MOJOK.CO – Apa yang bisa kamu lakukan ketika di belakang ada 3 pocong mengintai sementara di depan kuntilanak sudah menunggu? Bayangin kengeriannya.
“Ctak….” Bunyi rantai motor yang saya tumpangi bersama kawan putus di pedalaman hutan Sulawesi Tenggara. Saat itu saya sedang dalam perjalanan pulang ke desa penempatan kerja dari ibu kota provinsi. Perjalanan itu harus menembus hutan Sulawesi yang sepi dan bodohnya kami melakukannya saat malam hari.
“Kampret,” umpat kawan saya yang bernama Brian, orang Batak yang tinggal di Jakarta. Teman saya ini adalah kawan satu lokasi penempatan di sebuah desa di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
“Mati kita Bray rantai putus di tempat yang diceritakan kak Erin.”
Rantai motor kendaraan kami putus saat melewati jalan menanjak yang panjangnya sampai tiga ratus meter. Lokasi yang menurut orang-orang lokal adalah tempat keramat karena selain sering terjadi kecelakaan dan penampakan pocong dan kuntilanak.
Ada aturan yang harus dipatuhi pengendara jika lewat jalan ini. Kak Erin bercerita, jika lewat jalan ini kita harus membuka jendela mobil, jika tidak cukup berani maka diperbolehkan mengetuk jendela saja sebagai tanda “permisi”.
“Bagaimana jika naik motor?” Saya sempat menanyakan ini kepada Kak Erin.
“Kalau berani jalan malam-malam, sebaiknya mengucap tabe inggmiu mbu laika roroma, ketika lewat tanjakan itu.”
“Itu bahasa Tolaki?”
“Iya”
“Artinya?”
“Permisi tuan pemilik hutan rimbun.”
Saat itu saya memang tidak mengucap kalimat permisi. Saya tidak terlalu menggubris hal-hal mistis. Beda dengan Brian yang percaya. Sayang, malam itu, dia juga lupa mengucapkannya. Saya sendiri lebih percaya kepada hal yang bersifat teknikal. Saya yakin gir dan ratainya sudah tua dan aus sehingga girnya menjadi tajam. Karena itu saya agak kesal dengan Brian yang menolak berhenti untuk menggantinya.
Brian yang membawa motor karena tubuhnya jauh lebih besar dari saya. Sebelum masuk hutan, saya sudah memberi saran padanya untuk berhenti ketika kami melihat bengkel di kota. Tapi karena takut kemalaman, Brian tidak mau berhenti padahal terasa sekali motor ini tersendat setiap kali menaikkan kecepatan.
“Terus gimana ini?”
“Ada dua pilihan Bray. Kita balik sekitar dua atau tiga kilo, di rumah terakhir perkampungan yang kita lewati, saya lihat ada bengkel atau kalau mau jalan lagi, lebih tujuh kilo kita geret motor ini baru bisa nemu perkampungan, ada bengkel juga di sana. Kalau saya sih enaknya yang lebih dekat saja kita balik, lebih rasional juga karena balik jalannya menurun. Kalau lanjut berarti akan lebih banyak mendaki.”
“Jangan Dho, ampun sudah ngeri sekali. Lebih baik saya geret motor ke atas.”
Sepanjang perjalanan yang jadi berat banget itu, sebenarnya Brian sudah melihat dan merasakan yang aneh-aneh. Misalnya, Brian mencium bau melati, sementara saya tidak. Beberapa meter kemudian, sebetulnya dia sudah melihat kuntilanak. Sekali lagi, saya nggak melihatnya.
Padahal sepanjang jalan, Brian hanya melihat lurus ke depan karena takut, tapi kok bisa melihat penampakan? Saya rasa ia cuma paranoid karena saya sama sekali tidak mencium bau melati atau melihat kuntilanak.
Saya sebenarnya ingin menolak pilihan tidak rasional itu tapi karena sepanjang jalan sebetulnya Brian sudah ketakutan, tapi akhirnya saya menyanggupinya. Ketimbang berdebat terus tidak akan selesai dan malam semakin larut.
Malam itu memang gelap, langit diselimuti awan sehingga. Cahaya bulan sulit menembus awan dan kabut yang mulai turun. Karena jalur hutan, sudah tentu tidak ada penerangan. Sangat jarang ada kendaraan lewat. Jarak penglihatan kami hanya 5 sampai 7 meter.
Di sepanjang jalan kami berganti-gantian menggeret motor. Keringat sudah membasahi seluruh tubuh meski suhu sangat dingin. Bahkan saya melihat tubuh Brian seolah mengeluarkan asap. Pertemuan suhu dingin dengan panas tubuhnya yang sedang berjuang menggeret motor menjadi uap.
Saya, yang pada mulanya tidak berpikir macam-macam, mulai merinding juga. Pikiran soal penampakan pocong dan kuntilanak mulai muncul. Pikiran itu mulai muncul setelah kami melewati Kawasan hutan sawit yang tidak terlalu besar. Tidak tahu kenapa, hutan sawit itu menghadirkan perasaan aneh.
Benar saja, karena gelap dan berkabut, ketika ada “satu benda” yang kontras, misalnya berwarna putih, pasti terlihat jelas. Ketika menoleh ke arah kiri, di kedalaman hutan sawit, saya melihat pocong seperti menempel ke pohon. Bukan hanya satu tapi tiga!
Saking takutnya, saya cuma bisa berkata lirih: “Pocong! Nggak cuma satu, Bray, ada tiga!”
Saya sempat takut Brian akan ikut menengok lalu lari karena takut. Namun, dia tidak menoleh, pandangannya lurus ke depan. Tiba-tiba, dia malah bertanya:
“Dho, kamu cium bau melati?”
“Nggak Bray,” jawab saya berbohong. Kali ini saya mencium bau wangi melati. Perasaan merinding semakin menjadi. Jantung saya berdetak semakin cepat sehingga napas saya tersengal-sengal.
Saya melihat mulut Brian komat-kamit seperti membaca doa. Sekarang saya tahu kenapa dia tidak menoleh ketika saya bilang ada pocong. Sedikit agak ke depan, Brian sudah melihat kuntilanak duduk di dahan pohon besar.
Saya bisa melihat dengan jelas seorang perempuan berpakaian putih duduk di dahan. Rasanya semakin mengerikan karena kami tidak bisa menghindar. Mau lari tidak mungkin, ini hutan dan di tengah gunung. Perkampungan masih jauh di depan. Apalagi jika putar balik, ada 3 pocong yang sudah menunggu di tepi hutan sawit. Kuntilanak di depan, pocong di belakang. Komplet.
Kaki saya tiba-tiba menjadi berat dan oksigen seolah malas masuk ke paru-paru. Saya mulai sempoyongan padahal saya berjalan kaki tanpa beban, hanya membawa tubuh langsing saya. Sedangkan Brian yang gemuk dan sedang menggeret motor namun seperti tidak kelelahan, malah langkah kakinya semakin cepat. Entah darimana tenaganya?
Saya dan Brian memberanikan diri berjalan melewati pohon itu. Kami tidak berani melihat kuntilanak itu. Tapi kamu tahu kalau “dia” masih di sana. Setelah berjalan beberapa meter, kami mendengar suara motor.
Rupanya Tuhan masih sayang kami. Seorang bapak-bapak berani sekali masuk hutan. Dia baik hati membantu kami mendorong motor sampai perkampungan warga. Bahkan bapak ini membantu menggedor sebuah bengkel yang sudah tutup. Saya sempat berpikir, apa ya pocong menyaru jadi seorang bapak-bapak dan naik motor. Seram, meski agak menggelikan.
Beruntung bengkel itu menyatu dengan rumah pemiliknya. Segera kami mengganti rantai dan gir motor meski tidak orisinal yang penting kami bisa pulang ke desa.
Sesampainya di rumah, Brian mengaku sudah melihat 3 pocong yang saya lihat. Tapi tidak berani berlari karena di depan sudah ditunggu kuntilanak. Saya bertanya kenapa dia tidak lari.
“Kampret, berapa jauh saya bisa lari dengan badan ini. Saya berharap kamu nggak pocong atau kuntilanak karena kalau kamu lihat, saya takut kamu lari ninggalin saya. Mana mungkin saya bisa kejar kamu.”
Kami berdua tertawa lepas karena ternyata kami berpikiran sama saat itu. Sama-sama takut kalau sampai ditinggal sendiri.
Minggu depannya saya ada kerjaan yang mengharuskan saya datang lagi ke kota. Sialnya Brian tidak mau ikut, katanya masih trauma. “Kamu balik sore saja. Kalau kemalaman lebih baik nginap di Kendari,” saran Brian.
Akhirnya saya terpaksa pergi sendiri dan berencana menginap di rumah teman saya di Kendari. Sialnya, sudah berencana menginap, ternyata kawan mengajar meminta saya untuk menggantikannya esok harinya. Jadi, saya harus balik malam itu juga, sendirian melewati “sarang” pocong dan kuntilanak.
Di perjalanan saya langsung merasa ada yang tidak beres dengan motor saya. Rantainya kok seperti tersendat-sendat. Mungkin karena gir dan rantainya tidak ori. Saya paksakan saja jalan pelan-pelan.
Begitu tiba di tanjakan horor itu saya mengatakan “Tabe inggmiu mbu laika roroma,” dan mengganti gigi motor menjadi gigi satu, kemudian tancap gas.
“Ctak….” tiba-tiba rantai motor saya putus lagi di tempat sama, di waktu yang tidak berbeda dengan minggu lalu.
Sialan….
BACA JUGA Cara Jitu Membuat Pocong Hengkang Bukan dengan Ayat Kursi atau kisah-kisah kejepit dan menyeramkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.