MOJOK.CO – Kejayaan yang dibangun dan dipertahankan Juventus di Serie A diiringi oleh banyak tabungan kebencian. Perasaan kuat yang justru membuat Juve semakin sulit digapai.
Sebagai klub yang paling sukses di Serie A, Juventus justru menjadi klub yang paling dibenci. Kesuksesan melahirkan rasa iri. Kesuksesan juga menjadi bahan paling dibutuhkan untuk memproduksi kebencian. Apalagi ketika membicarakan Juventus, sekaligus menyandingkannya dengan Serie A.
Bicara soal kebencian, tidak ada yang lebih membenci Juventus selain Fiorentina. Para suporter La Viola memandang daerahnya sebagai “zona anti-gobbizatta”. Isitilah gobbi berarti ‘orang bungkuk berpunuk’. Jika dikenakan kepada Juventus, istilah itu mengandung beberapa pengertian.
Pertama, di budaya orang Italia, orang buhngkuk dianggap punya keberuntungan yang melimpah. Kedua, istilah gobbi merujuk kepada Juventus yang suka mencuri. Kebencian itu termanifestasikan ke dalam sebuah kalimat yang berbunyi, “Grazie a Dio non sono gobbo.” Artinya demikian: ‘Terima kasih Tuhan, saya bukan orang bungkuk.’
Ada dua peristiwa yang membuat kebencian Fiorentina kepada Juventus beranak-pinak. Pertama, Fiorentina merasa gelar juara mereka pada musim 1981/1982 sudah “dicuri” oleh Juventus. Kedua, Roberto Baggio. Kedua peristiwa itu punya narasi yang sama, yaitu “pencurian”.
Scudetto itu lenyap di depan hidung Fiorentina. Pekan terakhir musim 1981/1982, Fiorentina dan Juventus sama-sama mengumpulkan 44 poin. Penentuan juara ditentukan di pertandingan terakhir. La Viola tandang ke Cagliari, sementara La Vecchia Signora menghadapi Catanzaro.
Fiorentina sudah hendak merayakan gelar juara ketika Francesco Graziani mencetak gol. Namun, gol Graziani dianulir wasit karena “dianggap mendorong” kiper lawan. Sampai pertandingan usai, skor tetap 0-0. Sementara itu, Juventus mendapatkan hadiah penalti di menit akhir yang sukses diselesaikan oleh Liam Brady. Penalti itu memang bersih. Namun wasit tidak memberikan penalti kepada Catanzaro di babak pertama padahal “pelanggaran bersih” terjadi.
Kota Florence meradang. Hari itu lahir sebuah slogan yang berbunyi: “Beglio secondo che ladri” yang berarti, “Lebih baik menjadi yang kedua ketimbang pencuri.”
Delapan tahun kemudian, insiden UEFA Cup dan Roberto Baggio terjadi. Fiorentina dan Juventus bertemu di babak final UEFA Cup. Saat itu, kompetisi ini menggunakan format dua leg untuk babak final. Leg pertama digelar di Turin.
Saat itu skor sama kuat 1-1 ketika wasit kembali memberikan “keberuntungan kepada si bungkuk”. Ketika kemelut di depan gawang terjadi, Pierluigi Casiraghi dengan jelas mendorong Celeste Pin, bek Fiorentina. Dorongan itu membuat Pin tidak bisa mengantisipasi Alessio Angelo mencetak gol. Pertandingan berakhir 3-1 untuk kemenangan Juve.
Selepas laga insiden terjadi. Saat itu, pelatih Juve, Dino Zoff tengah melakukan wawancara dengan wartawan. Celeste Pin berjalan lewat di tempat wawancara itu untuk kemudian berteriak di telinga Zoff: “Ladri!” Umpatan itu terdengar dengan jelas dan tensi terasa semakin meningkat. Juve sendiri akhirnya mengangkat piala EUFA Cup setelah menahan imbang Fiorentina 0-0 di leg kedua.
Ketika tensi semakin memuncak, terdengar kabar kalau Flavio Pontello, Presiden La Viola akan menjual Roberto Baggio ke Juventus. Baggio, The Divine Ponytail, bukan hanya sekadar pemain hebat. Baggio adalah kekasih, pemain kesayangan Florence. Rumor itu menjadi kenyataan. Baggio dilepas ke Juve dengan nilai transfer 8 juta paun, rekor transfer dunia saat itu. Tidak lama setelah penjualan Baggio, kerusuhan terjadi di Florence.
Fans mengepung markas Fiorentina. Hujan batu dan Molotov terjadi. Presiden Pontello sampai harus diungsikan ke Stadion Artemio Franchi untuk menghindari amukan massa.
Giancarlo Rinaldi, bercerita kepada The Guardian ketika kedua klub ini bertemu dan Baggio sudah berseragam Juve. “Atmosfer saat itu adalah yang paling intens yang pernah saya ingat sebelum pertandingan. Tensinya sangat tinggi dan suasana kebencian sangat terasa di jalanan. Florence masih sakit hati dengan transfer Baggio dan ada ketakutan hari itu akan terjadi kerusuhan lagi.”
Baggio menjadi subjek kebencian. Dia diledek dan dihina sedemikian rupa. Ketika penalti didapat Juventus, Baggio tidak mau mengambilnya. Dia tidak bermain baik malam itu dan akhirnya diganti. Ketika berjalan ke bangku cadangan, Baggio menerima syal Fiorentina dan melambaikannya seperti salam ke arah Curva Fiesole ultras Fiorentina. Aksi itu justru semakin memanaskan suasana dan Juventini sendiri tidak terima dengan gesture Baggio.
Pihak Juventini senditi sebetulnya tidak memandang laga melawan Fiorentina sebagai “paling penting”. Masih ada Derby d’Italia melawan Inter Milan yang lebih panas. Kebencian lebih teasa di Florence ketimbang Turin. Namun, lantaran namanya juga rival, Juventus tentu tak mau kalah demi mencegah Kota Florence melakukan perayaan.
Pada 2013, tensi kembali naik ketika Paul Pogba dan Carlos Tevez melakukan selebrasi gol dengan menirukan orang sedang menembak menggunakan senapan mesin. Selebrasi senapan mesin Pogba dan Tevez itu seperti sengaja diarahkan ke tribun suporter Fiorentina. Selebrasi senapan mesin merupakan mimikri dari selebrasai khas Gabriel Batistuta, legenda Fiorentina.
Kebencian itu sebetulnya tidak punya kadar. Siapa yang lebih benci dari dua kutub? Kalau namanya sudah benci, tidak ada alat ukurnya. Selebrasi senapan mesin yang dulu dilakukan Batistuta juga dianggap sengaja diarahkan kepada Juventini. Begitu juga dengan Pogba dan Tevez yang terbawa oleh arus kebencian itu. Meskipun hanya mimik, senapan mesin tetaplah alat pembunuh, alat untuk menunjukkan kebencian.
Panasnya Florence sebagai akibat dari kebencian yang terpatri kepada Juventus hanya satu dari sedikit kebencian yang menguar di Serie A. Kebencian kepada si penguasa yang sulit betul digapai oleh para “kurcaci yang sibuk menggeliat”. Si penguasa yang seperti bisa melakukan apa saja untuk melanggengkan kekuasaan.
Selamat ulang tahun Nyonya Tua. Dari jari-jarimu, keberuntungan itu masih memayungi kekuasaan Juventus di Serie A. Juve menari di atas gendang kebencian. Juventus menikmatinya karena kebencian lawan tidak punya daya untuk melukai sejarah kekuasaan mereka.
BACA JUGA Mencintai Serie A Lewat Kejayaan Juventus dan Kejatuhan AC Milan atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.