MOJOK.CO – ICW menyebut anggaran influencer sebanyak Rp90 miliar digelontorkan pemerintah. Jadi susah ya bedain yang tulus sama yang ngiklan.
Temuan ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebut angka Rp90 miliar telah digunakan pemerintah buat membayar jasa influencer. Setidaknya pendanaan ini sudah digunakan sejak 2017 hingga 2020. Alias pemerintah sebenarnya nggak pernah main-main buat menyusun anggaran influencer, ini seriusan.
Maka nggak usah kaget, Mylov, jika selebgram idola tiba-tiba bikin tagar aneh-aneh dan mengiklankan produk undang-undang. Proyek macam begini ternyata adalah keniscayaan. Pantesan ya, rezim ini suka disebut sebagai rezim humas.
Hla wong pencitraan di mana-mana, buzzer bermunculan, influencer pun mulai turun tangan.
Selepas sejumlah selebgram mulai dipesan pemerintah pakai tagar #IndonesiaButuhKerja dan bikin video-video super cringe, kayaknya kita nggak bisa berharap lagi bakal menemukan opinion leader yang baik buat negeri ini.
Penderitaan menyimak buzzer di medsos saja sudah menguras jiwa raga, lah ini ditambahin. Sebenarnya bukan masalah nilai anggaran influencernya. Rp90 miliar itu buat pemerintah mungkin nggak seberapa besar. Iya, kita kan negara yang kaya raya.
Masalahnya dengan anggaran influencer segitu, yakin nggak pesan atau informasi yang disampaikan bakal efektif? Pemerintah sih kayaknya optimis kalau influencer punya fungsi buat membantu kerja humas. Mensosialisasikan informasi biar sampai ke akar rumput.
Sayangnya rumput yang mana, Bos? Bukan rumput tetangga dong ya.
Anggaran influencer ini bakalan sia-sia jika pemerintah nggak benar-benar cermat dalam memilih dan menyampaikan pesan mereka. Pertama, nggak semua orang tahu selebgram si A dan si B karena terkadang mereka segmented banget. Kalau dibilang menjankau semua kalangan ya kurang tepat.
Cowok-cowok mungkin nggak tahu siapa Tasya Farasya, misalnya, karena mereka seringnya nontonin konten ngobam Gofar Hilman. Begitu juga dengan beberapa influencer yang cenderung punya pengaruh secara regional. Terlalu abu-abu dan nggak ada pengukuran efektivitasnya.
Lha kalian pikir semua orang tahu Ardhito Pramono?
Kedua, semua ini bakal bermasalah kalau penyampaian pesannya ngawur. Seharusnya pemerintah, dan tentu saja influencernya sendiri punya inisiatif untuk membedakan konten sponsor dan kontennya sendiri. Jangan kayak selebgram kuliner lah yang bilang semua makanan endorsan itu enak. Ya iya, orang lau dibayar.
Tapi ngakunya selalu, “Nggak bohong guys, kalian follower lama aku pasti tahu, sumpah ini enak banget dan aku udah bolak-balik order.”
Harusnya influencer nggak terhanyut jadi buzzer berbulu domba, buzzer yang nyamar jadi orang kece dan terkenal. Kalau emang ngiklan, ya ngiklan aja lah.
Main media sosial jadi makin sulit karena informasi yang benar, yang salah, dan yang ‘bener sih tapi nggak gitu juga’ makin nggak bisa dibedakan. Lain halnya sama televisi dan radio di mana kita benar-benar ngerti mana yang iklan dan mana yang bukan.
Nah ini kalau Gofar Hilman benar-benar pro Omnibus Law kan saya jadi bingung. Ini beneran dari dalam hatinya nggak sih, masa mantan anak punk dukung Omnibus Law. Agak nggak mashook, eh tapi kok dia pakai hestek begituan. Haaash, mboh.
Rasanya pengin uninstall semua medsos, pusing banget!
Nggak heran kalau netizen sekarang makin nggak percayaan sama orang. Muncul fenomena remeh pun, pada langsung bar-bar. Lha aliran informasi sudah sebanal ini, gimana nggak pada ikutan gila?
Anggaran Influencer sebanyak Rp90 miliar udah kayak vibes start up dan bisnis besar gabungan yang lagi menargetkan pasar besar-besaran, semua orang terkenal harus ngiklan. Sementara pemerintah, ngapain melihat rakyat sebagai ‘pasar’ dan memilih influencer sebagai corong untuk menyampaikan informasi dari atas? Ini agak nggak sinkron di berbagai level.
Pemerintah juga luput mengukur repons netizen setelah kemunculan buzzer dan influencer-influencer misleading. Nggak usah jauh-jauh, lihat saja Anji dan Jerinx yang justru jadi pihak paling merugi di antara segala perdebatan konspirasi wahyudi ini.
Influencer bisa jadi pemantik keributan dengan poros kontra yang lebih dominan. Kalau kementrian pada peka sih, harusnya mereka membaca tanda-tanda ini dan mengevaluasi. Sehingga strategi berhumas-humas ria selanjutnya bisa lebih smooth, ngena, dan nggak seboros itu.
Daripada bayar Gritte Agatha senilai ratusan juta, mendingan bayar Bu Tejo dan Gotrek untuk menyebar informasi dari truk ke truk.
BACA JUGA Mewakili Kegeraman Netizen, Saya Sarankan Mas Anji dan Influencer Misleading Lain Rehat Aja atau artikel lainnya di POJOKAN.