Bagi saya, dan mungkin bagi banyak orang lainnya, menangis bukanlah perkara yang sepele, ia adalah perkara yang rumit yang susah untuk diurai.
Saya punya banyak pengalaman tentang menangis, namun salah satu yang paling saya ingat tentu saja adalah kisah singkat yang terjadi tiga tahun lalu.
Saya teringat di pertengahan tahun 2015 lalu, entah karena sebab apa, saya mendadak dihubungi oleh seorang asisten sutradara. Saya diminta ikut casting untuk mengisi satu peran dalam sebuah film. Film tersebut merupakan proyek dari salah satu pemerintah daerah dan bertujuan sebagai bahan sosialisasi untuk para pelajar agar tidak terjebak pergaulan bebas. Sungguh sebuah film yang sangat Depdikbud sekali.
Entah pikiran kotor apa yang merasuki si asisten sutradara sampai-sampai menyuruh saya yang memang tak pernah punya pengalaman bermain film ini untuk ikut casting.
“Tampang sampeyan cocok untuk memerankan tokoh ini, Mas,” ujarnya.
Saya yang memang menyukai hal-hal baru kemudian nurut saja apa kata Mas asisten sutradara yang kelak saya ketahui bernama Dona.
Saya kemudian datang ke studio tempat casting dilakukan. Di sana, saya dihadapkan dengan empat (atau lima) orang direktur casting yang siap menguji dan melihat kemampuan akting saya.
Ujian casting tahap awal berjalan dengan sangat lancar.
Saya disuruh tertawa. Tentu ini hal yang mudah, sebab tertawa memang sudah menjadi nama tengah saya. Untuk melakukannya, saya tinggal membayangkan polah konyol kawan-kawan saya, atau membayangkan tingkah lucu bapak saya, maka otomatis, kotak tertawa saya bereaksi dengan sangat lancarnya. Tawa saya keluar dengan sangat nyaring.
Boleh dibilang, saya sukses untuk acting tertawa ini.
Nah, perkara sesungguhnya baru muncul beberapa menit sesudahnya, saat penguji casting mulai menyuruh saya untuk menangis.
Tentu ini hal yang sangat-sangat sulit. Saya merasa tak punya sesuatu untuk dibayangkan yang bisa sampai membuat saya menangis. Saya berusaha sebisa mungkin. Dan nyatanya, saya tetap tak bisa menangis, bahkan untuk sekadar mbrambang dan mimbik-mimbik pun, saya tak kuasa.
Saya sudah menemukan kisah sedih untuk saya bayangkan. kalaupun ada, itu juga belum tentu sanggup untuk memancing air mata saya, sebab saya bahkan terbiasa menertawakan kesedihan-kesedihan saya sendiri.
Alhasil, saya gagal dalam akting menangis. Ya, bagi saya, menangis memang bukan perkara sederhana. Butuh sesuatu yang sangat-sanget sentimentil untuk bisa menyundul ember air mata agar mau tumpah.
Namun, di luar dugaan, kegagalan saya untuk menangis mimbik-mimbik ternyata tak memengaruhi hasil penilaian, saya tetap lolos casting. Sebab peran yang saya dapatkan ternyata memang peran bocah yang periang dan cuwawakan, bukan bocah melankoli yang doyan nangis dan mimbik-mimbik.
Di peran pada film yang saya mainkan, saya beradu akting dengan Pak Susilo (atau yang lebih akrab dikenal dengan panggilan Den Baguse Ngarso), dan Vanda Mutiara, gadis jelita pemeran Utari di film Tjokroaminoto.
Lewat Vanda inilah saya akhirnya mengubah pandangan saya tentang tangisan. Lewat Vanda, saya melihat betapa tangis ternyata bisa menjadi tidak serumit yang saya kira.
Dalam salah satu sesi latihan, saya melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Vanda menangis saat reading naskah. benar-benar tangis yang begitu real, tangis yang timbul bukan karena tetesan insto di mata.
Andai saat itu bukan sedang latihan, saya mungkin sudah mengira bahwa Vanda sedang dilanda kesedihan yang teramat sangat atau habis dikaploki sama pacarnya sendiri.
Menangis ternyata bukan hanya perkara perasaan. Pada titik tertentu, ia adalah perkara skill.
Berbulan-bulan berlalu, waktu kemudian mengajak saya untuk mengetahui lebih lanjut tentang teknik-teknik menangis. Belakangan saya tahu, ternyata ada banyak cara untuk memancing air mata keluar tanpa harus menonton drama korea, membayangkan kisah-kisah sedih ditinggal kekasih, atau membayangkan tagihan awal bulan yang selalu saja menguras perbendaharaan uang.
Salah dua yang saya pelajari adalah teknik menekan diafrahma perut (ah, saya susah menjelaskannya pakai kata-kata), dan teknik mendudul langit-langit tenggorokan.
Dua cara tersebut, bila dilakukan dengan benar, niscaya bisa memancing air mata untuk keluar dengan lumayan deras.
Alhamdulillah, seiiring dengan jam terbang, dengan sedikit latihan yang lumayan berdedikasi, saya perlahan mulai bisa dan lumayan lancar untuk mempraktikkan teknik “menangis” walau tidak “ndoak-ndoak” amat.
Namun sayang, hingga saat ini, belum ada satu pun PH yang menawari saya untuk main film di peran yang sedih dan melankoli, atau main di reality show seperti Katakan Putus yang memang mensyaratkan air mata sebagai salah satu instrumennya.
Duuuh, saya jadi merasa, skill menangis yang saya punya ternyata sia-sia.