MOJOK.CO – Kalau Manchester United, Liverpool, dan Arsenal saja kini berkolaborasi, mangapa umat yang berbeda pandangan tidak mau meniru?
Saya kira Manchester United itu sehati dan sejiwa dengan Arsenal kalau soal kebodohan. Namun, yang namanya setan, memang tidak mengenal kata setia. United sudah mendapat bisikan gaib untuk kalah secara memalukan ketika menjamu Tottenham Hotspur supaya Liverpool tidak merasa “sendirian”.
Saya tidak habis pikir. Saya tidak bisa menebak isi kepala Ole Gunnar Solskjaer ketika United bermain dengan 10 pemain. Ketika Anthony Martial mendapat kartu merah dan United dalam posisi tertinggal, Ole tidak mengingatkan pemainnya untuk bermain lebih disiplin. Ole seharusnya sangat tahu kalau serangan balik Spurs sangat berbahaya.
Alih-alih menjaga kerapatan antarlini, United abai dengan pentingnya mengurangi kesempatan serangan balik lawan. Ole seharusnya belajar dari Ronald Koeman ketika Barcelona melawan Celta Vigo. Bermain dengan 10 pemain, Koeman “memaksa” pemainnya untuk bermain rapat, tetapi tetap berani menyerang.
Manchester United benar-benar tidak bisa bertahan. Bahkan ketika masih bermain dengan 11 pemain pun, mereka tidak tidak disiplin. Sudah tidak disiplin, pemainnya tidak punya koordinasi yang baik. Di atas lapangan, mereka membutuhkan bek baru, tetapi di jendela transfer, yang dikejar adalah pemain sayap dan striker.
Mungkin saya salah kira, Manchester United tidak butuh pemain baru. Yang mereka butuhkan adalah pelatih baru.
Saya mencoba berpikir dengan kepala jernih. Apa yang salah dengan Ole? Maaf, pada akhirnya saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan selain mereka sudah “berselingkuh”. Jika bicara kebodohan, dua badut Liga Inggris adalah United dan Arsenal. Namun, United tidak ingin membiarkan Liverpool berjalan sendirian di tengah badai dan langit mendung kebodohan.
Setelah Leicester City, juga secara mengejutkan dibantai West Ham United, Liverpool punya kesempatan besar untuk menyodok ke puncak klasemen. Sebelum melawan Aston Villa, jumlah kebobolan Liverpool baru empat gol. Artinya, selisih gol mereka lebih baik ketimbang Leicester. Jika menang, The Reds akan naik ke puncak klasemen.
Apa yang terjadi? Liverpool kalah dengan skor 2-7 di tangan Aston Villa. Pada titik ini, saya menjadi maklum dengan tingkah Napoli yang memilih kalah walk out dari Juventus. Memilih tidak datang ke kendang Juve, Napoli dinyatakan kalah 3-0. Masih mendingan kalah 3-0. Irit uang bensin sama konsumsi, nggak perlu bepergian. Aman dari Covid-19 lagi.
Fans Liverpool, Bersama fans Real Madrid tertawa paling keras ketika Barcelona dibantai Bayern Munchen dengan skor 2-8. Kini, mereka merasakan pengalaman memalukan yang sama. Bedanya, Barca kalah dari Bayern. Sementara itu, Liverpool kalah dari… ASTON VILLA.
Mencermati cuplikan pertandingan, Liverpool memang seperti tidak membiarkan Manchester United goblok sendirian. Sangat jarang saya melihat Virgil van Dijk yang tidak disiplin. Begitu jarang saya melihat Liverpool kesulitan bangkit dari situasi sulit. Ketika skor sudah 4-1, usaha untuk bangkit itu sudah hilang.
Mereka hanya sebatas berusaha mencetak gol untuk mengejar ketertinggalan, tanpa konsentrasi penuh ketika bertahan. Saya tidak tahu alasannya Jurgen Klopp memosisikan dirinya sejajar dengan Ole Gunnar. Sama-sama tidak waspada dengan lini belakang ketika “dipaksa” bermain sangat menyerang.
Ini sangat sulit dinalar. Berbagai alat analisis sudah saya pakai untuk mencari jawaban. Kondisi mental? Kelelahan? Semua klub yang bermain di Carabao Cup juga mengalami hal yang sama. Bahkan Arsenal yang, mudah dimaklumi ketika bermain kayak badut, saja menang. Kekalahan Liverpool dengan skor 7-2 terlalu tidak masuk akal.
Satu-satunya jawaban adalah mereka tidak ingin sendirian. Manusia adalah makhluk sosial. Maklum kalau mereka membutuhkan “teman” dalam situasi memalukan ini. Teman yang pundaknya bisa dijadikan sandaran. Oleh sebab itu, saya yakin kalau sejak Minggu pagi, Klopp sudah menghubungi Ole.
“Nanti kamu kalah aja ya, say. Kalah yang memalukan gitu. Biar aku nggak sendirian.” Klopp mengirim pesan pendek ke Ole.
“Oke, say,” jawab Ole singkat, namun mesra.
Sikap Manchester United dan Liverpool ini perlu mendapat apresiasi. Keduanya meresapi kata Jokowi secara paripurna bahwa saat ini tidak ada yang namanya kompetisi, tetapi kolaborasi. Di tengah pandemi, niat untuk bekerja sama lebih penting ketimbang gairah untuk saling menjatuhkan.
Tidak boleh ada orang yang “berjalan sendirian” di tengah kesusahan. Oleh sebab itu, Liverpool sudah mewanti-wanti Manchester United untuk kalah saja. Dan gobloknya, United, kok, mau saja. Ah, maaf, United menyanggupi ajakan ini dengan tangan terbuka. Ingat, tidak ada kompetisi, tetapi kolaborasi.
Sebagai fans Arsenal saya sangat terharu. Bagaimana tidak terharu, dua rival sengit sejak zaman batu ini bisa bekerja sama. Keduanya menyingkirkan segala perbedaan untuk saling bergandengan tangan.
Sebagai fans Arsenal saya juga bahagia. Kini, ada satu lagi klub yang bergabung di kolam kebodohan yang selama ini diisi United dan Arsenal saja. Saya yakin, kekompakan ini akan menghasilkan buah yang manis ke depan. Kalau Manchester United, Liverpool, dan Arsenal saja kini berkolaborasi, mangapa umat yang berbeda tidak mau meniru?
Izinkan saya mengakhiri tulisan ini. Saya sudah tidak kuat menahan tangis haru. Suka cita ini meluap ketika melihat setan dan bangau tidak mau membiarkan sesamanya berjalan sendirian. Inilah wujud kemanusiaan paling paripurna.
BACA JUGA Arsenal x Manchester United: Perlombaan Menjadi Pecundang Sejagat Raya dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.