MOJOK.CO – Musuh terbesar Arsenal adalah diri sendiri. Momok yang membuat mereka sering melakukan “bunuh diri poin”. Berkaca dari Willian bisa jadi solusi konkret.
Sejauh yang saya amati, semakin tua seseorang, semakin sederhana caranya memandang kehidupan. Misalnya bapak saya. Hari-hari tuanya diisi dengan memancing, memelihara burung, dan merawat tanaman. Hidup semakin sederhana ketika kamu tidak punya masalah.
Berkonflik cuma mendekatkan kita dengan “bunuh diri” kehidupan. Demikian kata beliau. Semakin kecil konflik, semakin bahagia kehidupan.
Saya tahu, hasil amatan di atas tidak mungkin berlaku untuk semua kasus. Namanya juga manusia, pasti punya cara pandang dan ambisi yang berbeda. Nah, tapi, kalau ngomongin “seseorang” yang semakin tua, tapi semakin aneh saja, tentu Arsenal contoh terbaiknya.
Arsenal di bawah asuhan Mikel Arteta mengalami perkembangan yang nyata. Jika dibandingkan dengan paruh akhir pengabdian Unai Emery, misalnya, The Gunners bermain dengan struktur yang lebih konsisten. Ide dasarnya sudah paten, meski eksekusinya yang masih amburadul.
Mikel Arteta juga sudah berjuang untuk memperbaiki performa beberapa pemain. Mulai dari Granit Xhaka, hingga Willian Borges. Baik Xhaka maupun Willian mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Terutama Xhaka yang hampir selalu bermain, sementara Willian lebih produktif di setiap tugas yang dia emban.
Kalau tidak salah hitung, Willian sudah melakukan “bunuh diri nama baik” ketika tidak bermain baik di lebih dari 20 pertandingan. Sebelum lebih produktif, pemain asal Brasil itu cuma bermain baik di laga pembuka musim 2020/2021 melawan Fulham. Setelah itu, Arsenal menjadi korban ghosting Willian.
Performa Willian kala itu setali tiga uang dengan “bunuh diri poin” oleh Arsenal sendiri. Tahukah kamu, di 2021, Arsenal sudah kebobolan 14 gol dengan separuhnya sendiri berasal dari blunder. Sepak bola memang menjadi rumit karena keberadaan lawan. Namun, bagi Arsenal, yang bikin kehidupan jadi rumit adalah diri sendiri. Untuk hal ini, mereka konsisten sekali.
Yang namanya “bunuh diri poin” membuat Arsenal terjebak dalam perdebatan yang tidak perlu. Misalnya, apakah Arteta sudah bekerja dengan baik? Pertanyaan itu muncul karena banyak jurnalis, dan terutama fans, menilai dari hasil akhir saja. Menyusun penilaian berdasarkan kejadian di atas lapangan memang bukan urusan mudah untuk lingkar otak terbatas.
Blunder membuat segala keunggulan menjadi sirna. Unggul agregat dua atau tiga gol pun bukan garansi. Kebiasaan blunder, hingga berkontribusi kepada 50 persen kebobolan, membuat peluang Arsenal untuk kalah menjadi lebih besar. Seakan-akan lawan hanya perlu bersabar menunggu Arsenal “bunuh diri” ketika situasi justru sedang menguntungkan.
Kita bisa mengedepankan masalah mental di sini. Beberapa pemain justru terlihat semakin terburu-buru ketika bermain dari bawah (build from the back). Perasaan takut membuat blunder justru menjerumuskan pemain ke dalam kesalahan yang tak perlu.
Rasa takut itu bahaya sekali. Kekuatannya bisa membuat seorang pesepak bola, yang biasanya sangat jago mengumpan, untuk melakukan kesalahan ketika mengumpan. Rasa takut itu yang saya rasakan ketika melihat Arsenal bermain. Ada rasa enggan menerima bola karena akan memicu “bunuh diri poin” yang sangat merugikan.
Kesalahan adalah bagian dari proses. Tidak ada pesepak bola yang tidak pernah membuat kesalahan. Titik terpenting dari situasi ini adalah respons setelah blunder terjadi. Dan hingga laga melawan Olympiakos, rasa takut itu masih juga terasa. Hingga akhirnya, “bunuh diri” itu terjadi lagi.
Beberapa pemain yang masih takut akan blunder bisa berkaca dari usaha bertahan hidup yang dilakukan Willian. Saya tahu, sampai detik ini, masih banyak fans Arsenal yang heran dengan keputusan Arteta menggunakan Willian. Tahukah kamu, sosok paling kuat adalah mereka yang sudah pernah melewati “neraka” dan memandang kehidupan dengan paradigma baru?
Willian bertahan hidup di tengah cacian fans, termasuk saya sendiri yang pernah mengkritiknya begitu keras. Dia sadar tanggung jawab digaji lebih tinggi ketimbang beberapa pemain itu berat. Perlahan, Willian memberi bukti bahwa dia “bisa”. Dari empat penampilan, dia sudah membuat empat asis.
Performanya memang belum bisa dibilang stabil. Namun, tolong dicatat, Willian sudah mengerjakan tugasnya sebaik mungkin, baik di sepertiga akhir lapangan atau kontribusi bertahan. Progres itu yang akan membantu seseorang menghindar dari “bunuh diri citra” untuk kesekian kalinya.
Terkadang, kekuatan terbesar adalah soal kesadaran. Dari sana akan muncul keyakinan bahwa diri ini bisa mengalahkan semua rintangan. Cara terbaik menghindari “bunuh diri poin” adalah dengan menghadapi rasa takut yang menjadi sumbernya.
Sebagai fans saya hanya bisa berharap para pemain Arsenal menyadari hal itu. Modal kuat untuk maju tetap taktik dan eksekusi para pemain. Di dalamnya ada bagian soal mental dan keberanian menghadapi diri sendiri. Sudah terlalu lama Arsenal tenggelam dalam kesalahan sendiri. Sudah saatnya mereka mentas dan berkembang.
Sekali lagi, usaha untuk maju ditentukan oleh seberapa berani kamu menghadapi masalah. Bukan dengan bersembunyi di balik kesalahan orang lain. Supaya tidak terjadi lagi “bunuh diri poin”, berkaca kepada Willian, berkaca kepada diri sendiri adalah langkah konkret.
BACA JUGA Arsenal yang Menerima Sisi Medioker Perlu Belajar dari Kecerdasan Lukaku dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.