MOJOK.CO – Bagi AC Milan, Chelsea, dan Mourinho yang sudah menemukan keseimbangan, tugas terakhir adalah mengejar stability. Banyak klub gagal melaju hingga panggung juara karena gagal mencari stabilitas.
Musim ini, aura yang tertebar terasa berbeda. Banyak tim besar berada dalam persimpangan jalan. Misi yang dikejar, rata-rata sama, yaitu usaha untuk mengejar keseimbangan. Gagal mendapatkan pijakan akan keseimbangan, musim ini, sebuah klub bisa kalah dengan mudah.
Mungkin, bagi beberapa klub, musim ini juga bisa disebut sebagai musim kebangkitan. Setelah sebelumnya berjuang sangat keras ketika berada dalam persimpangan jalan. Ketika sebuah klub berada dalam titik di mana mereka bisa hancur dengan mudah atau sukses setelah menemukan pijakan yang tepat.
Tiga klub yang merasuk dalam pikiran saya adalah AC Milan, Chelsea, dan Tottenham Hotspur bersama Jose Mourinho. Untuk Spurs, saya tekankan kepada keberhasilan Mourinho lepas dari banyak masalah. Dia yang disebut “pelatih dinosaurus” malah seperti “mengajari” banyak pelatih muda “cara dewasa” menyelesaikan masalah.
Yah, pada titik yang sama, pujian juga perlu dialamatkan kepada Stefano Pioli dan Frank Lampard bersama AC Milan dan Chelsea. Pioli sudah menemukan keseimbangan itu sejak akhir musim lalu. Sementara itu, Lampard memberi bukti bahwa kecerdasannya membuahkan hasil, yang bisa dibilang, manis.
AC Milan, Chelsea, dan Spurs bersama Mourinho sudah menemukan core dalam ide yang ingin diterapkan. Kini, mereka tinggal mengejar stability untuk menjadi mesin perang ideal. Menjadi klub yang bisa disebut sebagai penantang di Serie A Italia maupun Liga Inggris.
Harga keseimbangan melambung tinggi
Ketika mengalahkan Fiorentina, AC Milan bermain tanpa Zlatan Ibrahimovic karena cedera. Absennya Zlatan memberi beban yang sesungguhnya tidak ringan. Keberadaan Zlatan tidak hanya menghadirkan aura akan mental pemenang, tetapi juga bermakna penting bagi cara bermain.
AC Milan tidak mengatasi absennya Zlatan dengan cara paling mudah: mengganti pemain A dengan pemain B. Di sini, tidak hanya kedalam skuat yang diuji, tetapi juga manajemen pemain dari Pioli, yang masih digantikan Daniele Bonera karena tengah dirawat setelah positif Covid-19.
Pioli memastikan core dari idenya tetap berjalan ketika pemain penting absen atau ketika situasi pertandingan mengarah menjadi tidak menguntungkan. Rentetan 20 laga tak pernah kalah di Serie A tidak terjadi karena sumbangsih per individu saja. Keseimbangan skuat dan mental state pemain sudah sangat paten.
Jika AC Milan menemukan keseimbangan, pertama-tama lewat kolektivitas kemudian menularkannya ke individu, sedikit berbeda dengan Chelsea dan Spurs-nya Mourinho. Lampard dan Mourinho, pertama-tama, memperbaiki core skuat, yang mana artinya membeli pemain atau “meremajakan” performa, untuk kemudian menularkannya ke kolektivitas tim.
Chelsea dan Spurs membeli pemain dengan sangat baik. Keduanya memperbaiki lini-lini bermasalah, salah satunya pos bek sayap. Chelsea membeli Ben Chilwell yang lebih bisa memberi rasa aman dibanding Marcos Alonso. Begitu juga pos kiper, di mana Lampard mengejar Edouard Mendy menggantikan Kepa. Di pos bek tengah, Thiago Silva menawarkan pengalaman dan mental pemenang.
Sementara itu, ada alasan kuat ketika Mourinho menambah Reguilon dan Matt Doherty, masing-masing untuk mengisi pos bek sayap kiri dan kanan. Dua bek sayap Spurs bisa dibilang tidak pernah stabil selama lima tahun terakhir. Padahal, untuk cara bermain Mourinho, keberadaan dua bek sayap yang kuat ketika bertahan sekaligus agresif saat naik menyerang, sangat penting.
Untuk lini tengah, Mourinho menunjukkan ciri khasnya dengan membeli gelandang dengan spesifikasi yang spesifik; pandai mengalirkan bola, keseimbangan antara bertahan dan menyerang, tidak lari dari pertarungan fisik di lapangan tengah, dan berani melakukan “hal-hal kotor” dari seorang gelandang sentral. Mourinho menemukan semua aspek itu di dalam diri Pierre-Emile Hojbjerg.
Salah satu kedewasaan Lampard adalah mau mengoreksi diri ketika dirinya salah. Hal ini terlihat dari perubahan posisi N’Golo Kante. Musim lalu, Kante bermain lebih ke depan, bukan lagi gelandang bertahan dalam skema 4-3-3 atau 4-2-3-1. Kecenderungannya untuk maju ke kotak penalti masih terlihat di awal-awal musim ini.
Lampard menyadari bahwa kebijakannya tidak berbuah manis untuk Chelsea. Pertama-tama, dia mengembalikan Kante ke posisi dan peran paling ideal, yaitu sebagai “basis”, sebagai gelandang bertahan, dengan tugas yang sederhana. Selama lima tahun terakhir, Kante adalah salah satu gelandang bertahan terbaik di Liga Inggris. Tugasnya adalah merebut bola, menutup ruang yang ditinggalkan bek sayap, dan mendistribusikan bola ke pemain lain. Terlihat sederhana, tetapi kompleks.
Kedua, Chelsea berhasil menjadi contoh keberhasilan perpaduan pemain lama dengan pemain baru. Ini tidak mudah dilakukan mengingat pemain baru yang masuk cukup banyak. Mengikat banyak ego menjadi satu simpul yang sama bukan pekerjaan yang mudah, tetapi Lampard berhasil melakukannya.
Hal yang sedikit berbeda terjadi di AC Milan. Pioli berhasil menanamkan kesadaran bahwa kolektivitas adalah segalanya. Kesadaran yang berhasil menarik keluar potensi pemain yang sebelumnya dianggap “biasa saja”.
Ada beberapa pemain AC Milan yang menemukan harapan lagi setelah ikut dalam arus Pioli. Dimulai dari Simon Kjaer, bek tengah yang terbilang biasa saja bersama Atalanta. Diogo Dalot yang jarang mendapat kesempatan bersama Manchester United, menjadi tambahan yang bagus untuk AC Milan.
AC Milan juga memetik buah yang manis dari keberhasilan Pioli membantu proses adaptasi Alexis Saelemaekers. Pemain muda dari Belgia ini tampil sangat stabil sejak paruh akhir musim lalu. Tidak mudah bagi pemain muda untuk bisa langsung menemukan kestabilan ketika bergabung bersama tim besar.
Masalah itu terlihat dalam diri Sandro Tonali. Sempat kesulitan menemukan “pijakan” yang pas, kini Tonali sudah diintegrasikan ke dalam kolektivitas AC Milan. Pioli membantu pemainnya untuk berkembang. Bisa dibilang, manajemen pemain Pioli sangat bagus. Dari performa individu yang mulai stabil, AC Milan menemukan keseimbangannya.
Terakhir, kita tahu kalau terkadang Mourinho adalah pelatih yang bisa ditebak. Ketika melawan tim yang seimbang atau lebih kuat, Mourinho menjadi konservatif. Dia dengan mudah menanggalkan dominasi demi keseimbangan. Ketika berhadapan dengan tim yang lebih lemah, Spurs akan bermain tanpa ampun.
Cara bermain yang sudah ditebak lawan pasti sangat merugikan. Namun, bagaimana jika cara bermain boleh sederhana, tetapi bisa dieksekusi dengan baik sampai-sampai yang monoton itu jadi senjata berbahaya? Pada titik tertentu, ceritanya akan berbeda dan sudah terlihat musim ini.
Musim ini, narasinya adalah perlombaan mengejar keseimbangan. Bagi AC Milan, Chelsea, dan Mourinho yang sudah menemukan keseimbangan, tugas terakhir adalah mengejar stability. Banyak klub gagal melaju hingga panggung juara karena gagal mencari stabilitas.
Seimbang boleh, tapi kalau hanya untuk sesaat, semuanya akan kehilangan arti. Sama seperti mencintai, kalau tidak ada kesetiaan, kesabaran, dan kedewasaan, rasa itu berubah menjadi kebencian dan kehancuran tinggal menunggu waktu saja.
BACA JUGA AC Milan dan Liverpool: Kematangan Ibrahimovic dan Diogo Jota, il Personaggio Principale Menghancurkan Keterbatasan dan tulisan-tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.