Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Es Krim Viennetta dalam Kenangan Orang Miskin Orde Baru

Alexander Arie oleh Alexander Arie
22 Maret 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Iklan es krim Viennetta saat Orde Baru selalu berhasil bikin anak kecil jadi ingin menjilati televisi saat itu. Mau kesetrum mah peduli setan.

Dahulu kala, pada periode Orde Baru hingga awal Orde Reformasi ada beberapa hal yang sangat dikenal oleh publik. Salah satunya adalah sinetron dengan judul paling ajaib dan tayang di RCTI pada jam mendekati azan magrib, yakni Angin Tak Dapat Membaca. Salah duanya adalah gerobak keliling es krim Walls.

Pada periode itu, produk es krim Walls memang sedang booming minta ampun. Tidak hanya di Pulau Jawa, namun juga hingga ke kota kecil di pundak Bukit Barisan tempat saya tumbuh besar.

Ditunjang pedagang yang membawa produk dengan sepeda sampai ke sudut-sudut perumahan sembari membunyikan lagu klasik yang kalau dikasih lirik kira-kira berbunyi “beli dong, beli dong, abang capek mendorong,” tidak ada yang bisa menandingi pesona Walls bagi anak-anak kala itu.

Bahkan ada semacam kasta bagi pembeli Walls era itu. Kalangan paling miskin sudah pasti beli es krim Solo yang harganya 300 rupiah. Agak naik sedikit dan bisa juga dibeli sesekali adalah Paddle Pop. Produk Feast sudah mulai dianggap mewah karena harganya 1.000 rupiah. Terutama untuk kalangan seperti saya ini.

Level selanjutnya berupa Conello—atau bagi kids zaman now dikenal sebagai Cornetto—yang hanya bisa dibeli ketika kenaikan kelas karena harganya 1.250 rupiah. Lantas Magnum yang sempat ngehits belakangan ini, dahulu kala harganya 2.000 rupiah dan itu sudah sangat mahal.

Bagi keluarga guru era Orde Baru yang tidak ada sertifikasi sama sekali, daripada beli Walls, kepala keluarga bakal lebih bijak memilih anggaran rumah tangganya untuk beli beras atau melunasi cicilan panci.

Nah, dari sekian serial produk Walls itu, tersebut lah sebuah produk legendaris, namanya Viennetta.

Produk ini begitu kondang karena iklannya sangat jor-joran. Meski bukan produk yang dibawa oleh abang-abang Walls ke kampung-kampung.

Terutama bagi penduduk kota-kota kecil yang hanya bisa buka RCTI dan TVRI. Ketiadaan pilihan untuk ganti saluran kala iklan membuat banyak orang pada akhirnya menikmati iklan Viennetta yang kalau lagi nongol.

Iklan yang sungguh bikin kami jadi ingin menjilati televisi saat itu. Mau kesetrum mah peduli setan.

Iklan Viennetta ketika itu fokus benar pada detail es krimnya, sampai kemudian dipotong dan disajikan. Detail stroberi yang dituang, coklat yang ditaburkan, sampai irisan es krim perlahan betul-betul menghipnotis pemirsa ketika itu. Belum lagi ketika ada varian kurma saat bulan puasa. Bikin kemecer pasti.

Perkaranya hanya satu. Harga Viennetta saat itu adalah 30 ribu rupiah, alias dapat digunakan untuk membeli 100 buah Solo.

Jadi, kalau beli Conello saja harus nunggu kenaikan kelas, maka bisa dipastikan Viennetta hanya akan dibeli kalau Amerika jadi komunis. Produk ini jelas tidak masuk daftar belanja sebagian besar keluarga Indonesia. Saya sendiri sekali-kalinya makan Viennetta adalah ketika berkunjung ke tetangga saya, seorang Tionghoa tajir. Itu pun karena dalam rangka imlek.

Iklan

Nah, bocah-bocah panji milenium kala itu akhirnya terdampar di zaman setelah Orde Baru. Hidup di Orde Cebong-Kampret sebagai orang-orang yang sudah punya pendapatan dan punya hobi berantem di media sosial. Lalu ketika melihat lapak Walls di minimarket, selevel Feast yang dulu wah itu sekarang terasa sudah murah minta ampun.

Bahkan Magnum dengan kisaran harga 10 ribu rupiah bisa diborong dengan sangat mudah. Tidak ada lagi menunggu berbulan-bulan hanya untuk menjilati Conello, eh, Cornetto.

Masalah fundamentalnya, sekarang justru tiada lagi es krim Viennetta di Indonesia. Konspirasi Wahyudi apalagi ini?

Meski begitu, saya sih menduga biaya promosi produk ini bikin jebol. Lha gimana? Iklannya di mana-mana, harganya selangit. Mana ada masyarakat mampu beli. Boleh jadi, hal itu merupakan alasan produk tersebut kemudian hilang dari pasar Indonesia. Soalnya, produk yang usianya sama dengan para generasi milenial itu sebenarnya masih ada di Eropa.

Disadari atau tidak, berada dalam kondisi ekonomi yang tidak kaya sehingga hanya bisa menikmati Viennetta dari layar kaca merupakan salah satu motivasi banyak milenial untuk bangkit dan mendobrak batas-batas kemiskinan.

Sama halnya dengan dulu hanya nangkring di depan televisi melihat Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat, Tiongkok, dan lain-lain, eh kini para pemuda harapan bangsa yang cinta keributan seperti Arief Balla dan Novi Basuki bisa melanglang buana hingga ke tempat-tempat yang pada saat mereka nonton televisi di masa silam levelnya sama dengan Viennetta: sebatas mimpi.

Sesungguhnya kalau hanya sekadar ingin makan es krim mahal, bukan hal yang sulit. Jika dulu Viennetta harganya sekitar 30 ribu rupiah dengan Magnum punya harga 2 ribu rupiah, maka ketika Magnum sekarang ada di kisaran 10 ribu rupiah, secara itung-itungan kasar Viennetta harganya jadi 150 ribu rupiah.

Lah, tapi kan sekarang es krim premium seperti Haagen Dazs, Cold Stone, hingga Baskin Robbins bertebaran di mal-mal dengan harga di kisaran 50 ribu rupiah untuk porsi yang sama besar dengan Cornetto? Ngapain masih kepingin nyicip Viennetta juga sih?

Sebab, semahal dan seenak apapun produk-produk itu, tetap produknya tidak terkandung rasa-rasa sentimentil kayak Viennetta. Seenak apapun Cold Stone, tetap tidak terkandung rasa kelezatan kemiskinan dalam setiap jilatan es krim Viennetta.

Maka, ketika netizen milenial yang bosan dengan percebongan dan perkampretan mengusahakan petisi hingga menginginkan magic-nya Twitter untuk bisa menghadirkan kembali Viennetta di Indonesia, tentunya itu adalah hal yang wajar.

Sebagaimana banyak orang rindu Orde Baru karena ketika zaman Pak Harto itu giginya masih utuh atau para anak guru yang enggan mengulang Orde Baru karena gaji guru kecil betul ketika itu, persoalan sentimen memang akan selalu juara jika dimainkan di Indonesia.

Jadi, wahai Unilever dan Walls, kapan kami bisa mencicipi kembali sisa-sisa kemiskinan masa lalu dalam irisan produk Viennetta-mu?

Terakhir diperbarui pada 11 April 2020 oleh

Tags: es krimOrde BaruPak HartoViennettawalls
Alexander Arie

Alexander Arie

Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta. Asli Bukittinggi.

Artikel Terkait

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: 'Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku'.MOJOK.CO
Ragam

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’

10 November 2025
Alasan Soeharto tak layak dapat gelar pahlawan, referensi dari buku Mereka Hilang Tak Kembali. MOJOK.CO
Aktual

Buku “Mereka Hilang Tak Kembali”, Menyegarkan Ingatan bahwa Soeharto Tak Pantas Dapat Gelar Pahlawan, tapi Harus Diadili Mantan Menantunya

1 November 2025
Rahasia di Balik “Chindo Pelit” Sebagai Kecerdasan Finansial MOJOK.CO
Esai

Membongkar Stigma “Chindo Pelit” yang Sebetulnya Berbahaya dan Menimbulkan Prasangka

29 Oktober 2025
Sejarah Indonesia Berisi Kekerasan dan Negara Paksa Kita Lupa MOJOK.CO
Esai

Sejarah Indonesia Berisi Luka yang Diwariskan dan Negara Memaksa Kita untuk Melupakan Jejak kekerasan itu

30 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.