MOJOK.CO – Perpisahan antara Arsene Wenger dan Arsenal justru perlu dirayakan, bukan hanya ditangisi. Mengapa?
Perpisahan memang identik dengan kesedihan, apalagi ketika dua entitas yang berpisah sudah terpaut sejak lama. Apalagi ketika kedua entitas sudah membentuk satu identitas yang begitu kuat. Namun, perpisahan Arsene Wenger dan Arsenal bukan jenis perpisahan yang layak terus diingat dengan narasi kesedihan. Ada sebuah perayaan yang harus kita siapkan setiap kali mengingat momen ini.
Pertanyaannya tentu saja adalah “mengapa”. Berikut beberapa alasan yang menyertai.
Soal kesetiaan Arsene Wenger
Masa pengabdian Arsene Wenger bersama Arsenal adalah 22 tahun. Waktu yang sangat panjang untuk sepak bola modern saat ini. Sebuah catatan rekor yang mungkin hampir mustahil untuk disamai, apalagi untuk dipecahkan. Mengapa manajer berusia 68 tahun itu bisa bertahan begitu lama dengan klub asal London Utara ini?
Wenger adalah generasi pelatih periode lama. Ia menjabat sebagai pelatih Arsenal jauh sebelum uang minyak menginvasi liga-liga di dunia. Di masa itu, alasan sebuah manajemen mempertahankan pelatih bukan hanya soal prestasi dan jumlah tropi yang dikumpulkan. Ketika ada sebuah komitmen yang mengikat klub dan pelatih, relasi keduanya bisa bertahan lama.
Sebagai pembanding yang paling ideal, tentu saja kita bisa melihat relasi antara Manchester United dan Sir Alex Ferguson. Manajer asal Skotlandia tersebut juga melewati periode-periode buruk bersama United. Namun, ada komitemen yang kuat di antara keduanya. Komitmen yang cukup kuat untuk membuat manajemen United bersabar tidak memecat Sir Alex.
Begitu juga dengan Wenger, di mana dirinya dua kali dibujuk oleh Real Madrid untuk angkat kaki dari Arsenal. Madrid butuh pelatih yang bisa berkomitmen membangun skuat. Sementara itu, Wenger sendiri enggan meninggalkan Arsenal karena proyek besar pembangunan stadion. Selain itu, mantan manajer AS Monaco itu pun berkomitmen baru akan “hengkang” apabila Arsenal sudah berada dalam kondisi ideal, baik dari skuat maupun di balik layar.
Kesetiaan itulah yang bakal sulit kita rayakan lagi. Pelatih sepak bola masa kini, terutama mereka yang mengabdi untuk tim papan atas, seperti tengah bekerja dengan pistol yang menempel di kening. Pistol itu bernama tuntutan untuk berhasil. Ya soal trofi, yang soal posisi di klasemen. Ketika tuntutan tidak tercapai, pelatuk pistol itu dengan mudah ditekan. Dor! Pecat!
Ketika sebuah klub berkompetisi dengan napas bisnis semata, kebahagiaan menjadi semakin terbatas, hanya soal juara atau tidak. Tidak ada yang salah, namun kesetiaan menjadi asek yang dikorbankan. Manchester City dan Paris Saint-Germain (PSG) boleh saja juara untuk satu atau dua tahun. Namun, ketika ada tanda-tanda kemunduran (buruk di mata modal), nasib pelatih langsung dipertaruhkan.
Tengok nasib Unai Emery bersama PSG. Ketika manajemen “membeli pemain” yang tidak dibutuhkan tim, lalu gagal total di Liga Champions, siapa yang disalahkan? Tentu saja manajer. Ketika si pemain yang aslinya tidak dibutuhkan gagal, siapa yang disalahkan? Sekali lagi, manajer. Emery, pelatih yang berhasil mengharumkan nama Sevilla, bukan klub teras La Liga, di ajang kompetisi Eropa itu, akan meninggalkan jabatannya di akhir musim.
Lain Emery, lain pula Mauricio Pochettino, pelatih Tottenham Hotspur, yang peluangnya lolos ke Liga Champions tengah terancam. Bukan tidak mungkin, ketika Spurs akhirnya gagal berkompetisi di Liga Champions, proyek yang tengah berjalan akan bubar jalan. Nama Pochettino sudah dikaitkan dengan klub-klub besar.
Tuntutan untuk sukses menjadi patokan utama, hingga proses tak lagi punya nilai. Di sinilah Arsene Wenger punya nilai istimewa untuk terus dirayakan. Sungguh sulit menemukan seseorang yang berkomitmen 100 persen untuk klubnya, terutama yang terpuruk untuk waktu yang lama.
Wenger mewakafkan waktu dan tenaganya secara total untuk Arsenal. Wenger bahkan mengorbankan rumah tangganya, untuk berkonsentrasi penuh dengan proyek jangka panjang The Gunners. Ia bercerai dengan isterinya. Apakah ada seseorang yang akan total mengabdi untuk komunitas yang turut ia bangun? Wenger menyimpan tangis hanya untuk Arsenal.
Penghargaan akan proses
Di tengah narasi kesetiaan Arsene Wenger, ada sebuah penghargaan yang tinggi akan sebuah proses.
Perlu diakui, Arsenal masuk ke dunia sepak bola industri lewat asuhan tangan dingin Wenger. Ada proses panjang di sana. Mulai dari mengubah kebiasaan pemain, memperkuat jaringan pencarian bakat pesepak bola, hingga yang paling epik, soal membangun stadion kelas satu. Ada pengorbanan di pusat proses itu.
Wenger mengorbankan masa-masa emas dalam kariernya untuk berproses bersama pemain-pemain kelas dua. Ia “dipaksa” menjual aset terbaik Arsenal dalam wujud pemain kelas elite, demi kesehatan kas klub. Tanpa mental dan determinasi, Wenger dapat dengan mudah menerima ajakan Madrid membangun skuat dengan dana yang melimpah.
Namun ia bersetia dengan proses. Membangun stadion bukan hanya mendirikan bangunan fisik saja. Stadion menjadi pusat kehidupan Arsenal di masa depan. Jadi, proses yang dilakoni Wenger adalah proses membangun masa depan. Buah pengorbanannya (seharusnya) akan dirasakan oleh era baru nanti. Bukankah membangun dan menyiapkan masa depan itu lebih berarti ketimbang gelar juara untuk satu atau dua tahun saja lalu dipecat seperti anjing kudisan yang diusir?
Penghargaan akan proses yang membuat sepak bola kembali menjadi “manusia”, bukan mesin uang semata. Hanya persona dengan hati baja yang akan tahan melewati sebuah proses penderitaan untuk kemakmuran generasi selanjutnya.
Dua alasan di atas sudah cukup untuk menegaskan bahwa perpisahan Arsene Wenger dan Arsenal harus dirayakan. Dibungkus dengan hati yang penuh, dan dikenang dengan hati yang meluap. Untuk terakhir kalinya, terima kasih Arsene Wenger. Untuk segala yang baik, dan segala yang buruk. Anda menjaga sepak bola tetap manusiawi.