Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Cerbung Berbalas Fiksi

Il Faut d’Abord Durer

Dea Anugrah oleh Dea Anugrah
26 November 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Baca cerita sebelumnya di sini.

Pria itu terjaga menjelang pukul 7 pagi. Ia mengenakan jubah merah yang biasa disebutnya “jubah raja” dan mengamati istrinya yang pulas dalam lindungan selimut. Pria itu sadar penglihatannya telah tumpul dan pikirannya, berkat demensia dan terapi setrum, tidak lagi dapat diandalkan, tapi pagi itu ia tahu ia mencintai istrinya. Ia ingat bagaimana mereka berjumpa dan saling jatuh cinta dan meninggalkan pasangan masing-masing untuk bersama.

Diiringi bunyi napasnya sendiri yang berat tetapi lembut, pria itu berpaling. Ia menuruni anak-anak tangga, mengambil shotgun 12 gauge laras ganda yang kerap ia pakai berburu merpati, lalu keluar ke beranda. Saat itu awal Juli dan langit pias dan angin hanya lewat sesekali. Pria itu mencium bau rumput dan logam bergemuk. Chamber diisi dua butir peluru. Ujung laras ditempelkan pada kening. Pelatuk didekatkan ke ibu jari.

“Apa keinginan manusia?” tanya pria itu kepada sahabat yang kelak menuliskan riwayat hidupnya beberapa pekan sebelum pagi itu. “Kesehatan, pekerjaan yang lancar, keriaan bersama kawan-kawan, kenikmatan di ranjang. Aku tak lagi punya semua itu, kau tahu. Tidak satu pun.”

Ia yang senang menutup surat-suratnya dengan frase il faut d’abord durer atau “di atas segalanya, orang mesti bertahan” itu memutuskan untuk berhenti menjelang usia 62. Tidak seperti Sayid Hamid Benengeli dalam sebuah sajak Goenawan Mohamad yang “membuat tanda terakhir dengan dawat di kertasnya, seperti sebuah titik, seperti melankoli,”  dia memilih pergi diiringi dentam. Pada dinding depan rumahnya, ia membuat tanda terakhir dengan darah dan otak dan serpihan batok kepala.

Dia menerbitkan 7 novel, 6 kumpulan cerita pendek, dan 2 karya nonfiksi semasa hidupnya. Naskah-naskahnya yang lain, termasuk memoar tentang masa mudanya, terbit secara anumerta.

Kisah hidup pria itu, mulai dari masa kanak-kanaknya dengan ayah berangasan dan ibu yang senang mendandani dia seperti anak perempuan, berbagai petualangan, hingga maut yang direnggutnya dengan gaya, adalah bahan-bahan yang dibicarakan orang sampai kini. Namun, peninggalan terpenting pria itu bukanlah riwayat.

“Kau tahu, kau bukan tokoh dalam tragedi. Begitu juga aku. Kita adalah penulis dan urusan kita adalah menulis,” ujar pria itu dalam sebuah suratnya.

Seorang kritikus menyebut novel pertama pria itu telah “mempermalukan karya-karya lain dalam bahasa kita.” Teknik menulisnya, “prosa naratif yang ramping dan keras dan atletis,” ditambah caranya menciptakan karakter dan lain-lain, adalah pal besar dalam sejarah seni penulisan. Ia adalah sungai raksasa yang darinya banyak sungai lain tercipta.

Pria itu diam di kubur dan dunia banyak berubah. Manusia bersafari ke luar angkasa dan berburu lawan jenis di Tinder dan memancing keributan di Twitter. Laki-laki tidak lagi harus tangguh dan semua orang menjadi lebih cerewet. Perubahan nilai-nilai membuat orang mengkaji ulang teks-teks yang dianggap penting, termasuk karya-karyanya.

Seorang kritikus lain menulis: “Hari-hari ini, memuji karyanya sudah tidak sesuai mode. Perempuan-perempuan dalam karyanya kerap kali cuma pantulan dari kebutuhan pria, dan ia kasar.”

Mode itu ialah standar politis baru dan dia, yang serba keliru berdasarkan ukuran tersebut sudah ketinggalan zaman. Namun, apakah bobot penulis harus diukur dengan cara demikian? Bukankah penulis tak harus jadi pewarta “kebenaran” dan sebuah karya bernilai terutama karena kualitas artistik, bukan pesan moral, yang dikandungnya?

Seorang jurnalis dan penyair yang kukenal mengomentari karya terbesarnya: “Dibaca sampai hari ini pun masih berdentang,” katanya. “Dalam novel itu, kita bukan cuma menemukan kedalaman tema, tapi juga kematangan membungkus gagasan. Pengalaman sang tokoh utama adalah juga pengalaman manusia pada umumnya: bertarung meski tahu pada akhirnya akan sia-sia.”

Pembaca yang baik,

Iklan

Pria itu bukanlah AH atau penulis-penulis lain yang pernah kuceritakan dalam seri ini. Kadang, tak peduli saatnya kurang tepat, aku hanya ingin bicara tentang sesuatu yang nyata dan kuat, yang bukan sekadar bagian dari permainan sia-sia ini, yang pantas kubayangkan saat memejamkan mata dan harus mengatakan “di atas segalanya, orang mesti bertahan.”

Baca cerita berikutnya di sini.

Terakhir diperbarui pada 13 Desember 2018 oleh

Tags: berbalas fiksicerpenDea AnugrahIl faut d'abord durershotgun 12 gauge
Dea Anugrah

Dea Anugrah

Artikel Terkait

Esai

Anak yang Dipaksa Durhaka oleh Orang Tuanya

27 Juni 2021
Berbalas Fiksi

Dirimu Berharga, Mereka Hanya Tak Mau Bilang Saja

29 Juli 2019
Berbalas Fiksi

Meninggalkan Rumah, Menemukan Diri Sendiri

25 Juli 2019
Berbalas Fiksi

Cinta yang Membelenggu dan Perhiasan Delapan Juta Rupiah

22 Juli 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.