampai di tanah.
“Kamu kenapa tidak pakai celana dalam to?”
Muka Rini bersemu merah. “Anu, Pak Haji, tadi basah, kena pipis. CD yang lain sedang basah semua,” jawab Rini polos.
Pak Haji geleng-geleng kepala. “Kamu ini sudah besar lho, Nduk, isin kalau nggak pakai celana dalam. Ini uang untukmu 50 ribu. Beli celana dalam sana, yang banyak. Jangan dipipisin lagi.”
Rini girang bukan kepalang. Setengah berlari ia pulang. Di rumah ia bercerita ke ibunya soal ia lupa pakai celana dalam dan uang yang dikasih Pak Haji.
“Untung tadi yang lihat cuma Pak Haji,” Reni, ibu Rini menanggapi, “tapi boleh juga dicoba,” ia tertawa cekikikan.
Segera Reni meluncur ke rumah Pak Haji, tentu setelah melepas celana dalamnya.
“Pak Haji, aku boleh minta pepayanya?”
“Boleh saja kalau mau memanjat,” kata Pak Haji yang sedang duduk di teras masih membaca koran. Rumah Pak Haji masih sepi.
“Soal manjat gampang,” kata Reni pula. Hup, seketika dia sudah memanjat. Pak Haji cemas menyaksikan. Apalagi si Reni cuma memakai daster.
“Hati-hati, Yu,” pesan Pak Haji.
“Pak Haji mau sekalian dambilkan?”
“Bolehlah.” Pak Haji mendekat ke bawah pohon. “Lemparin saja, nanti kusambut.”
Melihat Pak Haji mendekat, Reni mencari posisi yang pas agar pemandangan yang sudah ia persiapkan bisa disaksikan pula oleh Pak Haji.
Lama Pak Haji diam. Reni jadi degdegan.
“Gimana, Pak Haji? Buahnya kelihatan tidak?”
“Nggak kelihatan, daunnya terlalu lebat,” desis Pak Haji yang segera tersadar, “astagfirullah, turun, turuuun, Yu!”
Reni tersenyum manis. Berarti Pak Haji sudah lihat isi dasternya dari bawah sana. Reni merasa berhasil lalu meloncat turun. “Gimana, Pak Haji?”
“Kamu kenapa tidak pakai celana dalam to, Yu?”
Reni tersenyum malu-malu. “Gerah, Pak Haji. Jadi tadi lupa pakai.”
Pak Haji geleng-geleng kepala lalu merogoh kantong. “Ini ada uang 20 ribu. Beli silet atau gunting, cukur biar tidak seperti hutan belantara begitu.”
Reni mesem-mesem. Dia kecewa tidak dapat uang sebanyak Rini, padahal upayanya jauh lebih rumit. Tapi, lumayan juga.
Mungkin dia memang perlu mencukur ‘itu’-nya biar tak jadi belantara. Setidaknya bisa bikin jalan lebih jelas, biar suaminya yang sopir itu tahu jalan masuk kalau kebetulan nginap di rumah.
Sesampainya di rumah, Reni menceritakan soal Pak Haji itu kepada Rini. Keduanya saling terkekeh.
Runi, nenek si Rini, mendengar obrolan anak dan cucunya itu.
“Jadi Pak Haji ngasih uang kalian gara-gara nggak pakai celana dalam?” tanya Runi.
Rini dan Reni mengangguk. Si nenek tak mau ketinggalan. Meluncurlah si nenek ke rumah Pak Haji, tentu setelah meloloskan celana dalamnya.
“Pak Haji, aku boleh minta pepayanya?”
“Boleh saja, kalau Bu Runi bisa memanjat,” kata Pak Haji yang masih sibuk membaca koran.
“Soal manjat gampang,” jawab Runi.
Hup, seketika perempuan yang hampir 60 tahun itu sudah merangkak naik ke batang pohon. Pak Haji lagi-lagi cemas menyaksikan. Apalagi Nek Runi cuma pakai sarung.
“Hati-hati, Bu,” pesan Pak Haji.
“Pak Haji mau sekalian diambilkan?”
“Bolehlah.” Pak haji mendekat ke bawah pohon. “Lemparin saja, Bu, nanti saya tangkap.”
Pak Haji lalu melihat ke atas, ia berada persis di bawah Nek Runi. Seketika Pak Haji melihat pemandangan yang tidak diharapkan.
“Astagfirullah, turun … turuuun …,” jerit Pak Haji dari bawah.
Nek Runi tersenyum manis. Berarti Pak Haji sudah lihat isi sarungnya dari bawah sana.
“Gimana, Pak Haji?”
“Kamu kenapa tidak pakai celana dalam?”
Nek Runi tersenyum malu-malu.
“Aduh, maaf, Pak Haji, saya suka lupa.”
“Ini uang 2 ribu,” kata Pak Haji masih geleng-geleng kepala, “belum tua bener kok sudah gersang begitu. Beli sana kemiri, bakar terus gosok biar ada yang tumbuh.”
Marni tertawa ngakak mendengar cerita Rambat. Pelukannya makin rapat di badan Rambat yang tahu-tahu sudah tidak berbaju.
“Kalau misalnya aku yang manjat pohon Pak Haji, kira-kira dikasih uang berapa dan disuruh beli apa ya?”
Sebelum menjawab, Rambat mencubit bibir istrinya dengan bibirnya. Napasnya sudah sesak, jakunnya naik turun, celananya sudah penuh.
“Hmmm … mungkin kamu dikasih seribu sama Pak Haji.”
“Kok bisa?” protes Marni.
“Iya, dikasih seribu, disuruh ke pasar beli sirih. Biar keset, wangi, dan rapet,” jawab Rambat sambil tertawa sekencang-kencangnya, sepuas-puasnya.
Jawaban itu nyatanya bukan jawaban yang diharapkan. Tawa Rambat soal sirih itu bikin Marni tersinggung, sebab ia seolah-olah mengatakan bahwa “punya” Marni sudah nggak rapet dan keset lagi.
Marni langsung melepas pelukannya dan berbalik arah. “Aku lagi dapet,” ujarnya singkat.
Rambat melongo. Memandang langit-langit kamar dengan hasrat yang belum tuntas.
Bigur! Birahi nganggur.