Ketikkan nama Ary Barroso di Google dan kita akan disuguhkan profil komposer legendaris Brasil dengan foto-foto yang berkesan rapi dan kalem. Orang ini hidupnya kelihatan serius. Dari sini kita tak bisa membayangkan sisi lain yang penuh warna ketika lelaki ini menjadi penggemar sepakbola dan radialista, sebutan penyiar radio di Brasil, di era 1940-an sampai 1950-an.
Barroso adalah penggemar fanatik klub Flamengo. Ia pernah diundang ke Hollywood dan ditawari pekerjaan hebat, direktur musik di rumah produksi Walt Disney. Posisi tersebut boleh dibilang sebagai puncak karier komposer dalam dunia hiburan. Namun ia menolak dengan alasan, “di sini (Hollywood) tidak ada Flamengo”.
Sebagai radialista Barroso bersemangat, tak terduga dan tak pernah menyembunyikan dukungannya kepada Flamengo. Tapi karena itulah ia begitu digandrungi, sampai-sampai para pendengar hafal setiap kode ucapannya. Kalau gawang Flamengo sedang terancam, alih-alih menceritakan jalannya laga ia malah bilang,” aku tak mau lihat”. Kalau Barroso membunyikan “pret” dengan meniup keras kedua bibirnya yang terkatup, pemirsa tahu Flamengo kebobolan. Lain waktu bunyi “pret” berulang cepat dan bersemangat, artinya Flamengo mencetak gol.
Seperti diceritakan Alex Bellos di Futebol: The Brazilian Way of Life, sekali waktu di tengah penggambaran jalannya laga, siaran mendadak sunyi lantaran Barroso meninggalkan mikrofon untuk berlari ke lapangan dan ikut merayakan gol Flamengo.
Barroso hanya satu dari beberapa radialista kondang yang punya ciri khas masing-masing. Nama lain di antaranya Raul Longas yang nafas panjangnya tak tertandingi saat meneriakkan “goooool!”. Usut punya usut, ternyata ada alasan personal di balik ciri khas tersebut. Longas yang bertubuh pendek kerap kesulitan mengenali langsung pencetak gol di lapangan. Karenanya ia mesti berteriak selama mungkin agar asistennya punya waktu menulis nama pencetak gol di sehelai kertas.
Longas sendiri meminjam trik ini. Dari radialista kondang lain yang bernama Rebelo Junior, yang dipercaya sebagai biang kerok teriakan gol yang panjang dan penuh dedikasi. Junior mengubah bunyi “gol” yang sederhana, menjadi perlambang atas gairah dan kegembiraan yang tumpah-ruah di sepakbola.
Orang Inggris menganggap sepakbola sebagai gaya hidup. Bagi orang Italia sepakbola seperti agama. Sementara di Brasil, sepakbola adalah metafora bagi kehidupan. Untuk menjelaskan hal ini, antropolog Brasil Roberto DeMatta mengajukan konsep jeitinho yang berarti “jalan kecil”, yakni meditasi personal untuk mencari jalan mengelakkan diri dari hukum atau konvensi sosial. Mengelak bukan dengan konfrontasi yang frontal, tapi lewat improvisasi dan kelenturan sikap untuk mengendalikan situasi.
Dalam konteks Brasil, hukum dan konvensi sosial kerap didesain untuk melindungi kelompok kolonialis serta minoritas elite yang kaya dan berkuasa, bahkan pascapenghapusan hukum perbudakan tahun 1888. Mengatasi situasi mengimpit tersebut rakyat menempuh berbagai siasat halus dan licin untuk membalikkan situasi. Kolumnis sepakbola Simon Kuper mencontohkan capoera, seni beladiri yang disamarkan menjadi tarian, sebagai wujud jeitinho. Dalam sepakbola, semangat jeitinho termanifestasi dalam wujud keterampilan unik, keluwesan, tipuan, ketangkasan, dan berbagai semangat improvisasi.
Seperti dikutip Jonathan Wilson dalam Invetring the Pyramid, pemain Brasil era 1930-an Domingos da Guia menggambarkan keterampilan sepakbolanya sebagai refleksi personal atas kebutuhan perlindungan diri dari lingkungan yang kejam. “Ketika masih bocah aku takut bermain bola karena sering melihat orang kulit hitam dipukuli di lapangan hanya gara-gara kesalahan kecil,” kata Domingos. “Abangku sering bilang, kucing selalu jatuh dengan kaki menjejak. Karena aku mahir menari samba, aku menggunakannya untuk menemukan gaya menggiring bolaku sendiri”. Kemampuan menjaga bola menjadi manifestasi sikap melindungi diri sendiri.
Lewat sepakbola, orang-orang Brasil mengelak dari kenyataan yang mengimpit dan berbalik menjadi tuan atas keadaan di sekeliling.
***
Jeitinho pada hakikatnya adalah ekspresi yang muncul dari meditasi individual. Tapi lewat sepakbola ia dengan cepat menemukan ekspresi khas identitas komunal Brasil dalam bentuk trik-trik yang tak pernah terlihat, bahkan lebih unggul dari kelompok kolonialis dan elite. Karenanya, sepakbola dengan mudah menjadi simbol yang menyatukan pengalaman hidup serta ruang ekspresi kegembiraan masyarakat. Tak heran jika kultur sepakbola dibanjiri berbagai kegilaan dan kejenakaan yang sulit dicari bandingannya di belahan dunia lain.
Di antara bentuk ekspresi jenaka adalah berbagai nama julukan imajinatif dan main-main untuk para pemain, yang sudah muncul sejak awal era Brasil mengenal sepakbola. Tahun 1914 seorang pemain dipanggil Formiga, artinya semut. Nama kapten perebut Piala Dunia 1994, Dunga, diambil dari karakter pandir dalam kisah Putri Salju dan Tujuh Kurcaci. Jangan heran mendengar nama pemain seperti Ferrugem, Astronauta, Portuario dan Ventilador, yang masing-masing berarti karat, astronot, buruh pelabuhan dan kipas ventilasi.
Ciri permainan dan fisik juga bisa jadi sumber nama julukan. Seorang pemain dipanggil Menteiga karena operannya yang mulus dan licin seperti mentega. Nama Nasa disandang pemain yang sundulannya sekeras roket. Telefone adalah nama seorang pemain berberkulit gelap, karena saat itu pesawat telepon pada umumnya berwarna hitam.
Sikap masa bodo tergambar dalam kisah unik yang dialami seseorang yang tiga kali juara dunia sebagai pemain dan satu kali sebagai pelatih. Sejak 1940-an ketika sudah mulai dikenal, ia selalu disebut sebagai Zagalo, Mario Zagalo. Nama yang familiar dan tidak pernah diusik oleh siapa pun, termasuk oleh empunya. Baru pada tahun 1995 ketika seorang wartawan bertanya nama aslinya, dengan santai ia memberi tahu bahwa di akte kelahiran namanya tertulis dengan huruf “l” ganda. Setelah itu barulah beramai-ramai orang meralat namanya menjadi Mario Zagallo.
Kasus yang epik terjadi pada dekade 1990-an. Awalnya tiga pemain bernama Ronaldo dipanggil masuk tim nasional Brazil. Solusinya gampang. Masing-masing dinamai Ronaldao (Ronaldo besar), Ronaldo (Ronaldo normal) dan Ronaldinho (Ronaldo Kecil). Merasa nama-nama tersebut familiar? Sabar dulu.
Pada tahun 1999 seorang Ronaldo lagi masuk tim, menggenapi jumlah Ronaldo menjadi empat. Di tempat lain hal ini bisa bikin pusing, tapi di Brasil soal sepele. Ronaldo yang keempat dipanggil sebagai Ronaldinho Gaucho (Ronaldo kecil dari Rio Grande do sul). Saat Ronaldo pertama tak lagi masuk skuad, Ronaldo naik pangkat menjadi Ronaldao; Ronaldinho menjadi Ronaldo yang kemudian kita kenal sebagai Ronaldo da Lima The Phenomenon; yang terakhir menjadi Ronaldinho yang hobi nyengir.
Pada akhirnya nama-nama julukan lebih populer, bahkan menggantikan nama lahir para pemain. Yang seolah-olah menggantikan yang otentik.
***
Satu sumbangan penting orang Brasil bagi kultur pendukung sepakbola dunia adalah atmosfer stadion. Ini berakar dari tradisi karnaval rutin, serta sifat masyarakat Brasil yang gampang dibikin gembira oleh sepakbola.
Dalam cuplikan laga-laga sepakbola dunia di sekitar tahun 1930-an, kita masih bisa melihat karakter penonton yang Eropa banget. Santun dan teratur. Mereka merayakan gol dengan berdiri dan bertepuk tangan sembari tersenyum lebar, seperti penonton cerdas-cermat yang hampir lepas kendali.
Orang Brasil membuat atmosfer stadion menjadi penuh gairah. Segala tetabuhan, alat-alat bebunyian, hingga kembang api dan petasan ikut masuk ke dalam stadion. Bendera, spanduk dan berbagai pernik membuat tontonan sepakbola menjadi penuh dengan warna. Pendek kata, orang Brasil memindahkan keriuhan karnaval ke dalam stadion. Kebiasaan ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Yel-yel, baik yang terorganisasi maupun yang spontan, tak henti-hentinya diperdengarkan sepanjang laga. Yel populer “ole ole ole”, ditengarai muncul dari spontanitas para penonton Brasil. “Ole” adalah ucapan yang biasa dibunyikan penonton saat melihat matador mengerjai banteng. Di Brasil, konon bunyi ini mulai merambah sepakbola di era malang melintangnya sang legendaris Garrincha.
Setiap kali Garrincha menyentuh bola, pasti ada pemain lawan yang kena dikerjai sampai terlihat konyol. Penonton mengungkapkan kegembiraannya dengan mengucapkan “ole” pada setiap trik yang dipraktikkan Garrincha. Yel ini kemudian berkembang sampai sedemikian meriah.
Garrincha sendiri adalah pemain yang mewakili segala hal tentang Brasil. Jeitinho yang mewujud dalam kreativitas dan aksi individual yang ajaib dipadu dengan keriangan dan kepolosan. Laga final Piala Dunia 1958 yang mengantar Brasil kali pertama menjadi jawara dunia menyisakan anekdot yang menggambarkan kepolosan Garrincha. Sebelum laga, pemain yang pernah kena folio ini dengan santai bertanya, “Ini kita mau lawan siapa?”. Sehabis laga, ketika seluruh tim dan ofisial tenggelam dalam kegembiraan, Garrincha nyeletuk polos, “Loh, pertandingannya udahan?”
Sepakbola sungguh beruntung jatuh ke pangkuan orang-orang Brasil. Mereka memberikan atmosfer kegembiraan dan kejenakaan yang jujur dan spontan. Kejujuran dan spontanitas inilah yang menyebar seperti wabah ke segala penjuru dunia dan menjadikan sepakbola menjadi permainan orang-orang biasa.