Pileg dan Pilpres tinggal menunggu waktu. Orang-orang yang punya kepentingan dengan hajatan pemilu mulai sibuk sendiri-sendiri. Para calon legislatif sampai calon presiden yang akan berlaga mulai memaksimalkan masa kampanye mereka yang hanya tinggal beberapa waktu lagi. Para tukang sablon mulai menyambut masa puncak orderan mereka. bengkel-bengkel mulai sibuk mendapatkan orderan mempreteli knalpot dari para pendukung partai untuk berpawai.
Bapak saya, walau bukan timses salah satu capres atau caleg yang berlaga, juga bukan tukang sablon, apalagi pemilik bengkel, juga sudah mulai sibuk sendiri. Pasalnya, di hajatan pemilu mendatang, bapak saya ikut menjadi salah satu elemen yang cukup penting dalam terselenggaranya pemilu yang ((( jurdil dan luber ))), yakni hansip TPS.
Ini bukan posisi sembarangan. Ujung tombak amannya kegiatan pencoblosan sampai penghitungan suara berada di tangan bapak saya dan kawan-kawan satu korps-nya.
Bapak saya memang sudah sejak lama menjadi langganan hansip TPS. Tak terhitung sudah berapa edisi pemilu yang sudah bapak saya amankan.
Menjadi hansip bagi bapak adalah salah satu hal yang cukup membanggakan.
Profesi hansip sendiri merupakan profesi yang cukup khas. Saking khasnya, warna seragamnya sampai punya trademark tersendiri di kalangan warna hijau. Ada yang namanya hijau rumput, hijau olive, hijau pupus, hijau rompi polisi, sampai hijau hansip.
Honor sebagai hansip tentu saja nggak besar-besar amat. Tak dapat pensiunan. Dan tentu saja tak ada kenaikan pangkat ataupun mutasi. Jabatannya ya itu-itu terus. Wong nggak ada hierarki kepangkatannya. Boleh dibilang, hansip adalah jabatan stagnan. Seberprestasi apa pun, ia tetaplah hansip.
Lantas, apa yang membuat bapak saya begitu senang dan bangga menjabat sebagai salah satu korps hijau ini?
Tak lain dan tak bukan adalah soal kebanggaan kemiliteran.
Sebagai seorang warga yang tinggal bersebelahan markas akademi militer, tak bisa dimungkiri, ada jiwa-jiwa militerisma yang mengalir deras dalam darah bapak.
Sayang, ia tak pernah berbakat menjadi tentara. Selain tak punya nilai akademis yang mumpuni, bapak juga merasa tak cocok dengan bedil.
Dalam kondisi yang demikian, hansip menjadi satu-satunya pelampiasan yang paling memungkinkan untuk menyalurkan hasrat militerisma.
Berseragam, dengan sepatu lars, plus topi baret yang tak kalah gentho ketimbang baret kopasus. Tiap kali saya melihat bapak dengan pakaian seperti itu, saya merasa bapak saya memang jadi terlihat lebih gagah.
Saya jadi ingat tiap kali bapak yang sudah berseragam lengkap dan bersiap untuk berangkat mengamankan TPS. Sambil nyengir dan senyum yang prengas-prenges, dirinya berangkat penuh keyakinan.
Tipikal prengas-prenges yang jauh lebih lepas ketimbang prengas-prenges caleg yang menang saat penghitungan suara.
“Piye, wis ketok sangar tho, Gus?” kata Bapak.
Tentu saya menjawab dengan jawaban yang menyenangkan, bukan jawaban yang jujur. “Wa yo jelas, bapakku og…!”
Selamat bertugas, Bapak Hansip. Negara ini (secara tidak langsung) bergantung padamu.
Bersama rakyat TNI kuat, bersama hansip TNI makin sip.