MOJOK.CO – Liverpool dan Mohamed Salah menyatukan dua pendukung garis keras yang selama ini saling jegal; fans Jokowi dan Prabowo, yang mendukung Arsenal, United, dan Spurs.
Liverpool menang dengan cara paling spektakuler yang terbayangkan. Jordan Henderson membuat satu asis yang artisitik, di mana aksi tersebut biasanya terjadi setahun sekali sampai-sampai Jurgen Klopp harus memuji Henderson karena sudah menaikkan level permainannya, dan tentu saja tendangan jarak jauh itu. Mohamed Salah!
Jarak antara titik tendangan hingga mulut gawang mungkin 25 meter atau lebih, tapi tidak banyak. Tidak seperti Mohamed Salah biasanya, yang membuat bola bergerak dengan pola parabola dengan gesekan kaki sebelah dalam, ia melepaskan tembakan keras, lurus, dan tak bisa digapai kiper angin-anginan Chelsea, Kepa.
Gol itu memenuhi semua syarat menjadi terlihat spektakuler. Pertama, dilakukan di big match yang punya makna penting. Kedua, dilakukan dari jarak jauh. Ketiga, Salah melakukannya dengan kecepatan tinggi di mana tingkat kesulitannya semakin tinggi. Saking kerennya, komentator sampai bilang itu gol dari surga. Wah, temennya Amien Rais nih, tahu kehidupan di surga.
Namun, betulkah se-spektakuler itu? Sebetulnya ya cuma “gol keren” saja. Pertama, lawannya cuma Chelsea, di mana sama Arsenal saja kalah. Ini cukup menggambarkan kualitas Chelsea melawan tim-tim enam besar. Kedua, kalau tahu soal half space, ruang di antara sisi lapangan dan tengah, kamu akan tahu kalau Salah melepaskan tembakan dari tempat paling ideal.
Half space memang ruang ideal untuk penciptaan peluang. Jika seorang pemain atau sebuah tim mampu menguasai ruang itu, mereka bisa mengirim umpan silang ke kotak penalti, memprogresikan bola ke sisi atau tengah lapangan, atau melepaskan tembakan langsung. Dan, tembakan diagonal itu adalah salah satu jenis tembakan yang paling sulit diantisipasi kiper.
Namun bukan itu yang penting. Yang justru paling penting dari performa dan gol Mohamed Salah adalah akibat dari gol yang ia buat. Secara telak, di masa tenang, Liverpool dan Mohamed Salah sendiri, berhasil menyatukan dua kubu yang selama ini bertarung dengan hebat, mereka adalah Cebong dan Kampret, pendukung Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019.
Kok bisa, sebuah gol bermakna begitu penting di dunia politik?
Ya bisa saja, karena yang saya maksud adalah Cebong dan Kampret pendukung Jokowi dan Prabowo sekaligus fans dari Arsenal, Manchester United, dan Tottenham Hotspur. Sementara itu, fans Manchester City bakal sangat jengkel dengan Chelsea yang tidak betul-betul bisa bikin perlawanan.
Tapi yah, namanya saja Chelsea. Ketika Eden Hazard dipaksa bekerja sendirian, sementara Gonzalo Higuain terlihat lebih dekat dengan pensiun ketimbang mencetak gol.
Lagipula, Mohamed Salah sudah berpengalaman menyatukan “suara rakyat” yang tidak puas dengan kandidat capres. Masih ingat tahun lalu, pemilu di Mesir, ketika hampir satu juta pemilih memasukkan nama Mohamed Salah ketimbang Abdel Fattah al-Sisi (petahana) dan Moussa Mostafa.
Muak dengan pemilu yang dicurigai tidak bersih dan adil, ada 1,76 juta orang memilih Salah ketimbang dua kandidat. Suara yang diperoleh mantan pemain AS Roma itu jauh mengungguli Mostafa (656,354 suara).
Mostafa sendiri dipercaya sebagai pendukung al-Sisi. Ia ikut pemilu supaya al-Sisi tidak melawan “kotak kosong”. Ya mirip-mirip seperti Indonesia ketika dulu Prabowo belum menyatakan diri maju di Pilpres 2019. Banyak yang takut Jokowi akan melawan kotak kosong.
Nah, pacuan mengakhiri musim di zona Liga Champions musim ini sama serunya dengan pacuan juara. Ada empat klub yang sedang memperebutkan dua posisi tersisa di empat besar. Mereka adalah Arsenal, Manchester United, Tottenham Hotspur, dan Chelsea. Selain harus selalu menang di jadwal masing-masing, mereka juga hanya bisa berharap tim rival terpeleset ketika menjalani big match.
Dan bagi Chelsea, kalah dari Liverpool sukses menambah beban untuk mengakhiri musim di empat besar. Saat ini, dari empat tim yang saling kejar, hanya Chelsea dan Manchester United yang menyisakan dua laga big match. Spurs masih menabung satu big match, sementara Arsenal hanya akan melayani banyak tim papan tengah. Namun, kesulitan Arsenal adalah mereka lebih banyak bermain tandang ketimbang lawan-lawan di empat besar.
Chelsea dijadwalkan melawan Liverpool dan Manchester United. Mereka sudah kalah ketika tandang ke Anfield. Harapan mereka tinggal menang di Old Trafford, sembari berharap Spurs dan Arsenal kembali menjadi pecundang seperti biasanya. Nah, bagi Manchester United, mereka akan menghadapi Manchester City dan Chelsea, keduanya dimainkan di kandang sendiri.
Hitungan bermain kandang dan tandang sering diremehkan. Namun, di tengah himpitan beban mental, nyaringnya nyayian fans bisa berarti banyak. Menang di Old Traffrod akan jadi laga yang lebih berat bagi Chelsea ketimbang laga di Anfield. Sudah beban mental makin berat, United masih stabil di liga ketika main kandang, bertolak belakang dibandingkan bila mereka berlaga di Liga Champions.
Gol Mohamed Salah itu seperti “menyelesaikan” segala sesuatu. Saat ini, The Blues masih di peringkat keempat. Jika Arsenal menang melawan Watford, mereka akan melompat dari posisi enam ke posisi empat, menggeser Chelsea dan United sekaligus. Dan tidak ada yang bisa dilakukan anak asuhan Maurizio Sarri. Gol Salah sukses menghilangkan kesempatan bagi The Blues untuk menentukan nasib sendiri.
Ketika gol keren itu terjadi, di sudut-sudut dunia, di sudut-sudut hati para fans Arsenal, United, dan Spurs terjadi perayaan kecil. Di hari tenang ketika buzzer dan pendukung Jokowi dan Prabowo tidak bisa frontal saling menyerang, mereka dipersatukan lewat sepak bola, dan gol indah Mohamed Salah.
Sementara itu, di sudut dunia yang lain, mungkin di sudut neraka dunia, fans Setan Merah sibuk menyusun makian paling pedas untuk Chelsea. Mereka sampai rela City menjadi juara, ketimbang melihat Liverpool mengakhiri puasa gelar 28 tahun. Sebuah ironi yang menyenangkan dari serunya paruh akhir Liga Inggris.
Gol namaste dari Mohamed Salah menyatukan semua. Fans Arsenal dan Spurs, hingga fans United dan City. Sebuah pemandangan yang langka terjadi karena terkadang, di sepak bola, “menyelamatkan diri sendiri” lebih penting ketimbang berdoa rival selalu kalah.