MOJOK.CO – Iklan es krim Viennetta saat Orde Baru selalu berhasil bikin anak kecil jadi ingin menjilati televisi saat itu. Mau kesetrum mah peduli setan.
Dahulu kala, pada periode Orde Baru hingga awal Orde Reformasi ada beberapa hal yang sangat dikenal oleh publik. Salah satunya adalah sinetron dengan judul paling ajaib dan tayang di RCTI pada jam mendekati azan magrib, yakni Angin Tak Dapat Membaca. Salah duanya adalah gerobak keliling es krim Walls.
Pada periode itu, produk es krim Walls memang sedang booming minta ampun. Tidak hanya di Pulau Jawa, namun juga hingga ke kota kecil di pundak Bukit Barisan tempat saya tumbuh besar.
Ditunjang pedagang yang membawa produk dengan sepeda sampai ke sudut-sudut perumahan sembari membunyikan lagu klasik yang kalau dikasih lirik kira-kira berbunyi “beli dong, beli dong, abang capek mendorong,” tidak ada yang bisa menandingi pesona Walls bagi anak-anak kala itu.
Bahkan ada semacam kasta bagi pembeli Walls era itu. Kalangan paling miskin sudah pasti beli es krim Solo yang harganya 300 rupiah. Agak naik sedikit dan bisa juga dibeli sesekali adalah Paddle Pop. Produk Feast sudah mulai dianggap mewah karena harganya 1.000 rupiah. Terutama untuk kalangan seperti saya ini.
Level selanjutnya berupa Conello—atau bagi kids zaman now dikenal sebagai Cornetto—yang hanya bisa dibeli ketika kenaikan kelas karena harganya 1.250 rupiah. Lantas Magnum yang sempat ngehits belakangan ini, dahulu kala harganya 2.000 rupiah dan itu sudah sangat mahal.
Bagi keluarga guru era Orde Baru yang tidak ada sertifikasi sama sekali, daripada beli Walls, kepala keluarga bakal lebih bijak memilih anggaran rumah tangganya untuk beli beras atau melunasi cicilan panci.
Nah, dari sekian serial produk Walls itu, tersebut lah sebuah produk legendaris, namanya Viennetta.
Produk ini begitu kondang karena iklannya sangat jor-joran. Meski bukan produk yang dibawa oleh abang-abang Walls ke kampung-kampung.
Terutama bagi penduduk kota-kota kecil yang hanya bisa buka RCTI dan TVRI. Ketiadaan pilihan untuk ganti saluran kala iklan membuat banyak orang pada akhirnya menikmati iklan Viennetta yang kalau lagi nongol.
Iklan yang sungguh bikin kami jadi ingin menjilati televisi saat itu. Mau kesetrum mah peduli setan.
Iklan Viennetta ketika itu fokus benar pada detail es krimnya, sampai kemudian dipotong dan disajikan. Detail stroberi yang dituang, coklat yang ditaburkan, sampai irisan es krim perlahan betul-betul menghipnotis pemirsa ketika itu. Belum lagi ketika ada varian kurma saat bulan puasa. Bikin kemecer pasti.
Perkaranya hanya satu. Harga Viennetta saat itu adalah 30 ribu rupiah, alias dapat digunakan untuk membeli 100 buah Solo.
Jadi, kalau beli Conello saja harus nunggu kenaikan kelas, maka bisa dipastikan Viennetta hanya akan dibeli kalau Amerika jadi komunis. Produk ini jelas tidak masuk daftar belanja sebagian besar keluarga Indonesia. Saya sendiri sekali-kalinya makan Viennetta adalah ketika berkunjung ke tetangga saya, seorang Tionghoa tajir. Itu pun karena dalam rangka imlek.
Nah, bocah-bocah panji milenium kala itu akhirnya terdampar di zaman setelah Orde Baru. Hidup di Orde Cebong-Kampret sebagai orang-orang yang sudah punya pendapatan dan punya hobi berantem di media sosial. Lalu ketika melihat lapak Walls di minimarket, selevel Feast yang dulu wah itu sekarang terasa sudah murah minta ampun.
Bahkan Magnum dengan kisaran harga 10 ribu rupiah bisa diborong dengan sangat mudah. Tidak ada lagi menunggu berbulan-bulan hanya untuk menjilati Conello, eh, Cornetto.
Masalah fundamentalnya, sekarang justru tiada lagi es krim Viennetta di Indonesia. Konspirasi Wahyudi apalagi ini?
Meski begitu, saya sih menduga biaya promosi produk ini bikin jebol. Lha gimana? Iklannya di mana-mana, harganya selangit. Mana ada masyarakat mampu beli. Boleh jadi, hal itu merupakan alasan produk tersebut kemudian hilang dari pasar Indonesia. Soalnya, produk yang usianya sama dengan para generasi milenial itu sebenarnya masih ada di Eropa.
Disadari atau tidak, berada dalam kondisi ekonomi yang tidak kaya sehingga hanya bisa menikmati Viennetta dari layar kaca merupakan salah satu motivasi banyak milenial untuk bangkit dan mendobrak batas-batas kemiskinan.
Sama halnya dengan dulu hanya nangkring di depan televisi melihat Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat, Tiongkok, dan lain-lain, eh kini para pemuda harapan bangsa yang cinta keributan seperti Arief Balla dan Novi Basuki bisa melanglang buana hingga ke tempat-tempat yang pada saat mereka nonton televisi di masa silam levelnya sama dengan Viennetta: sebatas mimpi.
Sesungguhnya kalau hanya sekadar ingin makan es krim mahal, bukan hal yang sulit. Jika dulu Viennetta harganya sekitar 30 ribu rupiah dengan Magnum punya harga 2 ribu rupiah, maka ketika Magnum sekarang ada di kisaran 10 ribu rupiah, secara itung-itungan kasar Viennetta harganya jadi 150 ribu rupiah.
Lah, tapi kan sekarang es krim premium seperti Haagen Dazs, Cold Stone, hingga Baskin Robbins bertebaran di mal-mal dengan harga di kisaran 50 ribu rupiah untuk porsi yang sama besar dengan Cornetto? Ngapain masih kepingin nyicip Viennetta juga sih?
Sebab, semahal dan seenak apapun produk-produk itu, tetap produknya tidak terkandung rasa-rasa sentimentil kayak Viennetta. Seenak apapun Cold Stone, tetap tidak terkandung rasa kelezatan kemiskinan dalam setiap jilatan es krim Viennetta.
Maka, ketika netizen milenial yang bosan dengan percebongan dan perkampretan mengusahakan petisi hingga menginginkan magic-nya Twitter untuk bisa menghadirkan kembali Viennetta di Indonesia, tentunya itu adalah hal yang wajar.
Sebagaimana banyak orang rindu Orde Baru karena ketika zaman Pak Harto itu giginya masih utuh atau para anak guru yang enggan mengulang Orde Baru karena gaji guru kecil betul ketika itu, persoalan sentimen memang akan selalu juara jika dimainkan di Indonesia.
Jadi, wahai Unilever dan Walls, kapan kami bisa mencicipi kembali sisa-sisa kemiskinan masa lalu dalam irisan produk Viennetta-mu?