MOJOK.CO – Liverpool membutuhkan satu lompatan besar untuk meraih hadiah tertinggi ketika di ujung sana, Manchester City menunggu dengan kuku-kuku tajam mereka.
Bill Shankly pernah berkata demikian: “The socialism I believe in is not really politics. It is a way of living. It is humanity. I believe the only way to live and to be truly successful is by collective effort, with everyone working for each other, everyone helping each other, and everyone having a share of the rewards at the end of the day.”
Sebuah ide, di mana di dalamnya terdapat kemanusiaan. “Saya percaya, satu-satunya cara untuk hidup dan sukses adalah dengan usaha bersama, semua orang bekerja untuk sesama, saling membantu, dan semuanya berbagi kesuksesan pada akhirnya.”
Liverpool dan Jurgen Klopp adalah wujud dari ucapan Bill Shankly di atas yang terlontar ketika hendak menerima penghargaan OBE dari Ratu Inggris. Liverpool tahun ini adalah kematangan terbaik dari sesuatu yang sudah diperam lama. Matang menyeluruh, bahkan ketika dua bek sayap muda mereka menjadi pengirim asis terbanyak untuk tim.
Saat ini, semua pemain menyatu menjadi satu kesepahaman. Bahkan ketika Mohamed Salah dan Roberto Firmino absen, Klopp tak pikir dua kali untuk memainkan Divock Origi dan Xherdan Xhaqiri. Gairahnya sudah ada di sana. Tidak lagi perlu susah payah untuk berkata bahwa “Ini kesempatan kalian ketika para pemain utama absen.” Origi dan Xhaqiri bermain untuk tim. Dan itu paripurna. Mereka menciptakan salah satu remontada terbaik sepanjang sejarah.
Menyitir kalimat Shankly, “…saling membantu, dan semuanya berbagi kesuksesan pada akhirnya,” apakah Liverpool akan bisa menikmati kesuksesan di ujung musim? Kalau gagal, itu sudah biasa. Toh dengan 94 poin, dan berpeluang jadi 97 di ujung musim bukan menggambarkan betapa sialnya Liverpool. Ini hanya gambaran kalau Manchester City memang terlalu kuat untuk semua tim di liga.
Itu jumlah poin yang sulit dicapai. Kalau ada yang berkata berbeda, mereka hanya ingin menghabiskan waktunya dengan kebencian tanpa ingin susah payah memahami makna respect dan keluasan berpikir bahwa yang The Reds lakukan itu sudah luar biasa.
Dan, di ujung musim, kerlip harapan itu masih ada. Tipis. Tipis saja, tapi bukan berarti tidak ada. Liverpool bak seekor ikan salmon, di depan air terjun rendah nan terjal, dan seekor beruang grizzly mengintip dari puncak air terjun rendah itu. Grizzly itu kelaparan, ia Manchester City. Ia penguasa, yang akan selalu lapar dan salmon adalah hidangan manis di pamungkas musim.
You know, daging salmon segar itu punya cita rasa manis. Kamu hanya butuh garam dan merica untuk memasaknya. Dibakar atau digoreng sama menariknya. Dipadukan dengan mashed potato dan segelas bir dingin. Kesegaran dan daging yang kokoh itu berasal dari perjuangan mereka di lautan.
Bergerak dengan liar, mengumpulkan semua tenaga untuk melawan arus sungai yang deras, untuk bertelur di tempat kelahirannya dan memicu kelahiran baru. Ia akan mati setelah bertelur, tapi salmon selalu menghadirkan kehidupan yang baru.
Liverpool dan Klopp pun begitu. Mereka tidak menetapkan standar apapun di sepak bola. Toh gegenpressing sudah jadi kesayangan di Bundesliga, sebelum nama Klopp mendunia bersama Borussia Dortmund. Tak ada yang betul-betul baru dari usaha asuhan Klopp untuk menyerang transisi–sebuah periode paling berbahaya di sepak bola–counter-pressing di wilayah lawan.
Klopp melakukannya dengan sentuhan yang baru. Kekacauan ketika transisi dicecar habis. Dulu, ide yang ia terapkan untuk The Reds terasa terlalu direct. Langsung ke inti. Lari. Bikin para pemain tumbang karena periodisasi dan istirahat yang buruk. Namun, Klopp adalah salmon, ia beradaptasi dan berkembang menjadi “daging” yang kuat.
Pelatih asal Jerman untuk berubah menjadi lebih “tenang”. Heavy metal ia tanggalkan, diperhalus menjadi rock evergreen. Tetap menyentak, tapi tidak menyakiti diri sendiri dengan stage diving dan moshing yang berbahaya. Gaya rock Klopp membuat cedera pemain berkurang. Hampir selalu bisa tampil dengan kekuatan terbaik, The Reds menjadi satu unit yang kompak dan kuat.
Mereka menjadi salmon dewasa, yang tahu betuk dengan risiko menantang arus dan melompati air terjun. Beruang grizzly, elang kepala botak, dan manusia sudah menunggu dengan beragam jebakan mereka. Terutama grizzly, ia akan menceburkan dirinya di ujung air terjun, dengan tangan terjulur, telapak tangan yang kokoh, dan kuku-kuku super tajam.
Beruang itu adalah Manchester City. Mereka kokoh di atas sana. Jarak antara Liverpool dan Manchester City tidak jauh, hanya satu poin. Terlihat dekat, tapi penuh mara bahaya. Seperti jarak antara salmon dan rumah bertelurnya di ujung yang lain dari air terjun.
Liverpool hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk melompat. Apakah tamparan beruang grizzly itu akan mengoyak dagingnya yang liat? Atau, apakah mungkin grizzly Manchester City itu terpeleset di detik akhir ketika ia memasang kuda-kuda untuk menyambar hadiah terbesar tahun ini?
Ingat, sungai yang deras punya bebatuan licin di dasarnya. Kombinasi itu sungguh berbahaya. Bahkan untuk kaki grizzly yang kokoh. Dan ketika ia terpeleset, ketika Manchester City takabur, salmon pemberani kita, Liverpool, akan melompat menuju rumah dan melahirkan generasi baru.