MOJOK.CO – Oplosan menu ngeteh paling populer di Solo adalah yang terdiri dari teh cap Nyapu dan Sintren. Itu paling standar. Untuk kepekatan, orang sering mencampurkan merek Dandang.
Teh itu daya hidup bagi orang Solo. Bukan gaya hidup sebagaimana kopi, yang dalam beberapa tahun terakhir menjamur ditawarkan lewat kehadiran banyak coffee shop, baik pemain lokal maupun yang mengusung merek besar lewat sistem waralaba.
Orang Solo bisa melewatkan ngopi, namun tidak dengan ngeteh. Bahkan, menjadi satu persoalan besar jika orang Solo bepergian ke daerah atau kota lain, sebab hampir pasti tidak bakal menemukan teh yang cocok di lidah mereka.
Karena begitu pentingnya teh dan ngeteh dalam kesehariannya, mereka tak segan mengatakan, atau setidaknya menggerutu, dengan ungkapan: “Teh kok kaya uyuh jaran!”
Ya, sebutan seduhan teh bagai kencing kuda akan disematkan jika menjumpai sajian teh yang bening dengan warna kekuningan.
Mayoritas warga Solo (dan daerah satelitnya) lebih terkesan pada pandangan pertama: hasil seduhan yang berwarna cokelat pekat. Setelah itu baru wanginya aroma melati.
Oleh karena itu, wedangan (angkringan) kaki lima, warung makan, hingga restoran yang menyajikan teh wangi (sebutan lain untuk teh melati atau jasmine tea) pasti akan disukai pelanggan. Apalagi jika meninggalkan aftertaste cukup lama, bisa dipastikan akan ditandai sebagai lokasi yang layak dikunjungi kembali untuk ngeteh, alias memutuskan berlangganan.
Bukan rahasia lagi, ramainya kunjungan ke Soto Gading yang merupakan salah satu ikon kuliner Kota Solo itu, ditopang oleh seduhan teh wanginya yang yahud, mantul, uenak, dan sebutan hiperbolis lainnya. Itulah yang membikin kangen, membuat semua pengunjungnya ingin kembali lagi dan lagi. Tentu, selain soto dan aneka camilan terhidang yang tak kalah memanjakan lidah.
Banyak warung atau restoran di Solo dan sekitar, yang sajian tehnya dikenal enak. Soto Surono di belakang kantor Pengadilan Negeri dan Rumah Makan Adem Ayem adalah contohnya.
Tradisi ngeteh di Solo
Satu sebab yang membedakan teh Solo dengan kota-kota lainnya, orang Solo memiliki tradisi mengoplos sejumlah merek yang ada di pasaran, sehingga menghasilkan rasa baru, yang berbeda dari rasa asal masing-masing merek. Orang Solo bahkan hafal merek-merek yang menonjolkan wanginya, juga beberapa merek yang menopang kepekatan warna dan kekentalannya, sehingga terhindar dari stigma uyuh jaran.
Setiap wedangan, warung ngeteh atau restoran, juga mayoritas keluarga, hampir memiliki formula oplosannya sendiri-sendiri, sehingga memiliki diferensiasi, menurut pakar pemasaran. Pembeda rasa itulah yang berperan menjadi magnet sebuah tempat tujuan wisata kuliner agar selalu ramai pengunjung.
Kebetulan, minuman teh terasa ringan bagi semua orang. Lumrah orang repeat order, apalagi jika sedang kulineran bersama keluarga, sahabat atau rekan bisnis, sehingga perlu waktu berlama-lama untuk menuntaskan percakapan atau obrolan apa saja. Berbeda dengan kopi yang jarang membuat orang tertarik memesan ulang, betapa pun enak rasanya.
Asal tahu saja, kebiasaan ngeteh orang Solo itu sepanjang hari. Pagi, siang, malam, dini hari. Hanya teh atau es teh!
Kopi? Lihatlah sendiri, berapa banyak kafe yang bertumbangan. Ganti nama, ganti pengelola, dan seterusnya. Banyak yang ramai di awal, lalu senyap beberapa bulan kemudian. Hanya sedikit saja yang sanggup bertahan hidup menahun.
Ngeteh kok instan….
Teh Solo adalah merek tersendiri. Pengalaman saya mengoplos dan menjualnya pada awal 2009, komentar yang saya dapat kurang lebih menyebutnya sebagai teh Solo.
Disebut teh Solo, sebab rasa serupa tak bakal bisa dijumpai di daerah lain, di mana pun itu. Apalagi di restoran atau kafe mewah dan hotel-hotel dari kelas melati hingga berbintang banyak.
Coba ingat-ingat kembali, ketika Anda memesan teh di hotel berbintang dari jaringan internasional mana pun, saya yakin yang bakal dijumpai adalah teh celup, meski dari merek kelas dunia. Entah itu Lipton, Dilmah, atau merek-merek lokal seperti SariWangi, Tong Tji, Sosro Heritage, dan sebagainya.
Masih mending jika itu disajikan di tea pot di mana teh sudah dicelupkan untuk penyeduhan sehingga tinggal tuang di cangkir. Yang sering dijumpai, kita disodori air panas di cangkir, satu saset teh celup di tatakan, dan gula tebu beserta gula diet, sehingga kita disuruh menyeduhnya sendiri. Alangkah bodohnya kita, membayar sangat mahal, hanya untuk menelan barang-barang instan!
Itu pula yang sesungguhnya membuat saya sedih bertahun-tahun. Teh oplosan gaya Solo itu campuran sejumlah teh kelas sekian. KW entah. Bukan yang dikemas dari olahan daun teh kelas pucuk daun yang dihargai mahal itu. Tapi, walau “ecek-ecek” toh sanggup menghasilkan sensasi rasa yang berbeda.
Kenapa yang demikian tidak dipandang sebagai keunggulan kompetitif sehingga layak diposisikan sebagai sajian ngeteh khas masing-masing restoran atau hotel berbintang di Solo?
Saya curiga, mental pengelola restoran atau hotel itu lebih suka dijajah oleh merek internasional, dan menempatkan diri sebagai reseller saja. Semua tamu dianggap remeh, hanya butuh bergaya sambil membasahi kerongkongannya.
Maaf kalau saya terpaksa berkata congkak di sini. Teh oplosan saya yang paling murah, jika disajikan dalam secangkir seduhan, harga pokok produksinya (HPP) hanya sekitar Rp800. Yang paling mahal pun masih di kisaran seribu lebih sedikit. Angka itu sudah meliputi air, gas atau listrik untuk memanaskan air, gula, dan serbuk teh!
Dengan HPP segitu murah, menjual Rp2.000 segelas sebagaimana umumnya ngeteh kelas terbawah, sudah mendapat untung. Sementara teh celup di hotel-hotel mewah itu dijual di atas Rp100.000 satu teko keramik, yang cuma diisi dua atau tiga buah teh celup seharga kurang dari Rp10.000!
Ya, itulah ironisnya. Memang teh (celup) lebih pantas jadi gaya hidup. Yang serba instan, tentu saja. Karena gaya hidup mengenal gengsi, maka makin banyak duit dikeluarkan, makin mentereng rasanya. Tapi, sekali lagi, itu hanya rumangsane. Menurut perasaannya saja!
Tradisi ngoplos teh
Sekadar cerita saja untuk Anda, para pembaca setia Mojok, bahwa tradisi mengoplos aneka merek teh di Solo itu sudah berlangsung lintas generasi. Konon, tradisi ngeteh oplosan berasal dari dalam Keraton. Ada abdi dalem yang khusus menyiapkan aneka minuman bagi keluarga dan tamu kerajaan. Sebutannya jayeng.
Hingga kini, saya masih mencari rujukan referensi itu, tapi belum ketemu. Seorang abdi dalem Keraton Surakarta hanya mengiyakan ketika saya konfirmasi soal tradisi ini, tapi tak mampu menunjukkan bukti rujukan. Entah buku, babad, atau sumber cerita lain.
Keberadaan kampung Jayengan pun belum terkonfirmasi sahih, apakah itu kawasan abdi dalem khusus urusan dapur di kraton. Di Yogya pun ada kampung Patehan di barat Alun-Alun Selatan, yang saya yakini terbentuk dari kata teh dan aktivitas ngeteh, yang merupakan minuman keseharian Keraton Kasultanan.
Tradisi mengoplos teh di Kraton Solo, saya yakini merupakan salah satu warisan tak benda (intangible) yang patut dilestarikan. Kita tahu, Nusantara punya kebiasaan memodifikasi unsur dari luar kultur pokoknya, demi melahirkan produk baru.
Selop misalnya, adalah modifikasi dari pantalon yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa semasa penjajahan. Jas pun dimodifikasi sedemikian rupa sehingga orang Jawa punya simbol identitas baru: beskap!
Itu semua didorong keinginan menyembunyikan rasa malu jika meniru apa adanya, plek ketiplek, atau yang lantas dibumbui dengan slogan heroik: perlawanan kultural!
Embuh, benere piye. Entah mana yang benar.
Produk “kreatif” lainnya yang bisa kita sebut intangible assets bagi Kota Solo, antara lain bestik yang berbeda dengan beef steak. Selat yang tidak ada mirip-miripnya dengan salad! Piye, jal? Masih kurang?
Lihatlah kini orang-orang kelas bawah hingga atas pada ramai-ramai nyari tengkleng jika kulineran di Solo. Permintaan yang tinggi membuat banyak warung sate yang biasanya menyediakan menu pendamping sate dan tongseng, kini banyak yang menambahkan tengkleng.
Tak sedikit warung-warung yang hanya khusus menjajakan tengkleng semata, dan ramai diserbu pelanggan. Harganya pun lumayan mahal bagi ukuran orang Solo, namun disebut murah oleh para pelancong.
Asal tahu saja, tengkleng adalah mahakarya para abdi dalem. Mereka biasa menyembelih kambing untuk pesta-pesta kerajaan, menyayat daging untuk dibuat sate atau tongseng, dan jeroannya dibikin gulai. Alhasil, yang dihadapinya tinggal tulang belulang dengan beberapa kerat daging yang menempel. Lalu, dibikinlah bumbu yang berbeda dengan bumbu gule, dengan kuah banyak yang lebih bening, supaya bisa disantap dengan banyak nasi yang mengenyangkan.
Begitulah kreatifitas wong Solo. Kapan teh oplos untuk aktivitas ngeteh naik kelas seperti halnya tengkleng? Waktu yang akan menjawab.
Kembali ke soal teh oplos, silakan Anda mencobanya sendiri. Kini, di berbagai toko online mulai banyak orang jualan paketan teh dengan beragam merek. Maksudnya, biar Anda bisa mengoplosnya sendiri.
Saya kasih info saja, oplosan menu ngeteh paling populer di Solo adalah yang terdiri dari teh cap Nyapu dan Sintren. Itu paling standar. Untuk kepekatan, orang sering mencampurkan merek Dandang. Ada yang menambahkan merek Gopek atau 999. Merek terakhir ini jarang dijumpai di pasar di luar Solo.
Tapi, karena saya masih ingin menangguk untung, maka resep oplosan #blontea tidak dibuka. Saya sudah punya lebih dari sepuluh oplosan jadi, yang rasanya berbeda-beda.
Kalau mau ngeteh hemat, belajarlah mengoplos sendiri. Kalau tak mau repot dan ingin cari pahala, beli saja oplosan saya. Niatkan sebagai sedekah!
BACA JUGA Mengapresiasi Kopi Sachet dalam Perjalanan Ngopimu dan ulasan-ulasan spesial di rubrik ESAI.