Agar cara pandang Anda mengenai hijab bisa lebih bernuansa, rileks, dan tidak hitam-putih, ada baiknya meletakkan hijab dalam perspektif yang lebih luas. Titik berangkatnya bisa dari kerangka yang digariskan dalam ushulul-fiqh (filsafat hukum Islam) untuk kemudian dikembangkan. Berikut saya coba uraikan dengan bahasa yang semoga mudah dipahami, meski tak mudah untuk menghindar dari istilah-istilah teknis. Saya mulai dari kerangkanya dulu.
Hukum fikih bisa dengan sederhana dibagi dua.
Satu, hukum yang tidak ada alasan rasionalnya (ta’abbudiy).
Dua, hukum yang ada alasan rasionalnya (ma’qulatul-ma’na).
Istilah teknisnya bisa beda-beda dalam literatur ushulul-fiqh, tapi intinya sama. Istilah teknis untuk alasan rasional yang menjadi pijakan suatu hukum ialah ‘illah (istilah kerennya: ratio legis).
Secara umum, hukum fikih untuk hal-hal yang murni ritual (ibadah mahdhah) bersifat ta’abbudiy, tidak punya alasan rasional. Tidak ada alasan rasional mengapa wudu batal karena kentut dan yang dibasuh malah bukan pantat. Juga tidak ada alasan rasional mengapa setelah “begituan” seorang muslim wajib mandi junub baru kemudian diperbolehkan salat. Hal semacam ini bukan khas Islam. Sepanjang menyangkut ritual, agama-agama lain secara umum tidak memberikan alasan rasional.
Adapun hukum fikih untuk hal-hal yang berkenaan dengan interaksi sosial (mu’amalah) dan non-ritual, secara umum bersifat ma’qulatul-ma’na, punya dasar rasional. Riba dalam transaksi ekonomi haram karena merugikan satu pihak. Khamr haram karena memabukkan. Hal-hal yang membahayakan (istilah kerennya: melanggar harm principle), seperti membunuh, mencuri, dsb, pada dasarnya adalah haram.
Apa pentingnya pembagian hukum ini? Pembagian ini berfungsi untuk menengarai mana hukum yang punya alasan rasional sehingga ia bisa (1) menjadi bahan analogi atau qiyas dan (2) bisa diikutkan dalam kaidah fikih yang berbunyi “hukum bergantung pada ‘illah dan ketika ‘illah-nya hilang maka hilang pula hukumnya”.
Cuma, contoh-contoh ternukil di atas adalah contoh-contoh yang mudah dan tidak kontroversial. Ada contoh-contoh kasus yang berada dalam kawasan abu-abu, yang tidak mudah ditentukan masuk dalam kategori hukum hukum fikih yang mana. Di kawasan inilah terjadi perdebatan, kadang sampai sesat-menyesatkan, dan telah membuat umat Islam jadi berkubu-kubu.
Segala aliran pemikiran dan mazhab Islam secara sederhana dapat ditaruh dalam spektrum berdasar pada pembagian itu: antara yang ekstrem tekstual (yang tidak ingin mempertanyakan dasar rasional hukum) dan yang ekstrem rasional (yang tidak puas kalau sebuah hukum tidak diberi pijakan rasional).
Di antara contoh persoalan dalam kawasan abu-abu—contoh yang ringan: apakah barang yang dipakai untuk membayar zakat fitrah bisa dirasionalisasi sehingga bisa diganti dengan uang (dengan alasan: uang bisa dipakai untuk membeli hal lain yang lebih sesuai kebutuhan karena si penerima zakat tidak butuh makanan pokok)?
Contoh sedang: apakah najis karena jilatan anjing bisa disucikan dengan sabun dan bukan dengan tujuh basuhan yang salah satunya pakai debu seperti dinyatakan dalam hadis (dengan alasan: yang penting bersih)?
Contoh yang berat: kasus hijab. Berat karena orang yang ingin menawar hukum hijab harus siap mental menghadapi cercaan dari sebagian orang Islam yang mudah naik pitam. Figur sebesar Pak Quraish Shihab saja tidak lepas dari dampaknya, apalagi kalau orangnya cuma seperti saya, yang hanya sebutir debu dibelah tujuh.
Susah untuk menolak bahwa yang mendominasi wacana keislaman, paling tidak kini, ialah yang condong pada kubu tekstual, sekurangnya-kurangnya di level wacana. Di level wacana karena kenyataan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Islam tidaklah sesederhana yang diwacanakan. (Di kalangan yang ekstrem tekstual tampaknya ada semacam kepercayaan tak tertulis: semakin tekstual seseorang, semakin Islam dirinya.)
Di Al-Quran ada ketentuan hukum potong tangan untuk pencuri dan seratus cambukan untuk pezina, dan ketentuan hukum ini dinyatakan secara eksplisit (lebih eksplisit dari ayat tentang hijab). Tapi, mayoritas negara mayoritas Muslim hari ini tidak menerapkannya.
Dalam perkara hijab, wacananya bisa saja ketat: selain harus menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, hijabnya harus lebar, menutupi dada, tidak menonjolkan lekuk tubuh, dan seterusnya. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, para muslimah (bahkan mungkin mayoritas muslimah) melakukan “negosiasi”. Anda tahu, pakaian juga merupakan soal penampilan, fesyen, selera, dan mungkin juga kecenderungan pemakainya sendiri yang hendak bersolek dan ingin terlihat cantik. Kemunculan fenomena jilboobs adalah hasil dari “negosiasi” itu.
Lebih penting dari itu, hingga tataran tertentu hijab juga terkait dengan “diskursus” yang bersifat relatif terhadap konteks zamannya. Contohnya, Anda tahu, dulu ibu-ibu di Muslimat NU, juga para istri kiai, tidak memakai kerudung yang dalam standar wacana kontemporer bisa disebut “hijab syar’i”, karena sebagian rambut dan leher masih tampak.
Ini bukan khas Indonesia saja. Beberapa hari lalu saya bikin status di FB dan menunjukkan bahwa Durrusehvar Sultan, putri dari khalifah Utsmani terakhir, Abdulmecid II, tidak berhijab. Para mahasiswi yang masuk jurusan Dirasah Islamiyyah di Kulliyyatul-Banat Al-Azhar, Mesir, pada tahun 1950-an juga tak berhijab. Pada kisaran tahun ini pula, putri dari pemimpin tertinggi (Mursyid ‘Aam) Jama’ah al-Ikhwan al-Muslimin tidak berhijab—sebagaimana diceritakan presiden Mesir waktu itu, Gamal Abdel Nasser.
Istilah yang dipakai Presiden Nasser pada waktu itu pun bukan “hijab”, melainkan “tharhah”, yang berarti selendang/kerudung. Saya duga keras yang terjadi di Mesir itu mirip belaka dengan di sini. Ada evolusi nama: dari sekadar “kerudung”, lalu “jilbab”, kemudian “hijab”, dan belakangan menjadi “hijab syar’i”.
Dengan perspektif tentang diskursus, di antara hal yang dapat diambil dari fenomena ini ialah: pra-1980, hijab belum menjadi bagian dari wacana dominan, wacana yang turut mengonstruksi “identitas keislaman” dalam pengertiannya yang kaku, sebagaimana terjadi kini.
Di antara dampak konstruksi identitas keislaman yang demikian ialah hijab menjadi standar (bahkan standar urutan pertama) untuk menilai seorang muslimah: kalau tak pakai hijab, berarti “kurang Islam”. Dampak sampingannya merembes dalam gombalan para cowok: “Kamu makin cantik deh kalau pakai hijab”—yang menyiratkan makna bahwa memakai hijab adalah ciri muslimah yang “patuh”, yang potensial untuk menjadi istri yang berbakti pada suaminya.
Jadi, masuk ke pertanyaan kuncinya: apakah hukum hijab termasuk yang ta’abbudiy alias tidak punya alasan rasional, atau yang ma’qulatul-ma’na alias bisa dirasionalisasi?
Paling tidak dua pertanyaan bisa menjadi pintu pembuka. Kalau hijab berfungsi untuk meredam syahwat lelaki ketika melihat perempuan, mengapa, pertama, sebagaimana diterangkan dalam literatur fikih, aurat budak perempuan adalah sama dengan laki-laki (dari pusar sampai lutut; atau dengan kata lain, payudaranya tidak termasuk aurat)? Apakah budak perempuan tidak membangkitkan syahwat? Maksud implisit dari pertanyaan ini: jangan-jangan pada mulanya hijab berfungsi sebagai pembeda status sosial antara perempuan merdeka dan budak.
Kedua, mengapa rambut perempuan dianggap aurat? (Aurat [‘awrah], sebagaimana pengertian leksikalnya, ialah sesuatu yang tak pantas diperlihatkan [ma yastaqbihu an-nazharu ilayhi ]). Masak lihat rambut saja dapat membangkitkan libido? Bukankah jika dibandingkan dengan rambut, wajah jauh lebih menarik? Bukankah kalau dari sononya sudah cantik, pakai hijab atau tidak pun tetap menarik? Kalau begitu, mengapa wajah tak masuk aurat?
Pertanyaan-pertanyaan ini, Anda perlu tahu, adalah pertanyaan yang bisa bikin sebagian orang Islam marah. Sekadar tanya saja bisa dianggap kurang ajar.
Kalau Antum tidak mau capek ribut, ya sudah, tidak usah bertanya. Ikuti saja pandangan bahwa hijab bukan termasuk hukum yang bisa dirasionalkan, lalu cukup laksanakan ungkapan “kami dengar, kami taati”. Insya Allah, dengan demikian, Antum “aman”.