Baca cerita sebelumnya di sini.
Kematian adalah suatu upaya memperbaharui hidup. Setidaknya, ungkapan itu pernah kubaca di sebuah buku, yang entah siapa penulisnya—aku lupa. Pikiran semacam itu pulalah yang muncul ketika kudapati tubuh Sonya mulai membiru. Napasnya yang sempat tersengal-sengal akhirnya berhenti sama sekali. Tapi, setelah kuamati wajahnya selama dua jam, aku mendapatkan pikiran baru bahwa “kematian adalah suatu upaya untuk mengakhiri sebuah pertengkaran”, meski aku tak menghendaki hal itu.
Meski dia tak bernapas, tubuhnya mulai sepucat pualam, tapi aku masih menyayanginya. Aku tak ingin merusak citra cantiknya. Maka, kusimpan dia di lemari pendingin setelah kukosongkan perut lemari pendingin itu dari segala macam isi yang kerap penuh. Sonya sangat gemar berbelanja bahan dapur, apa saja selalu dia beli. Bahkan, segala macam sayuran yang mungkin dia tak doyan pun tetap dibelinya. “Untuk persediaan,” kilahnya, jika kutanya mengapa dia mesti membeli sayuran dan buah-buahan itu.
Aku mencintainya melebihi aku mencintai diriku sendiri. Hal ini adalah kejujuran, meski banyak orang yang menyangsikan. Apa yang kurasakan kepada Sonya seolah hanyalah sebuah bualan. Orang-orang yang selama ini mengenalnya kerap kali menganggapku seperti manusia brengsek yang hanya akan mengisi hari-hari Sonya dengan kepiluan belaka. Betapa dungunya mereka!
Salah satu manusia dungu, ya, si lintah itu: Adimas Hardoyo. Dalam banyak kesempatan,dia gemar sekali meracuni pikiran Sonya untuk meninggalkanku. Tentu saja harapannya adalah agar Sonya beralih hati dan memilihnya.
Aku bukannya seseorang yang begitu bodohnya seperti yang Adimas kira. Aku tahu bahwa setiap malam dia mengirim pesan pendek ke gawai Sonya, sementara di lain waktu dia akan memberikan apa yang Sonya kagumi dari dirinya. Hal remeh-temeh inilah yang kemudian menjadi kebiasaan Sonya; menikmati secangkir teh, misalnya.
“Emmm, tehmu kurang enak, Mas. Kurang pahit dan wangi! Adimas itu, loh, pintar sekali bikin teh. Aku suka jika dia membuat teh racikannya,” ujar Sonya sembari menaruh cangkir teh yang kubikinkan di meja. Matanya masih saja menatap flyer acara yang sedang dia kerjakan. “Itu teh celup merek apa sih? Kok rasanya aneh? Besok aku akan berbelanja. Kucoba cari teh merek lama saja yang jelas enaknya.”
Kali ini, saat meneruskan komentarnya, Sonya melihat sekilas ke arahku. Wajahnya tetap tenang, tak ada sorot menyesal di kedua matanya. Mungkin baginya, ucapannya yang membandingkan diriku dengan Adimas tak membuat hatiku terluka.
Aku masih bertahan, duduk menemaninya merampungkan pekerjaan di ruang keluarga, meski—sampai selesai pekerjaannya—teh itu dingin begitu saja tanpa ia sentuh lagi. Aku menahan rasa marah dengan menghabiskan beberapa batang rokok di halaman belakang. Betapa menyedihkannya dibandingkan dengan laki-laki lain, padahal hanya karena secangkir teh.
Masalah rokok ini pun aku tak lepas dari bayang-bayang Adimas. Aku tahu sejak awal bahwa Sonya sangat menghindari asap rokok. Dalam banyak kesempatan, aku selalu menjauh darinya ketika ingin merokok. Asbak besar yang dia beli memang untukku, tapi itu bertujuan agar tak ada alasan abu dan puntung rokokku berceceran. Jika tanpa sengaja sejentik abu berceceran lantaran aku meleset memasukkannya ke asbak, gerutuan Sonya akan terdengar.
“Kenapa Mas Aran ini tak bisa berhenti merokok? Banyak temanku yang laki-laki tak merokok. Mereka sangat sehat dan tetap hidup normal sebagai lelaki,” ucap Sonya ketika melihat aku merokok di halaman belakang.
“Memangnya kenapa jika merokok? Toh aku berusaha untuk selalu jauh darimu ketika merokok,” sahutku kesal di sela aku mengisap puntung rokokku.
“Contohlah Adimas, sejak dulu kukenal dia tak merokok dan dia baik-baik saja. Dia salah satu laki-laki yang kukenal dan menerapkan hidup sehat. Mas tidak ingin mencoba seperti itu?”
Dengan kesal aku menatap Sonya. Tak kusangka, ada Adimas lagi yang mampir di kepalanya. Mengapa laki-laki itu sedemikian lekat di kepala Sonya? Pertanyaan ini kadang yang membuatku kesal dengan laki-laki muda satu itu.
“Jika aku mengikuti Adimas, aku tak akan bisa menikahimu,” jawabku sembari membanting puntung rokok yang masih mengeluarkan bara di lantai dan menginjak-injaknya dengan kesal. Persetan dengan asbak di atas meja.
“Maksudnya bagaimana?” Sonya terlihat tak mengerti.
“Jika aku mengikuti Adimas, aku tak akan bisa menikah denganmu karena aku akan memilih jadi lelaki bisu yang hanya bisa memendam rasa cintanya di dalam hati. Seperti sahabatmu itu!”
Sonya agak terperanjat mendengar apa yang kukatakan. Tapi, siapa yang peduli? Dengan kesal, aku masuk ke dalam kamar dan merebahkan badan. Sisa nikotin dari rokok yang kuisap masih menempel di baju dan mulut. Di hari-hari biasa, Sonya akan segera menegurku karena dia sangat anti dengan bau rokok. Tapi kali ini aku tak peduli, rasa kesalku meledak-ledak. Sonya memang tak menegurku, tapi dia tidur memunggungiku sepanjang malam.
Adimas dan semua orang yang mengenal Sonya kerap tak ingin mengubah pemikiran mereka tentang diriku. Aku tahu dari bagaimana cara mereka berbicara denganku. Aku dianggap seperti monster yang siap mengganyang Sonya kapan saja. Tapi mereka tak tahu sampai di mana batas rasa cintaku kepada Sonya. Kemarahan yang sering timbul dari rasa sakit hati lantaran kurang pekanya Sonya kepadaku kerap diartikan bahwa aku seorang yang gemar berbuat KDRT, bahwa aku seorang suami yang tak labil dalam emosi. Manusia seperti diriku inilah yang patut dijauhi.
Mereka tak bisa melihat cinta orang lain lantaran sudah ditutupi benci. Mereka tak peduli jika sorot mataku selalu kagum melihat Sonya. Mereka tak tahu setiap malam aku selalu berdoa agar perempuan yang berbagi ranjang denganku ini pada waktunya akan mencintaiku seperti aku mencintainya. Mereka tak tak pernah paham bahwa, selepas aku mengajak Sonya bertengkar, aku pasti sangat merasa menyesal. Beberapa kali, aku menginginkan kematianku sendiri hanya karena tak tahan kerap menyakiti Sonya lewat kata-kata atau perbuatan.
Aku tak tahu apakah Sonya juga melakukan hal yang sama kepadaku. Ada rasa sakit ketika ia ingat juga menyakitiku.
Ketika Sonya harus keguguran anak pertama kami di usia lima bulan, aku tetap berada di sampingnya. Sonya yang sedang hamil muda harus tetap bekerja seperti biasa. Dia harus mengurus segala macam kegiataan kebudayaan di kantornya. Kegiatan yang menumpuk-numpuk itulah yang menguras tenaga Sonya sampai habis.
Siapa yang menginginkan Sonya bekerja keras saat dia hamil? Tentu saja manusia brengsek bernama Adimas itu yang menginginkan Sonya mengatur semuanya! Segala macam masukanku tentang dirinya hanya terasa seperti angin lalu.
“Jadwal semua kegiatan sudah kami perbincangkan sejak satu tahun yang lalu. Tidak mungkin dibatalkan hanya lantaran aku hamil. Lagi pula, Adimas tak mau dicarikan partner baru,” kata Sonya saat kutegur dia jangan sampai kelelahan.
“Adimas harusnya mencari orang lain untuk mengurusi semuanya. Kau terlihat capek,” jawabku sembari memijit kaki Sonya.
Setiap malam aku harus memijit Sonya. Hal itu dia minta selepas kami tahu bahwa dia sedang mengandung. Aku tak mengeluhkan hal itu. Bagiku, memijit Sonya adalah kebahagiaan tersendiri. Berada di sampingnya saat kepayahan adalah hal terpenting yang harus kulakukan.
Meski kutegur Sonya malam itu, istriku hanya melempar senyum.
Dia memegang pipiku dengan lembut sembari berujar, “Izinkan aku tetap bekerja, Mas.”
Aku tak kuasa menahannya. Tapi yang terjadi memang harus terjadi. Tiga hari kemudian kutemukan Sonya terkapar di kamar mandi dengan darah mengalir ke kakinya seperti anak sungai. Jantungku berdegup kencang, nyaris berhenti ketika melihatnya. Kubawa Sonya secepatnya ke rumah sakit agar dia dan calon anak kami selamat. Tapi, secepatnya aku bergerak, malaikat maut jauh lebih cepat. Calon anak kami meninggal. Sonya selamat, meski dia sempat mengalami masa kritis lantaran pendarahan saat keguguran.
Semua orang yang menyayanginya berkumpul secepat kabar Sonya dibawa ke rumah sakit sampai ke telinga mereka. Kedua mertuaku segera datang dari luar kota. Tapi, apa komentar ayah mertuaku?
“Bagaimana caramu menjaga istri sampai dia keguguran?” tanya bapak mertuaku dengan dingin.
Semua orang yang membesuk menyayangkan apa yang menimpa Sonya. Tapi, tak ada satu pun yang menyinggung bahwa Sonya keguguran lantaran begitu keras bekerja. Bahkan, Adimas yang turut menunggui saat Sonya kritis pun seolah merasa tak ada apa-apa. Dia hanya khawatir dengan keselamatan Sonya, tapi terlihat tak peduli ketika aku menggendong janin yang gagal dipertahankan Sonya untuk kubawa pulang dan dimakamkan. Baginya, pekerjaan Sonya bukanlah masalah atas keguguran yang menimpa Sonya.
Selepas itu semua, aku tetap di samping Sonya. Aku sendiri paham kesakitan lantaran kehilangan itu jauh sangat dia rasakan. Kukatakan semuanya akan baik-baik saja.
Aku berharap semuanya akan baik-baik saja, tapi sayangnya sampai malam petaka itu tiba, aku paham bahwa semuanya tak baik-baik saja.
***
Aku telah menempuh jalan siksa atas kematian orang yang kusayangi. Tanganku penuh darah dan berbau anyir. Setidaknya, itulah yang kurasakan selama berhari-hari ketika meringkuk di penjara. Di dalam rasa sepi itu, aku semakin sadar bahwa rasa cintaku kepada Sonya semakin menggebu-gebu. Andai aku tak dikurung di dalam balik jeruji besi, mungkin aku akan pergi ke makamnya dan kuhidupkan lagi perempuan yang kucintai itu. Tentu, andai aku bisa menghidupkan orang mati.
Setiap malam di dalam mimpi, aku selalu memimpikan Sonya. Ia seolah hadir di dekatku. Seolah aku melihatnya duduk di ruang keluarga sembari asyik menonton televisi, terkadang seolah dia masuk ke dalam rumah seperti ketika dia pulang dari bekerja. Sonya kerap hadir di mimpi tanpa kuminta, sampai suatu pagi ketika aku terbangun dalam keadaan meringkuk di sudut penjara, aku melihat bayangan itu.
Aku melihat Sonya, berdiri menatapku dengan tatapan iba. Aku ingin menangis ketika benar-benar melihatnya. Mungkin dia merasa sedih melihat diriku. Di sel ini, aku dikurung seorang diri. Kehilangan dan kesepian yang kurasakan memang sedikit lagi kurasa akan membunuhku.
Sonya menemaniku di dalam sel penjara, meski kami saling berdiam diri. Aku harus berpura-pura seolah tak melihatnya. Apabila dia menghilang, dia akan datang ketika kurindukan. Dia masih membelai rambutku ketika aku pura-pura tidur. Dia menemaniku makan dan kerap menyesalkan saat melihat makanan yang kusantap.
Seperti hari ini; ketika selesai bertemu dengan pengacaraku dan Sonya juga muncul di sana, dia sempat menghilang. Tapi, tepat tengah malam, dia muncul kembali. Aroma wangi parfumnya menguar menusuk penciumanku. Perlahan aku mendekatinya, kutatap wajahnya lekat-lekat. Rasa cintaku seolah-olah semakin bertambah. Kutarik perlahan tangan kanannya. Kupeluk dia dengan kerinduan.
“Jangan tinggalkan aku untuk kedua kalinya, Sayang. Aku sangat menyayangimu. Jika kau ingin lesap ke antah berantah, ajaklah aku,” bisikku di samping telinga Sonya.
“Aku juga tak ingin meninggalkanmu. Kini aku tahu seberapa besar rasa cintamu kepadaku,” balas Sonya sembari menciumku.
Kami berdua berpelukan erat, lalu kuajak dia bergelung di sudut kamar tahanan.
“Aku sangat mencintaimu. Sangat,” bisikku berulang-ulang.