[MOJOK.CO] “Ini perkara sederhana. Aturan pertama, Agnez Mo tak pernah salah. Aturan kedua, kalo dia salah, lihat aturan pertama.”
Di dunia ini ada dua hal yang perlu ditakuti.
Pertama, petugas pajak. Ini alasannya jelas, kalo kamu suka menyembunyikan aset, nilep barang, dan menyimpan harta haram, nasibmu bisa celaka. Mereka akan mengejarmu, memintamu melaporkan kekayaanmu sampai detil. Tugas negara jeh, jangan sampai kamu nekat.
Kedua, fans Agnez Mo. Ketika menulis ini saya sudah mewanti-wanti diri, mulai dari sekarang sampai seterusnya saya harus hati-hati. Salah sedikit bisa bahaya.
Saya ingat saat itu, tahun 2011 baru 3 bulan diluncurkan, album Agnez Mo terjual satu juta keping. Ini bukan angka main-main. Haibat belaka. Tapi perlu diketahui, CD album itu laku dijual bersama ayam goreng.
Tidak jelas mana yang lebih punya manfaat, ayam goreng, saus sambal, atau CD Agnez Mo. Tapi, jangan sekali-sekali menuliskan kalimat macam itu di media sosial. Jangan pernah. Memikirkan saja jangan sampai.
Bukan apa-apa, sekali kamu bikin perkara, misal menyebut bahwa Agnez Mo itu biasa-biasa saja, batalion fans Agnez akan menyerangmu.
Tanpa ampun.
Bertahun lalu, editor Tirto.id Zen RS pernah menulis tentang gejala bahasa. Bermodal nyali yang tak seberapa, dia nekat mengoreksi gaya bicara Agnez Mo. Terlepas bahwa teks itu kaya analisis juga fakta sejarah, tab mention Zen jebol. Ia dibikin minta ampun, belakangan bahkan mengaku trauma. Mending lawan tentara, katanya. Ditempeleng, disuruh lari stadion, abis itu kelar. Ini, mencolek gaya bahasa Agnez saja ia mesti tiarap berhari-hari. Sampai hari ini ia masih gentar buat macam-macam sama Agnez lagi.
Itu baru satu. Dulu mantan pemred Mojok juga nyoba cari tenar, mengejek penggemar Agnez Mo. Sudah nekat, tak punya otak pula, berani betul Arlian SupraBana itu menyebut fans Baginda Ratu Agnez Mo dengan sebutan alay. Ya habis dilalap. Tanpa sambal.
Ini perkara sederhana sebenarnya. Jangan sekali-sekali mengomentari Agnez Mo. Lebih dari itu, jangan coba-coba berargumen dengan penggemarnya. Mau kamu doktor lulusan Oxford, mau sabuk hitam Aikido, nggak peduli. Di mata fansnya, semua sama. Semua bakal dihadapi.
Sebenarnya apa sih yang membikin penggemar-penggemarnya ini demikian buas kritis? Tentu bukan karena micin. Kita tahu micin tak punya sumbangan apa-apa pada buruknya mutu nalar. Kurang seks? Ah itu kan cuma omongan penyiar radio partikelir. Kebanyakan makan Indomie? Ini juga tak benar, terlalu banyak mahasiswa bergelar cum laude yang lulus bermodalkan Indomie. Radikalisasi agama? Nah, ini mungkin bisa dianggap sumber militansi fans Agnez Mo.
Agnez nyaris punya penggemar yang menyembahnya seperti tuhan. Nyaris, bukan sudah. Ini yang perlu dipahami.
Ada orang yang menganggap Maradona sebagai tuhan, ada yang menganggap Agnez Mo tak pernah salah. Dua-duanya punya iman, bahwa idolanya mesiah yang akan menyelamatkan umat manusia. Maradona menyelamatkan satu zaman sepak bola, Agnez Mo melahirkan penggemar yang keras kepala.
Apa coba yang bikin fans-fans Agnez berbeda dengan suporter Taliban atau ISIS? Sekali kamu dianggap menghina ajaran agama, hukumannya pancung, bunuh, bakar, tembak oleh kaum fanatik tadi. Sekali kamu menghina Agnez Mo, bakal dirundung dengan ucapan bodoh, nggak punya taste, berselera buruk, sampai makian sophisticated hasil delusi berjam-jam di halaman Tumblr. Yang membedakan hanyalah fans berat ISIS beberapa punya bedil dan siap bunuh diri, fans Agnez Mo mentok jadi batalion mention di Twitter atau kolom komentar.
Apa yang membuat orang-orang ini jadi fanatik? Ya banyak. Misalnya pesona Agnez yang demikian aduhai, suara merdu, dan juga bagaimana ia mencitrakan diri. Jangan salah duga, suara Agnez itu bagus betul, bisa nada tinggi, nada rendah, ngerap, sampai jualan Coca-Cola. Dia juga visioner. Saat yang lain ingin masuk surga, sedari muda Agnez ingin go international.
Keinginan go international ini yang membikin banyak orang terinspirasi. Anggun C. Sasmi, misalnya, sukses menjadi penyanyi di Prancis ya karena pengaruh Agnez. Banyak musisi lokal yang berutang jasa padanya. Siapa Rich Chigga kalo nggak ada Agnez Mo? Siapa Joey Alexander kalo nggak ada Agnez Mo? Blio ini yang membuka jalan musisi Indonesia di kancah internasional. Maka, patutlah blio dihormati. Bukan malah dikritik karena pakai pakaian bertuliskan huruf Arab, mengeksploitasi batik, sampai-sampai soal adegan ranjang saja dipersoalkan.
Mbok kalo mau kritik itu yang substantif, yang benar, jangan cuma mengumbar kebencian. Misalnya, Agnez itu kalo makan bubur, diaduk apa tidak? Kalo milih obat nyamuk, semprot atau bakar? Kalo makan Indomie, sukanya kuah apa goreng? Ini yang dikritik kok pakaian, aurat, sampai bahasa. Apa ya dipikir itu punya pengaruh sama karier blio?
Udah bagus Agnez pake batik yang asli Indonesia, lha kalo pake kimono? Apa ya nggak bingung kalian? Gini nih kalo sekolah cuma sampai pamit, membedakan duta budaya bangsa sama selling out budaya sendiri aja nggak bisa. Agnez jelas yang kedua, tapi niatnya tentu yang pertama. Mosok gini aja nggak paham.
Ini peringatan terakhir kepada para pembenci Agnez Mo. Kalian tahu Tjahjo Kumolo? Menteri Dalam Negeri Indonesia itu melakukan doxing kepada Veronica, pengkritik Jokowi. Data pribadi blio diunggah ke group chat wartawan. Kalo fans Agnez Mo, mereka ini bisa cari fotomu tiga tahun yang lalu, mantanmu 10 tahun yang lalu, untuk kemudian di-share di Twitter dan dihakimi rame-rame. Mau sampean dibikin malu?