MOJOK.CO – Akhirnya final, Euro 2020, Italia vs Inggris. Kedua penulis Mojok Euro ini menutup kisah mereka secara haru. Antara rekonsiliasi alumni dan panduan judi.
Alief Maulana: “Duel 2 alumni Brawijaya!”
Terlepas dari sejarah bahwa sepa kbola modern diciptakan dan lahir di tanah Britania, ungkapan football’s coming home memang tidak ada yang salah. Sepak bola, jika diibaratkan sebuah anak, sudah terlalu lama merantau.
Di Indonesia, momen 2 hari raya kerap menjadi waktu yang tepat bagi para perantau untuk pulang ke rumah. Merasakan kedekatan dengan orang tua dan anggota keluarga lain. Sesuatu yang belum tentu dirasakan saat berada di tanah rantau.
Saya sebagai perantau memahami hal itu.
Momen pulang ke kampung halaman inilah yang dirindukan Inggris. Namun, bukan sepak bola yang rindu, melainkan mereka-mereka yang berada di Inggris.
Sepak bola rasa-rasanya tak rindu pulang ke rumah. Bayangkan, sepak bola kali terakhir “pulang” dengan membawa trofi, terjadi pada 1966. Setelahnya, sepak bola menjadi milik masyarakat dunia.
Sepak bola terlalu kerasan berada di perantauan. Mungkin karena di Inggris, sepak bola tak mendapatkan kenyamanan seperti saat berada di Brasil, Italia, atau bahkan Jerman.
Namun, sekali lagi, sah-sah saja ketika warga Inggris merindukan sepak bola kembali ke rumahnya.
Banyak yang menganggap ungkapan itu terlalu arogan. Terlalu merasa memiliki. Padahal, jika dilihat dari sejarah, jumlah gelar The Three Lions tak sebanding dengan 3 negara yang saya sebut di atas. Di level Euro, mereka sama seperti Indonesia di level asia, tak pernah menjadi juara.
Kadang, klaim demi klaim dikeluarkan bukan untuk menunjukkan bahwa mereka memang yang terkuat, melainkan demi menutupi kurangnya kualitas.
“Kami ini pemilik sepak bola, pewaris sebenarnya.” Padahal, jangankan pewaris, gelar Piala Dunia saja cuma 1.
Baiklah, kembali lagi, bahwa klaim dan arogansi semacam itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Toh, konon katanya, istilah itu muncul berawal dari sindiran dan guyonan. Entah apa yang terjadi di Inggris ketika sindiran semacam itu keluar dari mulut dan tangan para pewaris takhta. Sebegitu pesimistisnya, mungkin.
Itulah Inggris, negara pemilik sepak bola yang terlalu lama tak menikmati kehangatan gelar.
Final Euro 2020 menjadi final pertama mereka (catat, final pertama mereka) setelah kali terakhir pada tahun 1966. Final pertama mereka di dua turnamen besar, Euro dan Piala Dunia, setelah 55 tahun. menyedihkan.
Mari geser ke Italia, negara dengan kompetisi yang dianggap butut dan permainan yang membosankan. Meski kompetisinya butut dan permainannya membosankan, namun setidaknya 4 gelar Piala Dunia sudah mampir sambil makan pizza dan spaghetti.
Italia sudah terlalu lama tidak memenangi Euro. Terakhir kali juara terjadi pada 1968. Bedakan antara lama tidak menjadi juara dan tidak pernah juara. Bahkan, Denmark kali terakhir juara pada 1992.
Kesimpulannya adalah, sepak bola boleh lahir di Inggris. Namun, sudah banyak terjadi, kesuksesan justru dirasakan perantau di tanah orang. Mungkin karena kampung halamannya bosan, overrated, atau memang sudah tidak layak menyandang status “rumah” bagi sepakbola.
Saya vs Moddie Alvianto
Duel Italia vs Inggris akan menjadi pertarungan antara saya kontra Moddie Alvianto. Beliau adalah editor sekaligus sosok yang bertanggung jawab atas kelahiran buku pertama saya: Romantisme Serie A, yang akan terbit dalam waktu dekat.
Sekadar informasi, saya tak pernah meminta kepada panitia untuk menjodohkan saya dengan Italia. Mas Moddie juga sama. Semuanya murni karena kebetulan dan tentunya keberuntungan.
Mas Moddie, mau tak mau, mendukung Inggris. Padahal, hati kecilnya menolaknya. Dia pemuja Italia sejati nomor 3 di Indonesia setelah saya dan Mas Puthut EA.
Jadi, semua kalimat pujian yang Mas Moddie lontarkan kepada Inggris sejak pertandingan pertama sampai final itu semuanya bohong. Palsu. Dia lakukan itu semua demi pundi-pundi rupiah yang fana.
Terlepas dari itu semua, saya menaruh hormat betul pada beliau. Selain karena beliau yang mengatur buku pertama saya, tentu juga karena kami sama-sama lahir dari almamater yang sama: Universitas Brawijaya.
Tak hanya itu, kami juga berasal dari jurusan yang sama: Hubungan Internasional. Bedanya, beliau angkatan 2002 dan saya 2015. Hal yang berbeda lainnya adalah beliau alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan saya alumni Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (Himahi UB).
Apa pun hasilnya di final, kami berdua tak akan bertengkar. Kami sama-sama akan mendapatkan pundi-pundi rupiah. Lalu, Universitas Brawijaya, kampus tercinta, akan bangga kami berdua, sosok yang mengharumkan nama kampus, setidaknya sampai ke dunia Mojok tercinta.
Bahkan, kalau covid jancuk ini nggak ada, di final Euro 2020, saya ingin menggandeng tangan Mas Moddie sebelum laga sembari menyanyikan Mars Brawijaya. Kami akan menyanyi dengan sepenuh hati, seperti pemain-pemain Italia ketika menyanyi Fratelli D’Italia. Mungkin kami akan sampai menangis dan saling mengelap air mata. Indahnya Brawijaya.
Mari, pembaca yang baik, menyanyi Mars Brawijaya bersama saya:
Berpadu di derap langkah menyambut terangnya sang surya
Universitas Brawijaya sumber Ilmu dan budaya
Kibarkan tekad patria serempak dalam satu cita
Ayo bangkit semangat baja bahagia menanti kita
Maju terus maju Almamater tercinta Universitas Brawijaya
Dengan rahmat Tuhan dan dasar pancasila abadilah namamu
Dengan jiwa Tri Dharmamu kami setia mengawalmu
Universitas Brawijaya jayalah sepanjang masa
Moddie: “Italia vs Inggris dalam balutan primbon.”
Minggu malam, atau tepatnya Senin dini hari waktu Indonesia, gelaran final Euro 2020 akan tersaji. Italia vs Inggris. Sebagai penggemar Serie A, khususnya Juventus, saya mendukung Italia.
Masalahnya, berdasarkan undian Mojok, saya dapat Inggris. Alhasil, saya berusaha menulis Inggris dengan sebaik mungkin. Jika teman-teman yang lain menulis dengan serius dan jenaka, saya menulis dengan analisis primbon.
Cara yang saya lakukan sangat sederhana. Data saja tanggal lahir seluruh penggawa timnas Inggris. Kemudian, masukkan tanggal tersebut ke situs primbon online. Nah, akan ketemu hari beserta weton lahirnya.
Setelah itu, masukkan tanggal pertandingan. Kalo sudah ketemu, tinggal cocokkan saja. Siapa saja pemain yang hari lahirnya bertepatan dengan hari pertandingan. Mudah, bukan?
Namun, sepertinya hitungan tersebut agak susah diimplementasikan pada laga final. Kebetulan, hari pertandingan tersebut adalah Minggu Pon (mengacu pada jadwal di Inggris, ya).
Nah, lha kok setelah saya cari, tidak ada satu pun pemain Inggris yang lahir pada Minggu Pon. Meskipun ada beberapa nama yang lahir pada Minggu. Misalnya Jack Grealish, Mason Mount, Phil Foden, Dominic Calvert-Lewin, dan Jude Bellingham.
Apakah ini berarti Inggris kalah? Tunggu dulu. Mari kita lihat Italia.
Saat mengecek data pemain Italia, eh, ternyata sama persis dengan data pemain Inggris. Tidak ada satu pun pemain Italia yang lahir pada Minggu Pon. Lebih parahnya lagi, tidak ada satu pun pemainnya yang lahir pada Minggu.
Lalu, apakah Italia yang kalah? Tunggu dulu. Kita cek warna keberuntungan.
Jersey putih dianggap sebagai warna keberuntungan di Euro 2020. Spanyol, Italia, Denmark, dan Inggris adalah 4 tim yang lolos ke semifinal karena “jersey suci” itu. Meskipun begitu, tuah jersey putih runtuh tatkala Spanyol bertemu Italia. Seperti kita ketahui, Italia lolos ke final ketika mengenakan jersey biru.
Jika hari lahir dan jersey ternyata tidak bisa dijadikan acuan, lalu apa lagi yang bisa dijadikan panduan?
Barangkali statistik ini bisa berguna.
Tuan rumah juara di final Euro:
1964: Spanyol di Santiago Bernabeu
1968: Italia di Olimpico
1984: Prancis di Parc des Princes
Tuan rumah kalah di final Euro:
2004: Portugal di Lisbon
2016: Prancis di Stade de Franc
2020: Inggris di Wembley (?)
Yang jelas, 5 dari 6 analisis ala ala primbon sejauh ini tepat sasaran. Silakan bertaruh.
Football is Coming Home or Football is Coming Rome?
Honestly, Football is Coming Primbon!
BACA JUGA Prediksi Final Euro 2020: Coming Home Atau Coming to Rome Dan ulasan Euro 2020 lainnya.