MOJOK.CO – Menjadi penikmat sepak bola dapat menghadirkan sensasi yang sulit diterima akal sehat. Sama seperti pengakuan Presiden Pasoepati, pendukung Persis Solo.
Saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk berbincang langsung dengan presiden organisasi pendukung kesebelasan Persis Solo, yang disebut Pasoepati.
Minggu 20 Februari 2000 menjadi salah satu hari bersejarah bagi warga Surakarta. Kala itu, warga disuguhkan sebuah pemandangan baru. Tidak kurang dari 4000 Aremania hadir di Stadion Manahan untuk mendukung Arema Malang yang tandang melawan Pelita Solo.
Aremania menyuguhkan yel-yel serta koreo yang membuat Stadion Manahan bergemuruh. Aksi mengagumkan Aremania menyadarkan para pecinta sepak bola di Surakarta untuk membuat sebuah perkumpulan pendukung klub sepak bola yang kemudian bernama Pasoepati (Devi Laily dalam Kota, Klub, dan Pasoepati: Satu Dekade Dinamika Supoter Surakarta, diterbitkan Buku Litera tahun 2016).
Untuk mengetahui pengelolaan Pasoepati, saya mencoba berbincang dengan Presiden Pasoepati kabinet 2018-2020, Aulia Haryo Suryo. Saya dan pria yang lebih akrab disapa Rio ini membuat janji untuk bertemu di sebuah kedai susu di daerah Manahan, Surakarta.
Sore itu, saya pikir Rio melakukan persiapan matang sebelum pertemuan berlangsung. Rambut yang klimis rapih, jam tangan melingkar di pergelangan tangan kanan, beserta parfum yang wangi. Tak lupa, ia mengenakan kaos tim kebanggaannya berwarna dominan putih dengan ornamen merah yang membuat sebuah simbol bahwa Persis selalu bersama dirinya kemana pun ia berada.
Mengawali perbincangan, Rio menceritakan awal dirinya menjadi bagian Pasoepati. “Dulu, kakak juga suka nonton bola. Kemudian suatu hari mengajakku untuk hadir ke sebuah acara yang ternyata adalah rapat awal pembentukan Pasoepati. Waktu itu aku masih SMA.”
Lebih lanjut, Rio bercerita bahwa saat itu layaknya sebuah organisasi pada umumnya, dibentuklah sebuah forum untuk membuat rancangan awal Pasoepati.
“Sebelumnya muncul beberapa usul nama, tapi akhirnya yang disepakati Pasoepati. Ketua pertama, ya, Mayor Haristanto itu,” terang Rio ketika disinggung mengenai nama Pasoepati, “jadi sebenarnya saat itu aku tidak sengaja datang. Eh, malah masuk ke daftar pendiri Pasoepati.”
Secara struktural, organisasi suporter Persis tersebut memiliki Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang kemudian bertugas sebagai koordinator dari bagian-bagian lain yang ada di bawahnya. Kemudian, lima wilayah yang ada di Keresidenan Surakarta memiki masing-masing kodinator wilayah (korwil), di antaranya adalah Sukoharjo, Karanganyar, Banjarsari, Mojolaban, dan Pasar Kliwon.
“Secara AD/ART masing-masing korwil memiliki minimal 10 suku dan satu suku minimal 20 orang. Jadi misal kamu dan teman-teman kelas di kampus ingin membuat suku dengan nama apa gitu, nah nanti tinggal lapor ke korwil masing-masing. Tergantung ada di wilayah mana.”
Namun, melihat kondisi masing-masing korwil, jumlah suku yang ada terkadang tidak memenuhi syarat AD/ART. “Misal ada korwil yang kurang aktif atau bahkan vakum. Pernah satu korwil hanya ada tiga sampai lima suku. Kita kan juga harus melihat di lapangan seperti apa.” Mengenai bergabungnya anggota dalam korwil tertentu, Rio menyebut bahwa hubungan personal yang menjadi faktor utama.
“Ada anggota yang tinggalnya di wilayah A misalnya, tapi karena pergaulan membuat dia dekat dengan korwil dari daerah C, ya seringnya nanti ngumpul dengan anak-anak dari korwil C. Intinya balik lagi ke komunikasi.”
Keadaan Pasoepati yang sedemikian rupa menyebabkan Rio memiliki tanggung jawab lebih dalam memobilisasi para anggotanya. Terutama mengenai arus koordinasi dengan pihak lain yang memiliki pengaruh terhadap pendukung Persis, apalagi ketika hendak menonton di stadion. “Ya biasanya kalau ada laga tandang, aku yang dihubungi polisi. Tiap kota yang kami lewati ketika pergi ke tempat pertandingan juga harus kami kirimi surat pemberitahuan.”
Setelah bercerita cukup banyak mengenai kondisi Pasoepati, saya menjadi penasaran dengan cara mereka melakukan persiapan teknis sebelum berlangsungnya sebuah pertandingan. Apalagi, salah satu ciri khas dari suporter adalah sebuah harmoni antara dentuman bas drum, yel-yel, dan koreografi yang berlangsung hampir 90 menit. Ditambah, yel-yel dan koreografi yang dilakukan selama pertandingan tidak hanya satu.
“Kalau dulu awal-awal terbentuknya Pasoepati, hampir seminggu sekali kita latihan. Kumpul di Manahan, kemudian pihak dirigen akan memimpin latihan di sana.” Namun setelah 18 tahun berdiri dan anggota Pasoepati menjamur hingga pelosok Surakarta, latihan koreografi sudah tidak pernah dilakukan. “Tidak ada latihan lagi. Soalnya sudah seperti makanan sehari-hari.”
Selain itu, sosial media menjadi senjata utama untuk menyebarkan produk kreatif yang digunakan ketika pertandingan. “Sekarang biasanya beberapa lagu baru di-posting di Instagram atau Facebook. Jadi nanti nyanyinya tinggal mengikuti di situ saja. Teknologi sudah canggih kok mas.”
Pemanfaatan teknologi memang menjadi perhatian khusus di dalam kepengurusan Rio. Selain pemanfaatan media sosial, kini Pasoepati juga telah memiliki laman resmi yang beralamat di paseopati.id. Selain itu juga, dalam rangka mendata anggota dengan lebih baik lagi, Pasoepati bekerja sama dengan pihak bank untuk membuat Kartu Tanda Anggota (KTA).
Bagi para anggota yang sudah memiliki KTA, kartu tersebut dapat digunakan seperti uang elektronik pada umumnya. “Bisa digunakan untuk tap cash, mas.” Jelas Rio lebih lanjut. “Nih mas contohnya punya saya, seperti ini bentuknya.” Rio pun mengeluarkan KTA yang ia miliki dari dompetnya.
Ketika saya lihat-lihat, memang kartu tersebut memiliki kesan sangat Persis. Warna merah agak gelap dengan tulisan Pasoepati tampak jelas di depan. Kemudian terdapat biodata anggota di belakangnya. Sekilas kartu anggota tersebut mengingatkan saya kepada kartu mahasiswa (karmas) yang saya miliki.
“Memang, Pasoepati yang datang di stadion, kalau kita lihat Manahan biasa penuh ya. Itu bisa mencapai 10 ribu. Tapi yang baru memiliki KTA baru ada sekitar 700an. Karena memang ini baru kita luncurkan sekitar tiga bulan yang lalu.”
saya juga sempat menanyakan mekanisme pemeriksaan identitas sebelum masuk ke stadion kepada Rio. Hal ini sudah dilakukan di beberapa stadion di Eropa. Rio menjawab dengan cepat, “Bagus itu, bagus, namun aku ragu kalau stadion di Indonesia sudah bisa diterapkan. Infrastrukturnya belum bisa.”
Lebih lanjut lagi, Rio menceritakan kepada saya mengenai keadaan stadion di Indonesia. “Kalau dengan sistem single seat mungkin bisa, satu-satu ditandain siapa yang duduk di sini, siapa yang duduk di sana. Tapi karena kebanyakan stadion kita masih cor-coran kan susah. Yang paling bisa dilakukan sekarang adalah membuat sistem tiket online saja. Itu dulu,” ucapnya.
“Kan sebenarnya kuota tiket sudah diketahui ketika pra musim. Misal, Persis main di stadion mana aja selama satu musim, kuota berapa, jam berapa, nah dari situ orang-orang akan bisa membuat rencana menonton. Seperti nonton bioskoplah.”
Perkara pembelian tiket Persis memang menjadi keresahan terbesar Rio sekarang ini. Ia bercerita mengenai keadaan stadion yang sering melebihi kapasitas menyebabkan beberapa hal yang tidak diinginkan seperti kerusuhan kadang terjadi.
“Bayangkan, sekarang orang ingin menonton bal-balan setelah pulang kerja, kemudian harus nunggu lama karena antreannya mengular. Iya kalau dapat. Kalau tidak? Gimana gak marah-marah jadinya.”
Namun meski masih banyak kekurangan, semangat mendukung Persis di dalam diri Rio tak pernah padam sampai detik ini. Apalagi ketika dirinya menjelaskan persiapan teknis sebelum pertandingan kandang Persis.
Sembari memperlihatkan video yang ada di beberapa akun Instagram. Rio bercerita tentang beberapa orang yang menyiapkan produk kreatif sejak tiga hari sebelum pertandingan. Barang-barang seperti gambar raksasa, biasanya karakter Hell Boy atau Pangeran Samber Nyawa, akan disiapkan untuk dibentangkan di sepanjang salah satu tribun stadion.
“Persiapannya memang melelahkan, apalagi yang bikin biasanya ngerjain setelah pulang kerja, nanti nyicil sedikit-sedikit. Kalau sudah malam tapi belum selesai yang diteruskan besoknya lagi sampai selesai.”
Perbincangan kami harus diakhiri karena petang yang semakin pekat. Sebelum berpisah, Rio mengucapkan sesuatu yang masih saya ingat dan mungkin dapat menggambarkan kepada kita, alasan para suporter mampu melakukan hal-hal yang menurut kita tidak wajar.
“Nonton bola doang mah seneng. Kita bisa meluapkan emosi yang tidak mungkin kita keluarkan di luar, rumah, atau kantor. Bisa misuh-misuh, dan lain-lain. Apalagi kalau mengurusi organisasi seperti ini, capek. Tapi karena melihat teman-teman yang melakukannya karena kerelaan hati, setelah ngeliat hasilnya di stadion ya seneng jadinya. Capek, tapi seneng.”
Kami pun berpisah. “Kalau mau nonton bola, jangan lupa kabari aku, ya!” Ucap Rio.