MOJOK.CO – Vaksin Nusantara sempat jadi kontroversi. Padahal ada yang lebih penting dari sekadar nama, yakni: cara kerjanya yang beda.
Konferensi pers yang dilakukan sambil berdiri kerap berujung salah fokus. Kemarin ada kegiatan Workshop Pengawalan Vaksin Merah Putih, pas konferensi pers makbedunduk ada wartawan yang bertanya tentang Vaksin Nusantara.
Walhasil, pemberitaan yang lebih semarak adalah seputar jawaban atas Vaksin Nusantara, padahal acaranya Vaksin Merah Putih.
Bulan Juli 2020 lalu ada konferensi pers Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Menteri Pertanian tentang food estate, yang juga dilakukan sambil berdiri. Di ujung wawancara, ada wartawan yang bertanya tentang kalung.
Keesokan harinya berita food estate kalah gaul dengan berita kalung—bahkan sampai berminggu-minggu kemudian.
Ihwal Vaksin Nusantara ini memang cukup menarik. Pro kontra selalu muncul di kolom komentar pemberitaan terkait pengembangannya. Dan sebagaimana umumnya terjadi di negeri yang rata-rata rakyatnya menghabiskan lebih dari 3 jam sehari untuk bermedia sosial ini, orang-orang yang kadang-kadang sama tidak tahunya justru berantem di kolom komentar tanpa ada yang menengahi.
Nah, dalam upaya untuk menjadi penengah dalam diskursus, maka saya sebagai mantan kuli panggul di salah satu pabrik obat terkemuka negeri ini akan mencoba sedikit menjelaskan sedikit situasi dan kondisinya ke dalam analogi garagan. Sekadar untuk memperkaya perspektif soal vaksin ini yang telah sering dituliskan oleh Bapak Dahlan Iskan di blognya.
Bagi yang hidupnya terlalu polos, saya kasih tahu bahwa garangan adalah hewan yang gemar memangsa tikus tapi juga siap saja menyantap hewan kecil lain seketemunya.
Kebiasaan memangsa dan menjilati darah melalui luka kecil kemudian dibawa oleh netizen kita yang pintar-pintar itu untuk menamai buaya darat maupun pelakor. Garangan pun jadi sebutan untuk seseorang yang suka menggoda pasangan orang.
Pertama-tama, sejak paragraf ini saya tidak hendak menggunakan nama Vaksin Nusantara dulu soalnya pada proses uji klinik yang terdaftar di ClinicalTrial.gov dan penjelasannya jadi acuan tulisan ini, namanya adalah dendritic cell vaccine.
Ini bukan karena saya kurang nasionalis atau nggak cinta NKRI, tapi karena patokan vaksin memakai standar klinis dan bukan standar hafal Pancasila. Oleh sebab itu, mari menyebutnya sebagai vaksin sel dendritik saja.
Kalau kita mengetik kata “dendritic” (bukan vaksin nusantara) di Google Scholar, maka rata-rata penelitian yang muncul adalah tentang kanker. Penelitian tentang sel dendritik juga bukan hal yang baru. Ralph M. Steinman dari Rockefeller University bahkan sudah menulis tentang sel dendritik sejak tahun 1970-an.
Sel dendritik sendiri adalah sel yang mampu menahan antigen pada periode yang panjang dan memperkenalkannya pada duet sel B sampai sel T untuk mengubah kemampuan keduanya saat bertugas menjaga sistem imun kita.
Anggap saja sistem imun kita itu pemuda-pemudi polos yang bucin dan SARS-CoV-2 adalah garangannya.
Dalam upaya untuk menciptakan kekebalan terhadap SARS-CoV-2, sel dendritik bertugas membocorkan kepada sel B dan sel T segala sifat dan kelakuan SARS-CoV-2. Sambil bisik-bisik betapa bangsatnya SARS-CoV-2 itu. Bisik-bisik dari sel dendritik ini lantas direkam lalu disimpan dalam memori sel B.
Nah, kedua sel tersebut kemudian jadi waspada dan jadi lebih siap sedia jika suatu saat nanti ada SARS-CoV-2 yang mau mbribik minta izin masuk ke dalam tubuh kita.
Pertanyaannya, dari mana sel dendritik ini dapat info soal bedebahnya SARS-CoV-2 ini? Apa ia cuma dapet broadcast WhatsApp lalu sebar fitnah sana-sini? Atau dapet dari wangsit? Atau dari mana? Jangan-jangan infonya nggak valid?
Oke. Gini.
Sel dendritik ini bisa tahu karena sel ini diambil dari tubuh kita, lalu dipaparkan dengan protein S dari SARS-CoV-2 di luar. Habis itu, dikembalikan lagi ke dalam tubuh kita.
Nah, metode ini dinamai metode personalized.
Jadi kalau Mas Prayit ikutan metode ini, darah yang diambil, sel yang dipisahkan dan diproses, serta kemudian disuntikan kembali ya darahnya dia sendiri, bukan darahnya Mas Marwoto, bukan darahnya Mas Mulyadi.
Seluruh proses itu diselenggarakan di laboratorium dan untuk itulah diperlukan yang namanya Good Laboratory Practice (GLP) selain juga tentu saja Good Manufacturing Practice (GMP).
Jadi, si sel dendritik itu semacam diutus untuk ikut seminar berjudul “Mewaspadai Bahaya Laten Garangan SARS-CoV-2” selama beberapa hari. Begitu kelar seminar, sel dendritik pulang ke rumah (baca: tubuh) buat meyakinkan sel B dan sel T untuk mempersiapkan diri dengan kedatangan SARS-CoV-2.
Sebenarnya agak tidak pas jika kita membandingkan vaksin sel dendritik ini dengan vaksin-vaksin yang sejauh ini sudah ada. Jadi kalau metode sel dendritik ada tahapan ambil darah, proses, lalu disuntikkan kembali, sementara vaksin-vaksin lainnya ya tinggal disuntikkan saja.
Makanya itu, metode sel dendritik TIDAK BISA dilakukan dengan massal seperti vaksinasi di Istora, misalnya.
Satu hal yang patut diingat bahwa kopit-19 ini penyakit yang baru, jadi apapun metode yang muncul tetaplah sebuah kemajuan, tentunya dengan tetap mengutamakan keamanan, mutu, dan khasiat.
Sekali lagi, tulisan ini mengedepankan ilustrasi dan analogi agar mudah dipahami, soalnya kalau terlalu teknis bisa dilepeh redaktur takutnya malah jadi jurnal kesehatan. Semoga hal ini juga bisa memicu diskusi-diskusi lanjutan yang bisa diteruskan oleh pakar-pakar lain yang relevan.
Ha wong pakar hukum tata negara sekelas Dr. Zainal Arifin Mochtar atau pakar agama Islam Habib Husein Ja’far saja bisa punya lapak di Mojok pada masa pandem begini, mosok pakar kedokteran atau farmasi nggak ada sama sekali?
BACA JUGA Benarkah Indonesia Jadi Kelinci Percobaan Uji Vaksin Corona dari Cina? dan tulisan Alexander Arie lainnya.