MOJOK.CO – Bayar mahal-mahal langganan streaming film seperti Netflix dan kawan-kawannya, eh yang ditonton malah film-film lama.
Beberapa tahun yang lewat, ketika banyak orang di Twitter membicarakan serial-serial yang bagus di Netflix, saya merasa tak terpengaruh dan tak tergoda untuk berlangganan Netflix. Maklum, saya memang bukan tipikal orang yang amat gemar menonton film. Saya hanya sekadar suka sesekali menonton film. Dan hal tersebut sudah cukup saya penuhi dengan menonton film seminggu sekali di bioskop bareng istri tanpa harus merasa perlu berlangganan Netflix.
Namun, pandemi benar-benar mengubah segalanya. Covid-19 membuat seluruh bioskop harus tutup, hal yang kemudian mau tak mau memblokir akses kebutuhan saya akan menonton film.
Waktu pun membuat saya menyerah. Saya akhirnya berlangganan Netflix juga. Serial pertama yang saya tonton adalah Kingdom, serial Korea yang sukses membuat saya amat menyukainya.
Serial Korea lainnya yang saya tonton sampai selesai adalah The Uncanny Counter. Saya amat menikmati serial ini karena saat menontonnya, saya menemukan semacam kepuasan berbalut dendam atas kejahatan dan ketidakadilan. Serial yang bercerita tentang anak pincang yang sering dibully oleh preman sekolah dan kemudian mendapat kekuatan luar biasa ini benar-benar satisfying untuk ditonton. Betapa menyenangkannya melihat orang yang bertindak sewenang-wenang akhirnya mendapatkan pembalasan yang sepadan, apalagi jika ditambah dengan rasa malu, karena dihajar langsung oleh orang yang seharusnya menjadi korban bully mereka.
Setelah dua serial itu, rasanya tak ada serial lain yang benar-benar saya tonton sampai selesai. Tentu saja saya menonton Narcos, namun saya mulai berhenti menontonnya setelah tokoh Pablo Escobar mati. Bagi saya, Narcos ya Pablo Escobar. Kalau dia mati, maka tidak menarik lagi.
Saya juga sempat menonton Marcopolo, namun saya menyudahinya saat mulai muncul adegan penyihir dengan kekuatan supranatural yang menurut saya membuat cerita petualangan Marcopolo justru mulai tak masuk akal.
Kalak, saya mulai bingung harus menonton serial apa lagi. Beberapa serial yang kata orang-orang menarik ternyata tak membuat saya benar-benar tertarik untuk menontonnya.
Film-film pun begitu juga. Tak banyak film baru yang saya tonton di Netflix yang benar-benar saya tonton sampai selesai.
Pada akhirnya, saya pun menyadari, bahwa dalam beberapa bulan berlangganan Netflix, saya ternyata justru lebih sering menonton film-film yang sudah pernah saya tonton dulu sewaktu saya masih kerja sebagai seorang penjaga warnet. Film-film lama yang dulu sering sekali saya download melalui forum legendaris Indowebster itu.
Entah kenapa, ada sensasi menyenangkan yang saya dapatkan tatkala menonton film-film yang sebenarnya saya sudah tahu jalan cerita dan bagaimana ending-nya itu.
Ini seperti perasaan yang sama saat saya menonton film komedi Warkop di mana kita tetap terus tertawa dengan adegan-adegan lucunya walaupun kita sudah menontonnya berkali-kali.
Atau perasaan yang sama saat kita menonton serial Spongebob Squarepants dan Avatar: The Last Airbender di mana kita tetap merasa amat terhibur walau kita mungkin sudah ratusan kali menontonnya di Global TV dulu.
Belakangan, bukan hanya Netflix, namun juga Disney+ Hotstar dan juga Mola.
Di Disney+ Hotstar, misalnya, film-film yang pada akhirnya saya tonton bukanlah film-film baru, melainkan film-film lama, utamanya fim-fim Marvel Cinematic Universe seperti Iron Man, Thor, Captain America, dan sebangsanya yang tentu saja saya sudah pernah menonton sebelumnya.
Mola pun bernasib sama. Di platform ini, selain pertandingan bola, film-film yang saya tonton adalah film-film lawas seperti serial James Bond atau The Godfather. Nyaris sedikit sekali film baru yang saya tonton.
Bahkan, di platform streaming film lokal Vidio yang saya akhirnya berlangganan juga pun, serial yang saya tonton adalah Para Pencari Tuhan, serial yang dulu selalu saya tonton saat sahur di stasiun televisi SCTV.
Boleh dibilang, dari 10 film yang saya tonton di layanan streaming berbayar itu, hanya 1 yang film baru. Sisanya ya film-film lawas yang mungkin sudah menjadi langganan tetap Bioskop Trans TV atau Big Movies Global TV.
Seorang kawan mengomentari kebiasaan saya itu, ia menganggap saya orang yang merugi karena sudah berlangganan streaming film mahal-mahal namun yang saya tonton justru film-film lama yang saya sudah pernah menonton sebelumnya.
Kawan saya itu boleh jadi tak salah, namun saya merasa ia tak sepenuhnya benar.
Bagi saya, berlangganan layanan streaming film tujuan utamanya adalah mencari kebahagiaan. Dan saya mendapatkan kebahagiaan itu tiap kali saya menonton film-film lawas itu.
Ada semacam kepuasan saat menonton film lawas itu, apalagi kalau tahu bahwa film tersebut dulu saya tonton melalui jalur ilegal. Ada semacam kelegaan karena kini saya bisa menebus “dosa” tersebut dengan menontonnya di layanan streaming yang legal.
Saya tak tahu, sampai berapa lama lagi saya akan terus menonton film-film lama di layanan streaming yang saya bayar tidak murah untuk biaya berlangganannya itu. Namun yang jelas, selama saya masih terus menemukan kebahagiaan saat melakukannya, saya tampaknya tak akan pernah merasa rugi untuk membayarnya. Saya selalu yakin, bahwa kebahagiaan selalu layak untuk dibayar.
BACA JUGA Dari Netflix sampai Disney+, Saya Coba 10 Aplikasi Streaming Video Paling Populer di Indonesia dan Ini Hasilnya dan artikel AGUS MULYADI lainnya.