MOJOK.CO – Editan foto jadi lebih cantik kayak Evi Apita, diprotes. Tapi kalau foto jadi tua pakai FaceApp, kok nggak? Padahal kan, sama-sama editan.
Akhir-akhir ini ramai orang-orang membagikan hasil foto tuanya melalui aplikasi FaceApp. Entah karena penasaran ataupun merasa khawatir terhadap wajah tuanya. Yang pasti, aplikasi ini ternyata dianggap cukup menghibur karena bisa menampilkan prediksi wajah kita saat tua nanti.
Bukannya merasa sedih melihat wajah tuanya, justru banyak yang merasa bangga hingga akhirnya memamerkannya pada orang lain. Bahkan sampai muncul #AgeChallenge, untuk mengajak orang-orang berani menunjukkan wajahnya yang sudah penuh keriput itu.
Ngomong-ngomong soal foto editan, saya jadi teringat sama kasusnya anggota DPD dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB), Evi Apita Maya. Jangan-jangan, FaceApp hadir sebagai bentuk protes terhadap orang-orang semacam penggugatnya Evi Apita?
Begini, dalam kasus Evi Apita ini, beliau dituntut oleh pesaingnya, Farouk Muhammad. Kemenangan Evi Apita dituding karena beliau mengedit fotonya di surat suara secara berlebihan. Sehingga, editan foto tersebut dianggap sebagai penipuan untuk masyarakat. Bagi Farouk, menggunakan foto hasil editan yang “mengubah identitas diri” termasuk pelanggaran administrasi.
Karena nggak terima, akhirnya Farouk pun menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nusa Tenggara Barat (NTB) ke Mahkamah Konsistusi (MK). Lantaran, KPU telah meloloskan foto Evi Apita yang dianggap telah diedit berlebihan.
Tapi, bukankah menjadi sesuatu yang wajar ya, kalau banyak perempuan pengin selalu terlihat cantik? Ya, nggak perempuan aja, sih. Para lelaki juga pasti ada, kan? Seperti terlihat mulus, glowing, dan muda tanpa kerutan. Kok ya, hal-hal semacam ini malah dipermasalahkan, sih? Ini Pak Farouk nggak paham “kebutuhan” perempuan, atau bagaimana, yak?
Lagian, memangnya kalau pengin menuntut, pembuktian kemenangannya Bu Evi karena editan foto itu kayak gimana? Gimana caranya bisa betul-betul mendapatkan bukti, kalau orang-orang yang memilih Bu Evi itu tertipu dengan muka beliau di surat suara yang hasil editan Photoshop? Gimana, kalau sebetulnya beliau ini dipilih karena kualitas personalnya?
Maksudnya gini, apa betul kemenangan seseorang untuk menjadi wakil rakyat itu hanya berdasarkan fisik saja—tanpa sumbangsih gagasan di dalamnya? Kalau memang kayak gitu, terus kenapa Manohara Odelia, Nafa Urbach, atau Venna Melinda, nggak lolos jadi DPR? Harusnya, kalau memang fisik berpengaruh besar, mereka lolos, dong? Apalagi bonus punya popularitas lagi~
Hadeeeh, memang gini ya masyarakat kita. Kalau ada foto editan yang menampilkan diri kita menjadi lebih tampak cantik atau ganteng, langsung aja di-judge dengan nada sungguh menyindir kalau itu adalah: FOTO EDITAN. Hal ini jadi berbeda kalau foto yang bikin diri kita jadi tampak lebih jelek, tua, dan penuh kerutan, kayak pakai FaceApp. Meski jelas-jelas kalau foto tersebut merupakan hasil editan, nggak ada tuh komentar dengan nada merendahkan kalau foto itu editan.
Padahal, bukankah keduanya sama-sama editan, ya? Lantas, kenapa harus direspons dengan cara yang berbeda? Hadeeeh. Aneh banget.
Mungkin karena para pembuat aplikasi yang bikin orang difoto lebih terlihat cantik dan ganteng ini capek ngadepin orang-orang kayak Pak Farouk, dibikinlah FaceApp. Yang sama-sama bisa ngedit foto, tapi menampilkan kesan wajah yang berbeda, alias kebalikannya.
Dan akhirnya, dengan #AgeChallege, dimunculkan keberanian menampilkan wajah penuh kerutan hingga bikin kebanggan tersendiri. Pasalnya, semula orang hanya berani untuk menampilkan citra terbaik dirinya. Nggak sedikit yang kemudian pakai filter macem-macem, supaya muka makin ciamik. Dan itu sebetulnya nggak ada masalah. Lha wong muka-muka dia.
Tapi ternyata mengedit foto supaya terlihat “menarik”, seringnya malah bikin mangkel dengan tanggapan orang-orang yang sebelah mata. Dikatain cuma editanlah! Kebanyakan filter-lah! Padahal kan, nggak semua editan itu bakal ngubah bentuk asli dari wajah seseorang. Ada juga yang cuma memperhalus doang.
Mungkin, karena hal-hal semacam inilah akhirnya kerupawanan wajah seseorang tidak lagi menjadi tendensi. Mending tampilin wajah yang jelek aja sekalian, biar mulut-mulut julid mereka pada diem. Biar nggak perlu lagi muncul kecemburuan, iri, dan dengki atas wajah orang lain yang tampak lebih “proposional”.
Btw, saya masih nggak paham ada orang yang marah-marah sampai menggugat soal editan foto seseorang. Soalnya, selama ini setiap makan Indomie saya nggak pernah menggugat Indofood, loh. Meski jelas-jelas di situ, gambar Indomie di bungkus dan aslinya tidak pernah bisa sama~