MOJOK.CO – Teruntuk sobat-sobat kampusku yang senang berpesta dan berhura-hura padahal belum resmi jadi sarjana~
Menjadi sarjana tentu saja menjadi tujuan utama para mahasiswa. Untuk mencapainya, banyak hal yang harus dilalui mulai dari berangkat kuliah, menempuh ujian-ujian pada setiap semesternya, melaksanakan magang, sampai akhirnya bertemu dengan tantangan menyusun proposal skripsi.
Setelah skripsi selesai, jangan harap penderitaan berakhir sampai di situ, masih ada satu tantangan terakhir yaitu sidang skripsi tempat skripsimu dikoyak-koyak dosen penguji. Jika tidak ada revisi, baru deh bisa langsung wisuda dan menjadi sarjana.
Kelihatannya runtut dan simpel ya? Tetapi, sesungguhnya tidak semudah itu, Ferguso.
Apalagi jika kamu adalah mahasiswa yang dikelilingi oleh mereka yang gila perayaan… Eh gimana, gimana?
Bukan bermaksud menakut-nakuti tapi bagi kamu yang calon sarjana, tidak ada salahnya periksa tipe orang-orang di sekitarmu sekarang juga. Itung-itung, nanti jika harus menempuh prosesi yang begitu rempong, kamu sudah menyiapkannya.
Tentu saja menjadi sarjana itu butuh disiapkan. Tetapi, yang saya maksud di sini adalah persiapan di luar bimbingan, teori-teori, dan pasang kuda-kuda untuk masa depan sebagai sarjana. Siapa tahu, gara-gara orang-orang di sekelilingmu, kamu terpaksa menjadi calon sarjana yang banyak gaya.
Tipe calon sarjana jenis ini bisa ditandai sejak ia menempuh seminar proposal atau saat mempresentasikan skripsinya di hadapan dosen dan teman-temannya. Jika setelah presentasi kemudian ada sekelompok orang yang menghampiri, memasangkan mahkota dan selempang bertuliskan Calon Sarjana, kemungkinan besar setelah keluar dari kelas ia harus mentraktir teman-temannya.
Mengapa harus begitu? Karena ia dikelilingi orang-orang yang suka perayaan. Tidak afdol rasanya jika sebagai orang yang berselempang Calon Sarjana tidak menampakkan citra diri sebagai orang sukses yang suka mentraktir kawan-kawannya.
Padahal, ia masih harus menghidupi dirinya sendiri. Ia butuh ongkos bolak-balik untuk bimbingan. Juga, buku-buku referensi yang biar afdol juga, harus dimiliki, harus dibeli dengan harga yang tidak bisa dikatakan murah. Belum lagi jika stres melanda di tengah pengerjaan, ia masih butuh biaya untuk sekadar rekreasi atau paling tidak pergi ke warung kopi.
Belum lagi jika stres (dan malas) berkepanjangan. Sudah terlanjur traktir-traktir atas pencapaian bakal skripsi eh skripsinya nggak jadi-jadi.
Begitu skripsi selesai, dengan segala perjuangan yang (dikira) simpel itu, si calon sarjana akhirnya sidang juga. Satu tangga menuju sarjana berhasil dilewati. Sebuah pencapaian yang membanggakan. Sudah bisa ditebak seperti ketika presentasi bakal skripsi berbulan-bulan (atau bersemester-semester) yang lalu, rombongan penyambut di luar ruangan menyiapkan mahkota baru dan selempang baru bertuliskan Sarjana: siap melamar/dilamar. Dengan menarik napas dalam-dalam, si calon sarjana pasrah badannya ditempeli atribut-atribut kesarjanaan versi teman-temannya.
Si calon sarjana membaca tulisan di selempangnya lagi sambil mengingat revisi-revisi dari penguji serta merenungkan makna dari siap melamar/dilamar. Saat perasaan dan perenungan mulai campur aduk, akan ada celetukan
“Traktir dong! Kan udah sidang”
Celetukan tersebut tidak bisa dianggap hanya celetukan belaka. Sebab celetukan tersebut pasti akan diikuti oleh celetukan-celetukan yang lain, bernada sama. Akhirnya si sarjana yang belum sah karena masih harus revisi tersebut, menanggung biaya makan teman-temannya. Teman-teman yang selalu setia memberikan beban lewat selempang-selempangnya.
Belum sampai wisuda, ia sudah merasa lelah dengan segala beban calon sarjana yang banyak pesta. Perayaan itu boleh, asal tidak ada pihak yang merasa dibebani. Perayaan kan tujuannya bersyukur dengan perasaan senang atas suatu pencapaian.
Jangan sampai perayaan sejak dini, misal, sejak seminar proposal, malah menjadi beban baru. Iya kalau skripsinya berhasil diselesaikan, seminar proposal kan baru permulaan, mengapa perlu dirayakan sedemikan rupa? Untuk menyemangati? Menyemangati kan tidak perlu seboros itu wahai para calon sarjana.
Ingat kebutuhanmu itu, lho. Masih banyak.
Bagaimana nasib para mahasiswa yang kurang mampu? Buat hidup saja susah kok harus traktrir teman-temannya, kok harus pesta-pesta. Uang pas-pasan yang seharusnya untuk biaya pendidikan maka terpaksa dipakai untuk hura-hura.
Tidak semua calon sarjana itu kaya raya sehingga bisa menanggung biaya makan teman-temannya setelah satu pencapaian terlewati. Jika tiga tahapan harus dilewati untuk menjadi sarjana berarti paling tidak ada tiga pesta yang harus digelar. Padahal, sebenarnya pesta itu bisa dirapel sampai di akhir perjuangannya, setelah benar-benar sah menjadi sarjana.
Perlu diingat, menjadi sarjana tidak hanya selesai sampai wisuda dan pesta-pesta saja. Masih ada banyak hal yang harus dicapai. Masih ada banyak hal yang menuntut untuk dirayakan.
Wahai para calon sarjana, yakin masih tetap ingin banyak pesta?