MOJOK.CO – Jika memutar waktu ke belakang, kekejaman Arteta kepada Aubameyang dan pemain Arsenal lainnya selalu ada alasannya.
Aubameyang datang satu jam 30 menit lebih awal dari semua pemain ke London Colney, markas latihan Arsenal. Apakah ini bentuk penyesalan pemain asal Gabon itu? Wujud dari niat untuk memperbaiki diri? Atau, mungkin, dirinya cuma terbangun lebih pagi dan nggak bisa tidur lagi.
Satu hal yang pasti, Mikel Arteta memberi instruksi kepada Aubameyang untuk latihan terpisah dari tim utama. Mantan kapten Arsenal itu “diasingkan” dari teman-temannya di lapangan latihan. Konon, dia masih akan berlatih terpisah sampai tiba saatnya Piala Afrika.
Seiring kabar tersebut, muncul rumor bahwa Arteta ingin manajemen Arsenal segera menjual Aubameyang. Banyak yang berspekulasi tentang masalah ini. Beberapa membela keputusan Arteta untuk tegas kepada siapa saja. namun, sebagian lain menganggap dirinya seorang diktator, tangan besi, dan lain sebagainya. Benarkah demikian?
Pencopotan ban kapten dari lengan Aubameyang bukan peristiwa tunggal. Maksudnya, ada banyak peristiwa yang menjadi unsur intrinsik pencopotan ban kapten itu. Salah satu yang bisa kita amati adalah performa si pemain di atas lapangan.
Bagi saya, striker yang menjadi seorang kapten itu punya tugas yang sangat berat. Kalau tidak mencetak gol, dia akan dianggap striker jelek. Sudah begitu, diragukan pula kekuatan mentalnya untuk mengemban amanah sebagai kapten. Hantaman kepada mental datang dari dua sisi.
Celakanya, Aubameyang sendiri tidak pernah diproyeksikan sebagai kapten. Dia menjadi kapten Arsenal karena “kecelakaan” ketika ban kapten Granit Xhaka dicopot oleh Unai Emery. Pola yang sama terjadi di sini.
Baik Aubameyang maupun Granit Xhaka mulai dikecam ketika bermain buruk selama beberapa minggu. Pada titik ini, baik Emery maupun Arteta, seharusnya memberi mereka istirahat untuk mengembalikan konsentrasi dan mengikis kejenuhan. Namun, keduanya terus dipaksa bermain karena “status kapten Arsenal”.
Hingga akhirnya gelembung itu meledak. Granit Xhaka ngamuk ketika diganti di tengah laga. Dia membanting jersi dan ban kapten. Sementara itu, Aubameyang diasingkan. Dia tidak bermain di laga Arsenal vs West Ham dan tidak diizinkan berlatih bersama rekan-rekannya.
Satu hal menarik terjadi setelah Granit Xhaka tidak lagi menjadi kapten. Dia malah bermain lebih stabil. Seperti tidak ada beban berlebihan di atas pundaknya. Apakah Aubameyang akan melewati siklus yang sama? Saya tidak tahu karena saat ini, Arsenal dilatih Mikel Arteta yang sebetulnya siap berkompromi, tapi siap untuk tegas, bahkan kejam.
Dilansir The Athletic, Arteta itu sebetulnya sudah beberapa kali melanggar aturan yang dia buat sendiri demi Aubameyang. Sikap ini, mungkin, didasari oleh betapa pentingnya posisi Auba, baik di atas lapangan sebagai goal getter dan kedetakannya dengan pemain-pemain muda.
Jika seorang pelatih sampai berani melanggar aturan yang dia buat sendiri untuk satu pemain, artinya tingkat kepercayaan yang ada sangat tinggi. Namun, pada akhirnya, Aubameyang sendiri yang mematahkan kepercayaan itu dengan berbagai pelanggaran, plus performa yang mengkhawatirkan.
Oleh sebab itu, di titik ini, saya justru mendukung Arteta menjadi “diktator” bagi Arsenal. Kapten adalah cermin sebuah klub. Baik soal caranya bertarung di atas lapangan, maupun bersikap sehari-hari. Manners maketh man.
Kekejaman Arteta itu dijawab oleh skuat Arsenal ketika melawan West Ham. Lacazette bisa mengemban amanah sebagai kapten dengan baik. Begitu juga Xhaka yang kembali menyandang ban kapten setelah Lacazette diganti di babak kedua.
Jika memutar waktu ke belakang, kekejaman Arteta selalu ada alasannya. Misalnya kepada Mustafi dan Bellerin. Ingat, kedua pemain ini sempat akan ditawari kontrak baru. Namun, keduanya gagal memberi manajemen sebuah alasan bahwa mereka layak mendapat kontrak baru.
Saliba? Dia dipinjamkan supaya mendapatkan menit bermain. Pepe? Sudah betul dia dicadangkan karena performa buruk ditambah konsistensi Saka dan Smith Rowe. Pembaca juga harus ingat bahwa Odegaard pun sempat dicadangkan ketika gagal memperbaiki performanya. Sementara itu, Martinelli selalu dipercaya ketika standar performanya meningkat.
Pelatih sepak bola itu mengurusi manusia. Insan yang punya hasrat. Terkadang, dia harus berkompromi seperti bapak kepada anaknya. Terkadang, harus kejam demi kekuatan tim itu sendiri. Saya rasa, Arteta sudah siap dengan itu semua.
Pada akhirnya, pemain akan selalu datang dan pergi, tapi klub abadi. Pandangan itu tidak akan berubah selamanya. Jika pemain gagal mengemban amanah dan menjaga kepercayaan, maka tidak ada tempat baginya di tim.
Arsenal akan terus melaju, baik dengan atau tanpa Aubameyang.
BACA JUGA Pak Arteta, Skuat Arsenal Dibuldozer Saja dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.