MOJOK.CO – Hobi kok sama hoax. Hoax jadul lagi. Ini bukan ngomongin G 30 S, ini merujuk pada hoax telur palsu.
Sebagai bapak muda, seharusnya saya memiliki optimisme pada negeri ini. Mau tak mau harus kudu demikian. Agar setidaknya saya bisa membayangkan, kelak ketika saya sudah menjadi lansia yang antre obat hipertensi dengan fasilitas BPJS Kesehatan, anak saya akan menemukan Indonesia yang jaya, gemah ripah loh jinawi, dan sifat-sifat baik lainnya.
Namun, begitu melihat isi Facebook dan menemukan ratusan ribu orang menaruh komentar “#2” dalam pesan “ketik #2, maka air akan surut” pada gambar mbak-mbak sedang berendam, pesimisme pada bangsa ini mekar kembali.
Selain urusan otak ngeres, salah satu alasan untuk pesimistis adalah begitu banyaknya orang yang menjadi penghobi hoax. Hoax politik mungkin lama-lama terasa biasa, tetapi yang bikin linu, banyak orang percaya pada hoax soal makanan.
Yang terbaru, tentu saja, hoax tentang telur palsu.
Hoax telur palsu ini sejatinya telah muncul beberapa tahun silam. Kala itu beredar broadcast message soal telur palsu yang dijual separuh harga di dalam KRL Jabodetabek—waktu itu masih berstatus kereta ekonomi.
Oke, mari kita bayangkan. Ketika hoax itu muncul, berjualan di dalam KRL Jabodetabek masih diperbolehkan. Pada era Ignasius Jonan, KRL Jabodetabek direvitalisasi sehingga jangankan jualan, mau berdiri dengan baik dan benar saja susah banget. Pak Jonan sudah beralih dari sekadar bos PT Kereta Api Indonesia menjadi Menteri Perhubungan, sudah dicopot lantas dilantik lagi jadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, eh hoax lawas soal telur palsu muncul lagi.
Hobi bener ya mengulang-ulang hoax.
Sepuluh tahun silam juga sempat ramai soal telur palsu yang katanya ditandai dengan adanya garis hitam serta bagian kuning yang tampak tidak bulat sesudah direbus. Nyatanya, kemudian diketahui bahwa itu telur afkir alias telur tidak layak tetas, yang kemudian digembar-gemborkan sebagai telur palsu.
Tahun 2018, isu telur palsu mengemuka kembali setelah viral video tangan seorang ibu yang memecahkan telur, lantas memegang bagian kuning telur dan bagian itu tidak mudah pecah. Serta, katanya lagi, di bagian kulit ada lapisan mirip kertas.
Model hoax bikin video dengan penjelasan bak pakar macam ini memang kerap terjadi. Sebelumnya, ajang berbagi kebodohan ditandai dengan munculnya video biskuit tipis dan gorengan yang menyala kala dibakar. Yha, gundulmu juga juga bakal menyala kalau dibakar. Apa berarti otakmu terbuat dari plastik?
Bicara yang palsu-palsu boleh-boleh saja. Masih ada pekerjaan rumah tentang obat palsu, lukisan palsu, hingga nabi palsu. Kalau ada obat palsu, wajar dipermasalahkan. Obat kan buatan manusia, jadi memang dimungkinkan kalau ada manusia yang membuat edisi palsunya. Motifnya untuk mencari profit, jelas. Ada selisih biaya dan kualitas yang bisa dimainkan sebagai cara memperoleh keuntungan dengan tidak wajar. Untuk itulah pemalsu obat ini harus ditangkap-tangkapi.
Lha, sekarang kita berbicara telur palsu dan begitu banyak yang percaya. Termasuk embel-embel konspirasi asing untuk menghabisi penduduk Indonesia. Menyimak dunia maya bergolak soal telur palsu, saya sungguh izin mengelus dada tetangga.
Telur oleh berbagai jurnal disebut sebagai sebuah paket unik yang didesain sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem reproduksi. Ingat, ada kehidupan di dalam sebuah telur.
Lebih spesifik lagi, mari membincang kulit telur. Si kulit telur ini memiliki fungsi melindungi embrio dari gangguan yang sifatnya mekanis maupun dari bakteri atau virus. Penelitian soal kulit telur ini sudah dilakukan sejak tahun 1881-1882. Pada saat itu, di nusantara lagi ramai Perang Aceh.
Menurut Burley dan Vadehra dalam bukunya The Avian Egg: Chemistry and Biology, analisis kimia menunjukkan bahwa kulit telur tersusun dari 97% kalsium karbonat. Proporsi jumlah kalsium pada kulit telur ini juga menjadi keajaiban tersendiri karena menurut perhitungan matematis, jumlah kalsium dalam tubuh induk unggas tidak akan sebanding untuk menjelma jadi sekian banyak kulit telur.
Gambarannya, volume darah untuk unggas berbobot 1,5 kilogram adalah 75 mililiter. Konsentrasi alias kandungan maksimal kalsium dalam darah adalah 30 miligram per 100 mililiter sehingga kandungan kalsium dalam tubuh unggas petelur hanyalah 25 miligram. Padahal, dalam kulit dari telur yang bobotnya 60 gram, terkandung sekitar 2,3 gram kalsium. Bingung toh? Sudah sana cari jurnalnya di Google Scholar. Ada, kok. Jangan baca hoax melulu di Google.
Pembentukan kulit sendiri merupakan proses paling panjang dalam terbentuknya suatu telur, sekaligus bukti keterlibatan Tuhan yang luar biasa. Makanya kulit telur selalu mulus tanpa bekas las. Nggak pernah kan lihat ada telur yang kulitnya seperti bungkus Kinder Joy?
Pada intinya, kompleksitas kulit telur saja sudah menggambarkan betapa sangat membingungkannya struktur sebuah telur. Maka jangan heran kalau urusan telur ini sebenarnya adalah wujud nyata campur tangan Tuhan dalam kehidupan di dunia.
Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana mungkin membuat sesuatu yang palsu di balik kulit telur yang notabene merupakan mahakarya Yang Maka Kuasa itu? Concern-nya sama persis dengan pernyataan beberapa ahli yang beredar belakangan, “Sampai detik ini belum ada teknologi manusia yang dapat membuat kulit telur ayam dan isinya.”
Lho, tapi berita-berita di website dan video-video di YouTube jelas-jelas memperlihatkan pembuatan telur palsu!
Menyoal itu, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian Syamsul Maarif di media menyebut bahwa “Secara akal sehat, telur palsu akan jauh lebih mahal dari aslinya”.
Hitung-hitungan bodoh dengan memakai data bahwa dalam 1 telur terkandung 2,3 gram kalsium, maka 1 kilogram kalsium karbonat hanya akan menghasilkan 434 telur saja. Ambil patokan harga 1 kilogram kalsium karbonat adalah 13 dolar AS alias sekitar 180 ribu, maka biaya kalsium karbonat saja per telur adalah 410 rupiah.
Itu baru kulitnya doang, padahal kulit hanya menyumbang 4 persen bobot telur. Belum menghitung biaya untuk membuat isinya—yang 96% lagi, apalagi menghitung biaya impor dari luar negeri sebagaimana prasangka buruk para netizen nan selalu benar yang beredar selama ini.
Memangnya semua biaya itu cocok dengan harga telur yang jika sebijinya sampai-1.500-rupiah-sudah-dibilang-mahal-itu? Secara akal sehat, masih lebih baik memaksa ayam-ayam petelur se-Indonesia untuk menetaskan telur alih-alih nyari yang palsu, apalagi nyari ke asing-aseng.
Maka ada lagi netizen bersabda: ini bukan soal untung rugi! Ini soal bagaimana asing-aseng merusak bangsa Indonesia!
Ah, Kepala Satgas Pangan Irjen Pol. Setyo Wasisto menyebut bahwa konsumsi telur per orang di Indonesia hanya 10,44 kilogram per tahun. Dengan asumsi 1 kilogram berisi 16 butir, kira-kira itu setara dengan 13 butir per bulan. Dari 90 kali kesempatan makan dalam sebulan, anggaplah 13 butir itu dimakan dalam 13 kali kesempatan makan, maka proporsinya hanya 14%. Entahlah, bagaimana konsumsi telur sejarang itu bisa dianggap merusak bangsa.
Bahwa ada telur palsu dalam kapasitas sebagai produk untuk display di restoran dan keperluan promosi lainnya, itu jelas ada. Wong untuk mainan anak-anak juga ada. Namun, kalau telur palsu yang ditujukan untuk membunuhi penduduk Indonesia? Duh, Dek, katanya beragama, tapi kok masih meragukan keajaiban Tuhan dalam wujud telur, sih?
Salah satu situs web di dunia yang dipercaya sebagai tempat mencari tahu kebenaran atas hoax yang beredar adalah Hoax Slayer. Soal telur palsu ini, Hoax Slayer memiliki hipotesis bahwa rumor soal telur palsu kemungkinan bermula dari berita yang dipublikasikan di Xinhua pada 28 Desember 2004.
Berita itulah yang memuat soal bahan-bahan berupa kalsium karbonat, starch, resin, gelatin, dll., dan tambah mengemuka sejak dimuat di consumerist.com pada bulan Mei 2007 dengan menyebut acuan Internet Journal of Toxicology. Publikasi ini sepintas tampak ilmiah, meski judulnya lantas bikin dahi berkerut karena nggak jurnal-banget: “Faked Eggs: The World’s Most Unbelieveable Invention”. Belakangan diketahui bahwa jurnal itu sebenarnya telah diakui sebagai kesalahan publikasi dan telah diturunkan, meski dengan pengaturan tertentu kita masih bisa googling demi membaca publikasi yang bikin dahi berkerut karena tidak ilmiah sama sekali itu.
Yeah, di luar negeri hoax ini sudah ada tahun 2007, di negeri kita juga sempat mengemuka tahun 2008, tapi tahun 2018 kita menghebohkan lagi hal yang telah dihebohkan belasan tahun lalu. Pantaslah jika kita sering ketinggalan gerbong dari negara lain. Jangankah soal update teknologi, soal hoax saja kita masih memakai hoax 11 tahun yang lalu, lho!