MOJOK.CO – Belajar dari Rachel Vennya, Liverpool tidak butuh Thiago yang indah. Mereka lebih butuh Lingard yang mungkin lebih efektif.
Dari Rachel Vennya kita belajar bahwa Liverpool sudah salah beli pemain. Seharusnya, mereka tidak perlu membeli Thiago Alcantara. Pemain yang lebih legendaris dan sepantasnya dibeli adalah Jesse Lingard, wonderkid abadi Manchester United.
Dari Rachel Vennya kita belajar bahwa, pembelian Thiago Alcantara tidak cocok dengan cara bermain Liverpool selama ini. Cara bermain yang mengantarkan The Reds menjadi juara Liga Champions, sekaligus memutus puasa gelar Liga Inggris yang sudah bertahan selama ribuan tahun.
Memang, perubahan sempat terasa di cara bermain Liverpool. Musim lalu, The Reds berubah menjadi tim yang lebih berani menguasai bola. Berubah dari sebuah tim yang hampir selalu bermain dengan intensitas tinggi, menjadi tim yang lebih berani menahan bola dan mengontrol irama.
Ini mungkin dugaan saya saja. Perubahan tersebut membuat Jurgen Klopp merasa dengan membeli Thiago, Liverpool akan menjadi tim yang lebih “dominan” lagi. Atau, mungkin, lantaran Thiago tersedia di bursa transfer, sungguh sayang jika The Reds tidak membeli pemain berkaliber dunia itu.
Sayangnya, dari Rachel Vennya kita belajar bahwa “yang terbaik” belum tentu menjadi jodoh. Wah kali ini analoginya lebih mashook.
Sorry to say, usaha Liverpool untuk mendikte irama dan lebih banyak menguasai bola justru menjadi bumerang. Mereka mengubah identitas terbaik demi sebuah status yang sebetulnya tidak mereka butuhkan. Mirip pepatah di negeri nrimo ing pandum, bahwa wong Jowo ilang Jawane.
Liverpool kehilangan daya ledak yang membuat lini depan mereka menjadi mengerikan. Sulit ditebak lawan dan lebih mudah menciptakan peluang. The Reds seperti tidak belajar dari Rachel Vennya, ah maaf, dari Arsenal bahwa menang penguasaan bola tidak sama dengan memenangkan pertandingan.
Bukti terbaru tersaji ketika mereka dipecundangi Brighton dengan skor 0-1. Liverpool menang penguasaan bola, 64 persen berbanding 36 persen. Namun, The Reds kehilangan efektivitasnya. Mereka cuma membuat SATU shots on target, berbanding Brighton yang bikin EMPAT.
Jumlah umpan Liverpool mencapai 695, sementara Brighton membuat 401. Tapi, ngapain menang penguasaan bola dan jumlah umpan jika akhirnya kalah? The Reds seperti manusia yang tidak puas dengan kondisi fisiknya. Mencoba terlihat lebih indah meski harus mengubur identitas dengan pupur palsu.
Oleh sebab itu, dari Rachel Vennya kita belajar bahwa kadang dia yang terbaik tidak terlihat karena tertutup makian selama puluhan tahun. Pada titik tertentu, Liverpool tidak butuh Thiago Alcantara. Mereka lebih butuh Jesse Lingard, wonderkid abadi Manchester United yang kini bermain untuk West Ham United.
David Moyes, pelatih West Ham mengungkapkan bahwa Lingard bisa menjadi “pembeda” di dalam timnya. Sebuah pujian setinggi langit untuk atlet dansa itu setelah membuat dua gol di laga debutnya. Lingard sudah mengenal Liga Inggris dan meski menyakitkan, dia lebih berfungsi ketimbang Thiago.
Lingard bisa menggantikan salah satu dari Sadio Mane atau Mo Salah jika sedang absen. Lingard juga bisa dipaksakan bermain sebagai salah satu gelandang dengan peran lebih menyerang. Jadi, Liverpool tetap bisa bermain eksplosif, bukan cuma ekspansif.
Selepas kalah dari Brighton, Jurgen Klopp mengeluh kalau para pemainnya terlihat tidak segar. Dari Rachel Vennya kita belajar bahwa kepalsuan memang tidak memberikan manfaat. Dia yang “dicintai” memang terlihat indah, tetapi tidak pernah bisa selaras dengan hati.
Kalau identitas sudah hilang, kesegaran macam apa yang bisa diharapkan? Mungkin benar adanya jika Liverpool dianggap tengah merindukan kepemimpinan dan umpan daerah Virgil van Dijk. Namun, bagi saya, belajar dari Rachel Vennya, The Reds merindukan identitasnya. Merindukan yang terbaik, bukan yang paling indah.
BACA JUGA Liverpool Dikalahin Tim Akademi Sendiri, Nggak Tahu Malu Minta Penalti karena Itu Jatahnya Manchester United dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.