MOJOK.CO – Menculik PSS Sleman adalah aksi yang perlu dilawan. Bukan Sleman fans saja, tapi semua suporter Indonesia yang mencintai klubnya sebagai bagian dari budaya luhur.
Saya punya istilah sendiri untuk klub-klub di Indonesia yang sudah melebur ke dalam budaya setempat. Saya menyebutnya “klub kultural”. Sebuah istilah untuk menegaskan bahwa mencabut klub tersebut dari liang budaya berarti mengilangkan eksistensi yang mewakili budaya itu sendiri.
Persib tidak mungkin dipisahkan dari Bandung. PSIM adalah representasi Kota Jogja, PSM akan selamanya mendengungkan ewako untuk Makassar, Persija adalah wajah Jakarta, Persis adalah lagu terbaik milik Solo, PPSM puncak kebahagiaan Magelang, dan PSS adalah kebanggaan Sleman.
Masih banyak klub kuktural lain sesuai porsi pemahaman masing-masing suporter. Intinya, mencabut klub ini dari liang budaya akan berujung petaka. Adalah sebuah tindak kriminal ketika entitas jahat menculik dan menghilangkan identitas budaya. Ini tidak boleh terjadi.
Ontran-ontran antara fans dan manajemen PSS Sleman berbelok ke arah yang tidak terduga. Jika direnungkan dengan akal sehat, tuntutan suporter itu sangat saderhana. Sleman fans jengah dengan sikap pelatih yang terus memainkan Arthur Irawan, yang oleh komentator dan ahlinya, sebagai kelemahan PSS Sleman.
Selain itu, Dejan Antonic, pelatih, dianggap tidak punya keragaman taktik. Tiga kekalahan dari lima laga membuat suporter jengah. Tuntutan mereka adalah mengganti pelatih. Titik. Tidak lebih. Namun, manajemen PSS Sleman merespons dengan sebuah kejutan yang sungguh aneh.
Adalah Dirut PSS Sleman, Pak Marco, yang justru menyerang balik suporter. Dia menegaskan bahwa direksi siap memecat Dejan. Namun, sebagai kompensasi, manajemen akan membawa pergi PSS dari Sleman. Sikap ini sudah kelewat batas. Pak Marco sudah melewati batas toleransi dari sebuah klub kultural.
Ucapan Pak Marco adalah wujud manusia yang lupa akan budaya dan sejarah. PSS Sleman bukan sekadar klub tarkam yang bisa diboyong ke tempat lain, berganti nama, dan beralih identitas. Yang ditunjukkan manajemen saat ini adalah mental bakul. Hanya keuntungan yang dipikirkan. Tidak ada wujud kecintaan untuk klub yang mereka asuh.
Satu hal yang luput dipahami manajemen adalah hubungan Sleman fans dengan PSS Sleman bukan sekadar suporter. Dua entitas ini adalah satu. Ada sejarah panjang di mana manajemen sekarang membuangnya begitu saja ke tempat sampah.
Brigata Curva Sud (BCS), misalnya. BCS adalah wadah komunitas suporter yang biasa memenuhi tribun warna kuning, tribun sebelah selatan Stadion Maguwoharjo, Sleman. Mereka yang bernapaskan ultras ini biasa menggunakan dress code hitam, dengan slogan “no leader, just together”,
BCS lahir dari gejolak situasi di tubuh suporter. Situasi yang pelik, mendorong beberapa anak muda untuk berkumpul dan membentuk sebuah wadah suporter mandiri. Ultras adalah identitas yang diusung, mendiami tribun selatan, dan mulai mendukung dengan cara berbeda.
BCS mendukung dengan cara unik mereka sendiri. Lewat manifesto yang mereka susun, kita bisa sedikit membedah isi hati wadah suporter yang pernah mendapat anugerah “ultras terbaik di Asia” menurut Copa90, mengalahkan suporter-suporter yan lebih tua seperti Urawa Boys (Jepang), Frente Tricolor (Korea Selatan), Boys of Straits (Malaysia), dan Bangal Brigade (India).
Ada 8 poin di dalam manifesto BCS, yaitu “no ticket, no game”, “Mandiri Menghidupi”, “No Politica”, “Still Solo”, “Awaydays”, “No Leader, Just Together”, “Sebatas Pagar Tribun”, dan “Ora Muntir”. Informasi lebih lengkap bisa Anda baca di sini.
Pada intinya, keberadaan BCS adalah mendorong klub terkasih, PSS Sleman, untuk maju ke arah yang lebih baik, ke arah yang lebih profesional. Semuanya dimulai dari hal yang kecil. Mulai dari membeli tiket resmi demi keuangan klub, tegas membuat jarak dengan politik, tidak berafiliasi dengan pihak mana pun kecuali PSS Sleman, membangun tradisi untuk tekun mendukung tim ketika tandang, dan tak gentar dengan segala kondisi.
Daya tarik BCS menyebar begitu deras, merangkul banyak anak-anak muda. Terutama anak-anak muda yang Lelah dengan mendukung tim dengan “cara lama”. Misalnya, BCS tak pernah bernyanyi dengan nada-nada rasis atau menyelipkan ajakan membunuh di dalam lirik-lirik chant mereka. Cara-cara tersebut sudah usang, bebal, dan harus ditanggalkan.
BCS mendukung dengan koreo, giant flag, dan terutama: bernyanyi selama 90 menit penuh! Dengan begitu, tak ada kesempatan bagi anggota BCS untuk melemparkan barang-barang ilegal ke dalam lapangan karena sibuk bernyanyi dan menyelaraskan koregrafi.
BCS membiayai koreografi mereka dengan cara “patungan”. Cara sederhananya adalah menambahkan Rp1.000 ke dalam tiket khusus untuk BCS (tribun kuning). Sesuai slogan “no ticket, no game”, BCS bisa mandiri menghidupi, sekaligus mengajak semua suporter untuk tidak membeli tiket dari calo. Jadi, suporter diajak berkontribusi langsung untuk kesehatan keuangan klub.
Bicara BCS, juga bicara Curva Sud Shop (CSS). Toko merchandise ini lahir dari keprihatikan akan ketiadaan toko resmi PSS Sleman. CSS lahir dalam bentuk sebatas etalase kaca di depan ruko, hingga kini mampu menyewa ruko secara pribadi.
Uang hasil dodolan (berjualan) dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Salah satunya dengan yang disebut “royalti untuk klub”, yaitu sejumlah dana yang disetor untuk klub. Nilainya tak main-main. Gambarannya, di jersei PSS Sleman, sempat terpampang nama CSS. Bisa membayangkan berapa “nilai” yang dikeluarkan untuk bisa memasukkan nama merek ke dalam jersei pemain, kan?
Yang paling fenomenal adalah ketika CSS menjadi “sponsor kebugaran tim”. Berawal dari pemikiran bahwa klub profesional harus punya tenaga fisioterapis profesional, CSS menyumbang alat-alat kebugaran yang mendukung kerja Sigit Pramudya, fisioterapis PSS Sleman kala itu. Belum istimewa, namun Sigit menyebutnya sudah sangat cukup untuk ukuran klub profesional di Indonesia.
Lewat fakta di atas kita bisa tahu bahwa PSS Sleman mampu bertahan hidup, separuhnya, karena suporter. Fakta ini juga menegaskan bahwa sebuah klub tidak akan bisa langgeng tanpa suporter setia. Kini, manajemen hendak mencabut PSS dari liang budaya itu? Jahat sekali.
Respons manajemen atas tuntutan suporter PSS Sleman adalah bentuk kejahatan yang mungkin, juga terjadi di tempat lain. Ketika klub hanya sebatas “alat”, tidak pernah dianggap sebagai bagian dari budaya yang perlu dijaga dan dicintai.
Jawaban manajemen yang kelewat batas itu adalah wujud usaha menculik PSS Sleman dari habitatnya. Elang Jawa tidak akan pernah terbang lagi ketika pepohonan yang menunjang kehidupannya ditebang habis.
Kejahatan itu harus dicegah. Menculik PSS Sleman adalah aksi yang perlu dilawan. Bukan hanya oleh Sleman fans, tapi semua suporter sepak bola Indonesia yang mencintai klubnya sepenuh hati dan mengimaninya sebagai bagian dari warisan dan budaya luhur. Save PSS!
BACA JUGA Arthur Irawan Kuwi Sopo: Bahaya Masalah Internal PSS Sleman dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.