MOJOK.CO – Liga 1 akan sepak mula di bawah mendung keraguan dan berbagai pertimbangan. Jangan jadikan pesepak bola dan suporter sebagai tumbal kompetisi.
Akhirnya, sepak bola kembali ke Indonesia. Pada 27 Agustus 2021 nanti, Liga 1 akan sepak mula. Setelah 500 hari hiatus, lebih dari satu tahun, olahraga yang dianggap agama ini dimulai lagi. Namun, nyatanya, keraguan itu tidak juga hilang, meski rasa kangen sudah kadung membuncah.
Tidak ada yang tidak kangen dengan Liga 1 dan Liga 2. Ada yang bilang kompetisi harus segera dimulai karena bakal jadi perangsang luar biasa untuk imun diri. Ada yang ingin melihat sepak bola Indonesia kembali bergeliat karena banyak dari masyarakat mengais rezeki dari sini.
Semua alasan itu pasti benar. Tidak ada yang salah. Namun, masalahnya, kita sedang berbicara soal sepak bola Indonesia. Tentang Liga 1 yang sudah hiatus selama 500 hari. Mari akui saja, ketika bicara soal sepak bola Indonesia, rasa yang muncul bukan gairah saja, tapi juga berbagai keraguan.
Kebetulan, saya yang bukan asli Surabaya, tergabung dalam grup WhatsApp Bonek Writer Forum (BWF). Grup ini berisi para jurnalis, presenter olahraga, dosen, wiraswasta, hingga PNS. Ada gairah yang membuncah ketika kepolisian memberi izin bagi PSSI untuk menggelar kompetisi. Namun, di sela-sela kegembiraan itu, ada kewarasan yang tetap terjaga.
Ada yang tidak mau terlalu bahagia menyambut Liga 1 di akhir Agustus ini. Kita sedang bicara sepak bola Indonesia, di mana segala kemungkinan bisa terjadi. Pokoknya kalau peluit sepak mula belum ditiup oleh wasit di tengah lapangan, banyak yang masih ragu kompetisi akhirnya bisa berjalan.
Bagaimana dengan saya sendiri?
Saya sepakat dengan kepercayaan salah satu anggota BWF tersebut. Kalau sepak mula belum terjadi, anggap saja Liga 1 maupun Liga 2 masih dalam angan. Bukan tidak mungkin, jadwal yang sudah dirilis, akan mengalami perubahan, belum lagi jika kita bicara soal penanganan pandemi.
Apakah pembaca sepenuhnya percaya dengan kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi? Jangan salah, jawaban pembaca akan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan terhadap Liga 1 yang akan dimulai. Jujur, saya pribadi tidak ingin sepak bola Indonesia dimulai dulu.
Alasannya, pertama, vaksinasi di Indonesia belum sepenuhnya merata. Ingat, vaksin tidak menjamin seseorang bakal kebal terhadap Covid-19. Fakta tersebut, gabungkan dengan kenyataan bahwa banyak yang sudah kangen dengan Liga 1, kamu akan mendapatkan satu kemungkinan yang bikin saya khawatir.
Maksudnya begini. Liga 1 tentu akan digelar tanpa penonton. Itu lumrah. Namun, apakah panpel dan pihak kepolisian bisa menjamin tidak akan ada suporter yang berkerumun di sekitar stadion? Kerumunan itu kolam penularan Covid-19 paling ampuh, sedangkan rasa kangen suporter pasti sudah tidak tertahankan.
Kalau memang tidak ada yang berkumpul di sekitar stadion, apakah kantong suporter bisa menahan diri untuk tidak berkumpul di suatu tempat? Di warung kopi, misalnya, untuk nonton bareng. Sungguh tidak mungkin tidak ada pertandingan yang disiarkan televisi nasional, bukan?
Sepak bola bukan olahraga yang terlepas dari dinamikan sosial masyarakat. Olahraga ini sudah menjadi semacam eskapisme bagi jutaan rakyat Indonesia dari kelamnya kehidupan. Sangat tidak mungkin memisahkan pertandingan Liga 1 dari kerumunan yang bisa saja terjadi.
Yah, semoga ini hanya kekhawatiran saya belaka….
Kedua, soal tunggakan gaji. Bagaimana bisa disebut profesional kalau masih menunggak gaji? Masalah tunggakan gaji adalah salah satu “masalah purba” di Liga Indonesia. Awet dan terus terulang.
Liga 1 sudah tinggal menghitung hari saja, tapi tunggakan gaji belum juga beres. Pada 13 Agustus 2021 lalu, Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), merilis data yang menunjukkan sejumlah klub masih punya masalah gaji ini.
Salah satunya adalah Persis Solo, yang sebagian sahamnya dipegang anak Presiden Joko Widodo. Selain Persis, masih ada Kalteng Putra, PSMS medan, Sriwijaya FC, Persijap Jepara, PSM Makassar, dan PSKC Cimahi. Gaji adalah alat untuk mengukur tingkat profesionalitas sebuah organisasi atau perusahaan. Apakah masalah seperti ini mau terus dipelihara?
Ketiga, jaminan dari penyelenggara Liga 1 soal kesehatan. Sudjarno, Direktur Operasional PT LIB sudah menegaskan soal rekomendasi kesehatan yang akan dipatuhi.
“Jadwal, sosialisasi terkait aplikasi Peduli Lindungi, soal kesepakatan pendaftaran pemain yang harus vaksin, pemain asing, itu kan menjadi pertimbangan yang harus kami sempurnakan,” tegas Sudjarno.
Pernyataan ini adalah indikasi yang bagus. Liga 1 harus bergulir dengan tetap menjaga kewarasan akan kesehatan. Jangan sampai test and tracing di antara tim-tim yang berlaga bolong satu kali saja. Jika ada yang positif Covid-19, harus jelas bentuk antisipasinya. Apakah harus membatalkan laga dan menggeser jadwal?
Pemain bola juga tidak mungkin “dipingit” di satu lokasi saja. Mereka akan banyak melakukan interaksi dengan anggota keluarga atau lingkaran pertemanan. Kemungkinan positif Covid-19 sangat tinggi. Semua itu harus benar-benar dipikirkan.
Pada akhirnya, Liga 1 akan sepak mula di bawah mendung keraguan. Sudah sejak dulu, banyak yang tidak percaya dengan PSSI dan PT LIB. Jika kompetisi yang baru akan dimulai ini sudah memunculkan banyak masalah, jangan heran kalau semakin banyak yang membenci dua entitas itu.
Terakhir, pesan saya. Jangan paksakan sesuatu yang sebetulnya masih di luar kapasitas kita bersama. Jangan jadikan pesepak bola dan suporternya sebagai korban dari hasrat yang tidak didukung oleh kualitas pengurus liga.
Kita semua sudah kangen sama sepak bola. Namun, jangan sampai kita jadi tumbal dari sebuah gairah yang terlampau jauh untuk digapai….
BACA JUGA Saya Lebih Rela dan Ikhlas Sepakbola Diurus Para Artis Ketimbang oleh Pengurus PSSI Saat Ini dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.