[MOJOK.CO] “Steven Gerrard memandang Mohamed Salah sebagai pemain terbaik Afrika yang pernah berkarier di Liga Primer Inggris. Benarkah demikian?
Sempat terjadi pedebatan yang cukup panas ketika legenda Liverpool, Steven Gerrard, mengklaim bahwa Mohamed Salah adalah pemain terbaik dari Afrika yang pernah bermain di Liga Primer Inggris.
Pendapat Gerrard diserang banyak pihak, dari fans hingga pundit. Gerrard dianggap seperti sengaja melupakan nama-nama besar dari Afrika lainnya yang pernah mencari nafkah di liga paling mewah di dunia. Mulai dari Jay-Jay Okocha, Michael Essien, hingga Didier Drogba. Gerrard juga dipandang memuji Salah hanya karena mereka sama-sama “berdarah Liverpool”.
Apakah Gerrard memuji hanya karena Salah pemain Liverpool? Tulisan ini berusaha mendukung klaim pendapat Gerrard tersebut. Bagi Mojok Institute, Mohamed Salah memang pemain terbaik Afrika yang berkarier di Inggris. Inilah tiga alasan yang mendukung klaim tersebut.
1. Beda zaman, beda kesulitan
Nama-nama seperti Okocha, Essien, hingga Drogba hidup di masa lalu. Secara pribadi, ketiga pemain tersebut memang hebat. Namun sekali lagi, ketika mereka hidup pada masanya.
Okocha sendiri berhasil membawa Bolton Wanderers duduk di posisi ke-6 Liga Primer Inggris pada musim 2004/2005. Sementara itu, Essien dan Drogba menjadi juara bersama uang minyak Chelsea.
Namun, semuanya itu terjadi ketika Liga Primer Inggris dihuni Portsmouth dan Southampton yang tiga kali mengganti pelatih dalam satu musim, lalu Manchester City, tanpa uang dari Qatar, masih tim medioker, dan Tottenham Hotspur adalah penghuni tetap papan tengah ke bawah.
Dengan peta persaingan yang masih berkutat di Arsenal dan Manchester United (ditambah Chelsea yang selamat dari kebangkrutan berkat duit Abramovich), maka masuk akal jika pemain-pemain dengan superioritas individu seperti Okocha dan dikelilingi skuat mahal seperti Essien dan Drogba, bisa selalu maksimal.
Situasi berbeda saat ini. Persaingan lebih merata dan lebih banyak klub yang terlibat dalam pacuan menuju gelar juara. Jika pada musim 2004/2005 hanya tiga klub yang saling sikut, musm 2017/2018, ada tujuh tim dengan masing-masing kekuatan sudah mengalami upgrade. Mereka adalah Manchester City, Tottenham Hotspur, dan Liverpool yang melengkapi trio Arsenal, Manchester United, dan Chelsea.
Pun, di bawah enam tim tersebut, masih ada Everton, Burnley, Leicester City, Bournemouth, Watfrod, Brihton, dan Newcastle United, yang selalu merepotkan tim enam besar setiap minggunya. Intinya, selain City, tim enam besar lainnya tidak dapat dengan mudah mengalahkan tim-tim papan tengah. Persaingan sudah begitu ketat.
Dan di tengah persaingan yang semakin ganas inilah Mohamed Salah berhasil mendobrak. Pemain asal Mesir tersebut sudah mengumpulkan 28 gol dan tengah menyandang status sebagai pencetak gol terbanyak. Salah hanya butuh 2 gol lagi untuk masuk ke dalam “daftar suci”, para pencetak 30 gol dalam satu musim yang dihuni Thierry Henry, Luis Suarez, dan Robin van Persie.
Satu yang perlu diberi garis bawah tebal: Mohamed Salah bukan penyerang murni. Namun, ia menjadi pemain paling tajam saat ini. Dan inilah yang menjadi alasan nomor 2.
2. Adaptasi kemampuan dan perkembangan signifikan Mohamed Salah
Ketika masih bermain untuk Basel, Salah adalah pemain sayap yang “terlalu bahagia” ketika ia menguasai bola. Teknik menggiring bolanya memang luar biasa, selayaknya pemain sayap stylish lainnya.
Ketika disia-siakan Chelsea untuk berlabuh ke Fiorentina lalu AS Roma, Salah bekerja begitu keras untuk meningkatkan levelnya. Terutama ketika berseragam Fiorentin dan Roma, Salah berubah menjadi pemain yang betul-betul berbeda. Ia tak hanya punya teknik menggiring kelas elite. Salah melengkapi dirinya dengan kemampuan-kemampuan lain, yang membuatnya menjadi seorang outlet.
Istilah outlet, biasanya, disematkan kepada pemain yang mengemban minimial dua peran, yaitu kreator serangan dan penyedia peluang. Istilah ini berbeda dengan playmaker. Playmaker lebih banyak menggunakan visi dan kemampuan umpan (membangun sebuah fase serangan di sepertiga akhir). Sementara itu, outlet hidup di dalam bangunan tim, bisa juga di dalam rencana kerja seorang playmaker.
Contohnya begini: Leandro Parades adalah playmaker Roma yang beroperasi dari wilayah dalam (dekat gelandang bertahan atau bek tengah). Paredes mengatur tempo dan arah serangan Roma. Ketika hampir mencapai sepertiga akhir lapangan, Paredes memberikan bola ke depan kotak penalti (pre-asis).
Salah, yang sebelumnya bergerak dari sisi kanan luar menuju ke tengah, menerima umpan vertikal dari Paredes. Nah, di depan kotak penalti ini, Salah bisa langsung mendistribusikan bola ke dalam kotak penalti menggunakan umpan satu sentuhan, atau menahan bola untuk memancing bek tengah lawan keluar dari wilayah dan Edin Dzeko (striker Roma) bebas dari kawalan.
Setiap keputusan yang diambil Salah berbuah gol. Artinya, Salah membuat satu asis. Pun bisa jadi juga, Salah berkreasi sendiri. Ia melepas tembakan dari jarak jauh atau menerobos ke dalam kotak penalti menggunakan kelebihannya yang lain, yaitu teknik giringan. Komplet.
Inilah yang disebut outlet, pemain komplet. Untuk menjadi seorang outlet yang baik, Salah harus meningkatkan kewaspadaannya akan perubahan situasi, merekam pergerakan semua pemain dengan baik, dan mengasah kemampuan mengambil keputusan.
Teknik mengumpan dan menendang bisa dipelajari selama satu bulan secara intensif. Namun, tiga kemampuan di paragraf sebelumnya, tak hanya butuh latihan intensif untuk menyempurnakannya. Seorang pemain juga perlu tingkat intelejensia dan determinasi yang tinggi.
Apakah Evolusi Salah berhenti sampai di situ? Belum!
Salah menjadi pemain yang lebih komplet ketika bergabung ke Liverpool. Tak hanya seorang outlet, Salah juga menjelma menjadi eksekutor peluang yang begitu efektif. Mungkin, selain Neymar dan Cristiano Ronaldo, pemain lain yang mendekati level dewa Lionel Messi adalah Mohamed Salah.
Pendapat ini berpotensi memancing perdebatan yang lebih brutal lantaran Messi adalah topik yang sensitif. Namun, jika ingin membicarakan yang terbaik, standar paling baik untuk mengukur adalah kualitas Messi.
3. Bermain untuk Liverpool
Apakah Salah menjadi pemain terbaik karena bermain untuk Liverpool? Tentu saja.
Bermain untuk Liverpool dibutuhkan mental yang tebal supaya terbiasa untuk “hampir menjadi juara” setiap musimnya. Bermain untuk Bolton mungkin lebih ringan karena tingkat ekspektasi yang tidak setinggi ketika Salah bermain untuk Liverpool.
Pun, bermain untuk Chelsea, biasanya, Anda akan dikelilingi pemain-pemain berkualitas dan mahal.
Situasi yang berbeda terjadi di Liverpool, di mana terlalu banyak pemain yang bermental sebagai penghibur semata. Ya tidak jauh berbeda seperti Arsenal. Atau Steven Gerrrad yang lompat indah di pertandingan paling penting dalam satu musim.
Gerrard sudah sangat betul ketika mengatakan bahwa Salah adalah pemain terbaik dari Afrika. Sebuah pernyataan yang sebenarnya curahan hati bahwa mereka (akan) bernasib sama: yaitu hobi gagal juara Liga Primer Inggris. Butuh mental untuk menyandang status mulia tersebut. Manchester City dan David Silva belum tentu bisa. Berat. Biar Liverpool saja.