Kalau ditanya soal pengalaman jadi penulis Mojok, saya tidak akan pernah bosan untuk menceritakan kembali satu peristiwa di sebuah malam jahanam di Malang.
Malam itu hujan hampir reda dan saya baru selesai ditanggap jadi pembicara di acara ulang tahun Mojok. Malam yang berat buat saya. Melawan kharisma Bang Edo sulit, menandingi kelucuan Mas Agus susah, menyaingi kecantikan Dek Widi saya nggak sanggup. Satu-satunya yang bisa saya lakukan malam itu adalah mengimbangi umur Mas Kokok.
Satu pelajaran yang saya dapat malam itu adalah bahwa saya tidak bisa menandingi semua nama itu dalam urusan popularitas. Mas Agus, Bang Edo, dan Kepala Suku kebanjiran permintaan foto bareng. Juga Mbak Kalis yang sebenarnya malam itu malah nggak ikut ngomong sama sekali. Bahkan Mas Kokok, yang unda-undi soal umur dengan saya, ada yang ngajakin foto bareng.
Diam-diam saya melipir ke pojokan. Ngobrol gelap-gelapan dengan Bana, biar ada alasan kalau ditanya soal foto bareng penggemar: gelap, jadi pada nggak ngeliat saya. Sampai seorang anak muda mendatangi kami berdua. “Nah! Ini dia!” pikir saya. Lalu pemuda bedebah itu dengan sopan berkata, “Mas, maaf, bisa minta tolong fotoin saya sama Mas Bana?”
Tapi sekarang, demi melihat bagaimana artis-artis ternama mempertahankan popularitasnya, saya bersyukur karena tidak populer. Popularitas, foto bareng, permintaan pertemanan, dan sebagainya tidak lagi bisa menghibur saya. Cuma WhatsApp yang mengabarkan honor Mojok sudah cair yang bisa.
Cara paling sederhana untuk mempertahankan popularitas, di luar berkarya, adalah membuat sensasi. Sang Incess, Syahrini, tidak berhenti membuat istilah-istilah yang kalau dihitung mungkin lebih banyak daripada judul lagu yang pernah dinyanyikannya. Pamela eks Duo Serigala bahkan rela bersusah payah mengguncang buah dadanya keliling Indonesia.
Cara lain adalah memanfaatkan media sosial. Ada yang curhat, ada yang marah-marah. Alasannya bisa macam-macam. Cemburu dengan mantannya suami, misalnya. Repotnya kalau sekeluarga artis semua: bapaknya curhat di twitter, ibunya marah-marah di instagram, anak lelakinya lebay di facebook, dan menantunya ngamuk di path. Benar-benar sebuah keluarga digital yang sadar media sosial.
Cara yang paling buruk adalah berurusan dengan narkoba. Ridho Rhoma memilih sabu-sabu, bukan for fun atau hura-hura, tapi untuk menurunkan berat badan. Mungkin Ridho cuma salah mengenali sabu-sabu sebagai garam inggris. Seandainya beliau tahu bahwa itu sabu dan bisa panjang urusannya dengan polisi, mungkin dari awal beliau sudah berkata, “Tak-tak-tak-tak-tak ku tak mau tak….”
Yang terbaru adalah pasangan suami-istri Tora Sudiro dan Mieke Amalia. Ini kalau Opung Naga Bonar sampai tahu, bisa marah-marah dia. “Apa kata dunia?” katanya. Tapi konon pasangan Tora dan Mieke mengonsumsi Dumolid. Terdengar seperti nama obat sembelit, tapi bukan. Ini masih jadi perdebatan juga, mereka berdua lagi berobat atau gimana. Soalnya barang buktinya banyak juga, 30 butir, mau dipakai Arisan apa ya?
Buat yang belum tahu, Dumolit itu nitrazepam. Generasi tahun 90-an, yang mengaku paling bahagia karena tahu hubungan pensil dan kaset pita, menyebutnya nipam. Tahun segitu, waktu sepiring nasi goreng di seluruh Indonesia termasuk di Cikeas masih seribu lima ratusan, obat ini memang populer bersama Magadon dan Dextro. Sampai-sampai, ada juga anak 90-an yang menyayangkan pilihan narkoba (atau zat psikotropika) Tora. Nipam. Gile lu, Ndro!
Begini, membandingkan nipam atau dumo dengan obat atau narkoba lain hanya karena Tora Sudiro artis, tidak ada gunanya. Kalau kata orang, berdebat mana yang lebih bermoral antara selingkuh dengan jajan di lokalisasi itu sama dengan pemabuk yang berdebat mana yang lebih sehat antara ekstasi atau cimeng. Yang pertama ya sama-sama ya gitu deh, dan yang kedua ya sama-sama bikin gitingÂ-nya.
Mungkin analogi saya masih nggak pas juga sih. Tapi setidaknya terdengar lebih baik daripada Pak Zaim Saidi yang menyamakan dokter bicara vaksin dengan pemabuk membahas miras.
Konon Tora dan istrinya juga tidak memakai obat itu buat fun, tapi karena keduanya susah tidur. Dumo memang antidepresan, dan pekerjaan menjadi bintang film tentu banyak tekanannya. Nggak mungkin Tora salah mengira nipam itu antimo, kan? Tapi belajar dari kasus Ridho Rhoma, besar kemungkinan alasan Tora juga nggak akan dianggap sama polisi. Dan sebaiknya memang begitu. Rehabilitasi adalah jalan terbaik.
Kami semua masih menunggu Arisan 3, Nagabonar Jadi 3, dan Warkop Reborn 3 kok, Mas Tora.
Jangan sampai karena keasyikan, dosisnya naik, terus Om Deddy Mizwar sampai ngomong, “Tora, Tora, sudah kubilang jangan pakai narkoba, kau pakai juga. Habislah kau dimakan cacing!” Malu sama Ikal, Mas.
Ridho Rhoma dan Tora Sudiro tentu bukan artis pertama yang terjebak narkoba dan penyalahgunaan zat psikotropika. Tapi dari keduanya kita jadi tahu bahwa menjadi artis itu berat. Menjadi popular dan mempertahankannya ternyata tidak gampang. Popularitas bisa membuat orang susah tidur, popularitas bahkan menuntut orang untuk berat badan ideal.
Meski begitu, saya pikir tidak ada orang yang tidak kepengin populer. Saya aja masih kepikiran kenapa gak ada yang ngajak foto bareng. Mungkin karena popularitas bisa berguna buat nyalon bupati. Tapi saya ingat nasihat dosen saya dulu. Katanya, “Popularitas itu cuma efek samping.”
Sekarang saya malah jadi kepikiran buat pergi ke Jakarta, nyobain Simpang Susun Semanggi, tersesat, dan bikin woro-woro di media sosial. Siapa tahu habis itu saya jadi terkenal dan ada yang ngajak foto bareng ….