MOJOK.CO – Masihkah ada kebanggaan dari timnas Indonesia? Sebuah pertanyaan yang sederhana, tetapi butuh beribu kata untuk mengurai jawabnya.
Kesalahan kita adalah memandang timnas Indonesia sebagai entitas tunggal. Timnas Indonesia dipandang sebagai satu “wujud utuh”, terpisah dari sistem yang ada. Sebuah paradigma yang membuat pandangan kita menjadi sempit.
Adalah babak penyisihan Piala Dunia Zona Asia Grup G, ketika timnas Indonesia menjadi sebuah gambaran utuh betapa rusaknya sepak bola kita. Kalah empat kali dari empat pertandingan, duduk di posisi paling buncit, dengan catatan 3 memasukkan dan 14 kemasukan. Masihkah ada kebanggaan dari timnas Indonesia?
Sebagian orang masih akan menjawab dengan dada terbusung dan penuh keyakinan menjawab masih ada. Sebagian orang akan pikir-pikir, sebagiannya lagi sudah tidak mau menonton pertandingan timnas Indonesia, bahkan untuk sebatas pertandingan uji tanding. Kita tidak bisa menghakimi orang-orang ini dengan menyebut mereka tidak nasionalis. Orang punya batas toleransi didera sakit hati. Dan ini manusiawi.
Ultras timnas Indonesia. Mereka perlu diberi penghargaan khusus. Mereka orang-orang pilih tanding. Para pendekar tahan banting dengan toleransi akan sakit hati yang sangat luas. Katanya cinta, jatuh dan bangun bukan perkara. Untuk kesetiaan dan totalitas, saya angkat topi untuk mereka.
Bagi mereka yang masih pikir-pikir, juga perlu mendapatkan penghargaan. Mereka adalah golongan yang akan menyisihkan waktu untuk memikirkan sepak bola Indonesia lebih dalam. Sebagian dari mereka akan terus gelisah, ingin menonton, tetapi takut merasakan sakit hati untuk kesekian kali.
Semuanya manusiawi. Tidak ada dikotomi salah dan benar. Menjadi salah ketika kita memandang timnas Indonesia sebagai entitas tunggal. Misalnya secara penuh menyalahkan Simon McMenemy, pelatih timnas, sebagai antagonis tunggal.
Timnas Indonesia tidak bermain seseksi ketika ditangani Luis Milla. Bahkan masih kalah menggairahkan jika dibandingkan dengan catatan indah timnas U-19 yang dulu diasuh oleh Indra Sjafri. Timnas ala Simon adalah gambaran sepak bola Indonesia secara keseluruhan: tidak punya ide dasar, sulit mencari solusi, umpan-umpan jauh yang tidak efektif, dan stamina yang menyedihkan.
Namun, di sini saya harus berdiri bersama Simon. Tidak masalah teriakan-teriakan meminta Simon mundur itu semakin membahana. Namun, saya mau titip satu hal saja. tolong, arahkan juga teriakan-teriakan pilu itu kepada PSSI dan semua insan yang hidup dari sepak bola Indonesia.
Kenapa stamina timnas Indonesia sangat menyedihkan? Ketika sepak mula, timnas bisa bermain penuh determinasi. Bisa menyajikan pressing intensitas tinggi, hingga membuat banyak peluang. Namun, selepas menit 65, para pemain sudah sering berkacak pinggang sambil berlomba mengambil oksigen sebanyak mungkin. Kaki-kaki sudah semakin berat. Para pemain semakin sulit berpikir jernih karena kelelahan.
Selepas kekalahan dari Malaysia, Simon mengeluhkan jadwal kompetisi yang terlalu padat. Ahh, Pak Simon, Anda terlalu halus. Jadwal Liga Indonesia itu tidak manusiawi. Semua pertandingan dijejalkan dalam rentang waktu efektif enam bulan mengejar garis finis di tanggal 22 Desember. Sejak awal, jadwal ini akan “membunuh” para pemain secara perlahan.
Otot yang bekerja sedemikian berat tidak diberi waktu istirahat yang cukup. Klub-klub dibuat pusing untuk menyegerakan proses recovery pemain. Alhasil, para pemain mudah cedera otot. Ketika jadwal ini muncul, kemana Asosiasi Pemain Profesional Indonesia atau APPI itu? Tidak ada protes keras dan usaha “klarifikasi” seperti ketika isu mafia di pertandingan “Petaka Bukit Jalil” disenggol oleh banyak orang?
Bambang Pamungkas pernah bilang kalau pemain timnas Indonesia itu seperti serdadu. Mereka maju paling depan membela Merah Putih. Mereka pula yang paling depan dihujat ketika timnas kalah lagi dan lagi. Mereka harus meninggalkan anak dan istri, merelakan family time dipangkas demi membela Indonesia.
Serdadu lapangan hijau bukan serdadu di medan perang. Serdadu yang berlari di atas lapangan punya akal sehat dan hak untuk protes. Serdadu profesional yang mencari nafkah dengan menendang bola punya hak untuk melawan. Sehatnya kompetisi, toh pada akhirnya, akan membuat kehidupan mereka jauh lebih baik.
Dan lihatlah parodi pemilihan Ketua Umum PSSI dan Exco. Nama-nama lama yang punya rekam jejak kurang sedap maju kembali. Nama yang tidak dikenal tiba-tiba muncul dan mungkin akan memimpin PSSI kelak. Sementara itu, nama-nama profesional yang jengah dengan kondisi saat ini tidak diberi panggung.
Kekuatan untuk mengubah ada pada suporter dan voters. Namun, mengharapkan suporter seluruh Indonesia bisa bersatu melawan sirkus jahanam di puncak kekuasaan seperti berharap bikin tegak benang basah. Suporter lebih suka saling tantang, saling serang di jalanan, dan bersifat kedaerahan.
Orang-orang jahat berpesta pora ketika suporter menghabiskan waktu untuk saling membenci. Kebencian itu akan mengalihkan muka para suporter dari masalah terbesar di dunia sepak bola tercinta ini.
Kaki-kaki voters seperti terpasung. Takut tidak lagi melihat kompetisi berjalan lagi di tahun depan. Takut tidak bisa “mencari sesuap nasi” dari sepak bola Indonesia. Kompleks, rumit, dan saling berkelindan. Teriakan Revolusi PSSI seperti teriakan ke ruang hampa. Hanya sekadar wacana yang ramai di media saja.
Timnas Indonesia hanya seujung kecil dari masalah yang lebih besar. Kita sudah sepakat dan sadar kalau itu kenyataan yang terjadi. Namun, kita enggan untuk mengubahnya dan lebih asyik menyalahkan satu atau dua insan saja.
BACA JUGA Ahimsa: Surat Protes Untuk Sepak Bola Indonesia atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.