Tak perlu sedu-sedan itu. Bumi akan tetap berputar pada porosnya. Liga Inggris tak akan pernah bangkrut hanya karena Manchester United sirna dari peredarannya.
Sebagaimana telah dibuktikan kepergian David Beckham darinya, Liga Inggris tetap akan subur sebagai industri yang mendunia. Tidak seperti Liga Basket Amerika yang lesu darah akibat Michael Jordan pensiun. Apalagi industri bolakaki, sampai kiamat pun kecil kemungkinan gulung tikar.
Selamanya Liga Premier Inggris akan mengenang Manchester United yang pernah berada di garda depan revolusi siaran sepakbola. Sejarah tak mungkin bisa dihapus, apalagi kenangan-kenangan dan ingatan-ingatan atasnya.
Akan selalu ada jutaan orang yang mengenang betapa dahulu kala pernah ada klub berjuluk setan merah yang menggila, bermental juara, tapi setelah seorang pria tua Skotlandia pengunyah permen karet pensiun, kejayaan itu perlahan-lahan lekang digerus roda perubahan yang ganas.
Semuanya akan baik-baik saja. Van Gaal bisa mengajar filsafat di salah satu kampus ternama di negeri tropis yang disebut zamrud khatulistiwa, atau menulis catatan-catatan dengan mengutip sebanyak mungkin filsuf di media massa berskala nasional.
Ketika filosofinya dimentahkan media barat dan suporter klubnya sendiri, karena hasil buruk yang dituainya di lapangan, apa yang keluar dari mulutnya tetap akan jadi permata di Indonesia. Seorang jebolan Fakultas Psikologi yang tak pernah menyelesaikan kuliahnya telah membuktikan itu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali.
David Moyes bisa menjalani hidupnya dengan tenang tanpa beban, mendamprat semua orang yang pernah sinis terhadapnya, “gue kate juga ape?!”
Fans yang baru menggemari klub yang bermarkas di Old Trafford itu di masa Cristiano Ronaldo, perlahan-lahan akan bisa mentertawakan kekonyolan masa remajanya. Mereka akan mengenang sambil menggeleng-gelengkan kepala, sesekali menepuk jidat, masa-masa ketika mereka membela klub kecintaan dengan urat leher di tongkrongan warung kopi, di sekolah, dan di jalanan ketika tak sengaja dengar beberapa orang mengolok-olok United yang terdegradasi.
Mereka akan sembuh dengan sendirinya, setelah melewati fase-fase menyakitkan: penolakan terhadap kenyataan menyedihkan bahwa United mustahil diselamatkan, kemarahan membabi-buta sampai-sampai merusak kehidupan sosial mereka sendiri. Kota Manchester bahkan sempat lumpuh selama satu bulan lebih, seorang taipan media dan adik seorang capres gagal 2014 asal Indonesia urung (setelah tadinya kedua orang ini berebutan) membeli klub yang dibelit hutang itu.
Mereka kemudian menghentikan kemarahan dengan berpikir positif ala Mario Teguh, rela melakukan apa saja demi menyelamatkan muka klub kebanggaan, tapi dalam kenyataannya mereka sudah tak punya apa-apa lagi untuk berbuat sesuatu, bahkan keluarga Glazer telah jatuh miskin dan memulai segalanya dari nol dengan membuka toko kelontong di Jayapura. Mereka pun mengalami depresi berat, banyak yang harus jadi pasien Grogol dan Pakem.
Setelah proses panjang itu, mereka akhirnya akan bisa menerima kenyataan dan percaya bahwa semuanya baik-baik saja tanpa Manchester United.
Oh tentu saja masih akan banyak yang sukar disembuhkan. Di antaranya fans fanatik sejak periode kedua kepelatihan Matt Butsby, dan generasi 90-an pemuja berhala Alex Ferguson. Terlebih lagi mereka yang telah menjadi pandit sepakbola, yang selalu jumawa akan performa United. Sungguh mereka tak akan tahan lagi menanggung malu. Tapi sekali lagi percayalah, semuanya akan kembali seperti sedia kala, mereka juga niscaya bisa dipulihkan.
Mereka hanya perlu menjadi pembaca setia Mojok.co.