MOJOK.CO – Arsenal hanya perlu membantu Martin Odegaard untuk beradaptasi. Sisanya, kualitas sang pemain yang akan menentukan.
Rumah yang paling sejuk adalah sebuah tempat di mana kamu dicintai dan pekerjaanmu mendapat apresiasi. Sebuah tempat di mana semuanya dinilai secara objektif. Sebuah tempat di mana kerja kerasmu punya nilai. Kamu tidak “dikalahkan” oleh subjektivitas yang menyebalkan.
Ketika Martin Odegaard (dikabarkan) memilih Arsenal ketimbang Real Sociedad, pertanyaan itu mengemuka. Mengapa Odegaard, yang sudah pasti akan mendapat cinta di La Real, memilih Arsenal? Apakah benar, dengan sebuah telepon dari Mikel Arteta, pemain asal Norwegia itu berubah sikap?
Kalau saya pribadi, tentu lebih memilih berlabuh ke sebuah rumah yang sejuk itu. Rumah yang bisa memahami potensi dan warisan akan kerja keras yang sudah kamu lakukan. Bukan sebuah lahan yang sangat asing dan berpotensi melukai hatimu. Namun, memang, manusia itu, pada ujungnya adalah pameran ego dan omong kosong soal akal sehat.
Namun, jika memilih Arsenal sebagai “langkah selanjutnya bagi Odegaard, tentu saya sangat senang dengan sikapnya. Bagi pemain muda, bertarung di lingkungan paling keras bisa menjadi palagan paling tepat untuk menguji tingkat kanuragan.
Odegaard sudah akan disambut banyak tantangan setelah menginjakkan kaki di markas Arsenal. Adaptasi terhadap lingkungan dan iklim adalah tantangan wajib. Setelah itu, pemain berusia 22 tahun ini akan berhadapan dengan trio pemain muda Arsenal yang tengah berada dalam rich form. Mereka adalah Bukayo Saka, Emile Smith Rowe, dan Gabriel Martinelli.
Kehadiran ketiga pemain muda ini memberi kelegaan untuk fans, sekaligus tamparan keras ke pipi pemain senior Arsenal. Konsistensi Saka, Emile, dan Martinelli juga menjadi titi kala mangsa kebangkitan The Gunners di Liga Inggris. Ketiganya seperti berbagi pundak untuk memikul berbagai kebodohan Arsenal.
Martin Odegaard bisa “menyelinap” dan menemukan eksistensi di antara ketiga pemain itu?
Arsenal dan obsesi bermain 4-3-3
Banyak yang masih yakin kalau Arteta ingin Arsenal bermain dengan skema 4-3-3. Seperti Manchester City, sebuah tim dengan double #8 dalam diri Kevin De Bruyne dan David Silva, di mana Arteta terlibat dalam proses cetak birunya. Konon, skema 4-3-3 masih diangankan Arteta untuk diterapkan di London Utara.
Jika (masih berangan) bermain dengan sistem 4-3-3, trio Partey, Emile Smith Rowe, dan Odegaard memang bisa menarik. Smith Rowe dan Martin Odegaard adalah bayangan double #8 seperti City pernah punya De Bruyne dan David Silva.
Ketika “disekolahkan” ke Real Sociedad, Martin Odegaard punya beberapa posisi yang dia mainkan; di belakang striker, di sisi kanan, dan gelandang sentral sebelah kanan. Posisinya yang terakhir ini bukan posisi ideal, tetapi Odegaard mampu menyesuaikan diri dan melakukan tugasnya dengan baik.
Tiga kata yang banyak digunakan oleh media Spanyol untuk menggambarkan betapa cepatnya adaptasi Odegaard adalah etos kerja, kedewasaan, dan talenta yang seperti tanpa batas. Bahkan manajemen Real Sociedad pun terkesan ketika Odegaard datang di pra-musim dengan kondisi fisik siap untuk bermain di laga kompetitif.
Sebagai gelandang sentral, Odegaard mirip seperti Andres Iniesta. Dia seperti imun dengan pressing lawan. Kemampuannya ini dikombinasikan dengan kejeliannya melepas umpan progresif di area sempit. Ketika jalur umpan belum terbuka, dia bisa mempertahankan bola dan mendaur ulang penguasaan dengan mengumpan ke belakang setelah mengatasi tekanan lawan.
Satu hal yang membedakannya dengan Iniesta adalah kaki Martin Odegaard terlalu dominan di kaki kiri. Oleh sebab itu, jika kaki kirinya dikunci, Odegaard sangat bergantung kepada pemosisian diri kawan sebagai penerima umpan. Real Sociedad bisa mengakomodasi situasi ini dengan baik, sementara soal pemosisian diri pemain, Arsenal masih belum konsisten.
Sebagai gelandang sentral, ketika bermain bersama Real Sociedad, Martin Odegaard menempati posisi empat untuk pemain yang paling banyak membawa bola ke depan (carries into final third, 89 kali) dan posisi tiga untuk jenis umpan ke kotak penalti (passes into penalty area, 73 kali).
Sebelum Saka, Smith Rowe, dan Martinelli bermain bersama, Arsenal terlihat kepayahan membuat umpan-umpan progresif dan masuk ke kotak penalti lawan. Bahkan kesulitan itu masih terasa sampai sekarang ketika melawan tim dengan low block. Arsenal lalu terlalu banyak melepas umpan silang yang tidak efektif.
Martin Odegaard sebagai #10
Posisi kedua, yang justru lebih ideal untuk Odegaard adalah di belakang striker atau peran #10. Posisi dan peran yang kelak dia emban mirip dengan kerja Smith Rowe saat ini. Kedatangan Odegaard menjadi menarik di sini ketika Smith Rowe punya pengganti yang sepadan. Punya dua pemain dengan kualitas sama di satu posisi tentu menguntungkan untuk tim.
Kelebihan Odegaard yang bisa dimaksimalkan ketika bermain sebagai #10 adalah kelebihannya menempat diri di antara lini lawan. Dia punya kebiasaan sedikit bergeser ke kanan sebelum menerima bola. Aksi ini memudahkannya menerima bola dengan kaki kuat dan punya vision ke banyak sudut.
Martin Odegaard punya kemampuan menerima dan mengontrol bola di area sempit. Setelah itu, dia juga bisa mempertahankan bola dengan kemampuannya berkelit dari tekanan lawan. Momentum yang dia ciptakan ketika bermain sebagai #10 menambah jumlah peluang, terutama dalam fase transisi Real Sociedad dulu.
Intinya, dengan etos kerja dan konsistensinya, Martin Odegaard bisa dimaksimalkan di dua posisi. Lucunya, Arsenal punya pemain dengan kemampuan yang sama, yaitu Odegaard dan Dani Ceballos. Kedua pemain ini sama-sama pinjaman dari Real Madrid.
Supaya peminjaman ini bisa berhasil, Arsenal hanya perlu membantu Martin Odegaard untuk beradaptasi secepat mungkin. Saya rasa, kuncinya hanya satu hal itu saja. Selebihnya, kualitas di dalam diri Odegaard yang akan berbicara. Tentu dibantu dengan cara bermain yang terbilang “waras” dari Arteta.
BACA JUGA Arsenal dan Fetish Mikel Arteta untuk Menyakiti Diri Sendiri dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.