MOJOK.CO – Arsenal, yang katanya calon degradasi itu kini cuma berjarak dua poin saja dari Chelsea, yang katanya calon juara. Lucu banget, sih.
Senin (18/1), kebetulan saya jajan bakso bersama Ega Fansuri, Aditya Rizky, dan Dony Iswara. Kebetulan juga, Ega adalah fans Chelsea. Salah satu alasannya mendukung Chelsea adalah karena ada gambar singa di emblem klub. Sayang, kini, singa Chelsea tengah menangis sendu.
Setelah selesai makan dan sambil menikmati sebatang rokok, Ega berkeluh kesah. Chelsea memang menang dari Fulham dengan skor 1-0. Namun, cara bermainnya sangat buruk. Bahkan dia mengaku heran The Blues bisa menang. Saya, sebagai fans Arsenal, cuma bisa mendengarkan.
Namun, setelah Chelsea akhirnya kalah dari Leicester City dengan skor 0-2, saya, sebagai fans Arsenal teringat dengan sebuah “ledekan”. Ketika Arsenal tengah terpuruk, sekarang masih sih, fans Chelsea dengan sangat kreatif membuat ledekan. Bunyinya begini:
“Arsenal yang bagus cuma di pertandingan pertama Liga Inggris adalah calon degradasi musim ini. Sementara itu, Chelsea dengan Lampard sebagai pelatih, adalah calon juara, yang sebelumnya diremehkan karena membeli banyak pemain mahal.”
Well, kehidupan ini memang penuh misteri. Kini, setelah 19 pertandingan berjalan, Arsenal sang calon degradasi, cuma berjarak dua poin dari Chelsea, sang calon juara. Kadang, karma datang dengan cepat, kadang agak lambat, membuat orang sudah kadung jemawa duluan.
Tahukah kamu, jika Arsenal mampu mengalahkan Southampton sementara Chelsea kalah dari Wolves, posisi di klasemen akan terbalik. Jika itu yang terjadi, si calon degradasi akan berada di atas si calon juara. Wah, bisa kamu bayangkan betapa meriahnya timeline media sosial.
Kembali ke curhatnya Ega di warung bakso. Menurut Ega, kalau dari cara bermainnya saja “sudah tidak jelas”, kemenangan itu sudah mustahil untuk diraih. Secara spesifik, Ega menyorot ke kemampuan Chelsea membuat peluang dan bertahan.
Ketika kalah dari Leicester, Chelsea memegang hampir 65 persen penguasaan bola. Namun, sepak bola bukan urusan klub mana yang lebih banyak menguasai bola. Sepak bola ditentukan oleh fans mana yang paling betah tubir di medsos. Gol itu apa.
Ketidakmampuan itu, kini, memaksa Chelsea terjun bebas ke posisi delapan. Narasinya bukan lagi kapan The Blues mengejar tim empat besar, tetapi bagaimana mereka bersaing dengan Arsenal di papan tengah. Tentu saja dalam sebuah perlombaan siapa yang paling layak menjadi pecundang dan medioker di Liga Inggris. Lha wong sama-sama lagi jelek.
Tapi setidaknya fans Chelsea bisa sedikit bernafas lega. Pasalnya, meski terlihat sangat payah, bahkan mengkritik pemainnya secara langsung, posisi Lampard tetap aman lestari. Secara spesifik, posisi Lampard aman dari serangan-serangan absurd koran dan tabloid gosip sepak bola di Inggris.
Bayangkan kalau Jose Mourinho yang ada di posisi Lampard. Pasti sudah “dirujak” oleh media-media pendulang klik dari sebuah kontroversi, misalnya media yang namanya mojok dot co. Salah satu privilege Lampard adalah karena dia orang Inggris asli.
Musim lalu, Roy Keane sempat terlihat kesal karena banyak media yang cuma asyik menyerang Ole Gunnar Solskjaer. Guru olahraga yang kini, untuk sementara naik jabatan menjadi kepala sekolah Manchester United, pernah jadi bulan-bulanan media karena United main jelek selama beberapa minggu. Namun, Lampard, yang kalah delapan kali, aman dari serangan.
Serangan yang sama terjadi kepada Mikel Arteta ketika Arsenal cuma berjarak beberapa sentimeter dari jurang degradasi. Media-media di Inggris lalu membandingkan Arteta dengan Lampard. Sama-sama berstatus legenda, eh beda nasib (dan kualitasnya). Sukanya begitu, padahal tidak ada laki-laki di dunia ini yang suka dibanding-bandingkan. Ya, kan?
Kini, Arsenal dan Chelsea cuma berjarak dua poin. Bukan tidak mungkin, dalam waktu satu minggu ke depan, kedua klub ini sudah bertukar posisi.
Beberapa waktu yang lalu, sebelum laga Roma vs Inter, saya pernah menegaskan bahwa kompetisi pandemi ini sangat sulit diprediksi. Dalam waktu satu bulan saja, posisi klub bisa sangat kontras dengan prediksi yang dibuat.
Namun, kalau usaha Chelsea adalah hanya untuk mencegah Manchester United memuncaki klasemen Liga Inggris, bisa dibilang mereka berhasil. Dengan kalah dan menjadi medioker bersama Arsenal, United tak lagi memuncaki klasemen. Kini, Leicester yang duduk di puncak. Bravo, Chelsea.
Apakah Lampard akan dipecat? Kemungkinannya memang besar. Namun, melihat “kultur” yang konon sedang mereka bangun, memecat seseorang yang paham Chelsea luar dan dalam adalah tindakan gegabah.
Memberi waktu untuk Lampard adalah langkah bijak. Yah, setidaknya sampai Arsenal si calon degradasi berhasil menyalip Chelsea si calon juara di klasemen sementara Liga Inggris. Biar makin meriah itu timeline media sosial dengan ledekan dan tangis kecewa fans Singa Mewek.
BACA JUGA Frank Lampard, Legenda Murah, yang Cuma Menjadi Pelarian Chelsea dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.