Ada banyak kiai yang ketika ceramah mampu memaparkan banyak hal yang bahkan tidak beririsan langsung dengan dunia keislaman, dari mulai ekonomi, sosial, politik, sampai sejarah.
Nah, Sosok KH. Ahmad Muwafiq atau yang lebih akrab dikenal sebagai Gus Muwafiq, seorang Kiai asal Jombor, Jogja, adalah salah satunya.
Dalam berbagai kesempatan ceramah, dirinya kerap sekali membawakan materi-materi politik dan sejarah. Menjadi lebih istimewa, sebab ia membawa banyak referensi tak lazim dalam ceramahnya. Jika umumnya kiai memaparkan referensi berupa kitab atau kisah riwayat, Gus Muwafiq justru kerap membawakan referensi berupa serial-serial televisi, tak jarang, serial televisi yang ia garap sebagai referensi merupakan serial anak-anak seperti Samurai-X, Naruto, bahkan sampai Upin-Ipin.
Kelihaiannya memadukan narasi serial televisi dengan materi mauizah hasanah boleh jadi merupakan salah satu sebab dirinya begitu diidolakan oleh banyak orang.
Keluasan pengetahuan yang dimiliki oleh Gus Muwafiq memang sudah sejak lama menjadi rahasia umum bagi banyak orang yang mengidolakannya. Sosok yang dulu pernah menjadi asisten pribadi Gus Dur saat masih menjabat sebagai presiden ini memang dikenal sangat doyan membaca.
Ceramahnya yang luar biasa saat mengisi tausiah Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Bogor tahun lalu membuat Gus Muwafiq semakin terkenal. Video ceramahnya banyak diupload di Youtube dan ditonton oleh jutaan orang. Video cceramahnya yang lain pun ikut terangkat.
Maka, ketika Mojok dan Gusdurian Jogja mendapat tugas untuk sowan dan mewawancarai beliau, kami tentu saja langsung merasa jiper.
Bukan apa-apa, kami khawatir tidak bisa menemui Gus Muwafiq mengingat dirinya pastilah sibuk mengisi ceramah di berbagai tempat.
Kekhawatiran kami nyatanya memang terbukti. Ketika Dafi menghubungi Gus Muwafiq via Whatsapp, Gus Muwafiq tidak memberikan kejelasan kapan dirinya bisa ditemui. Ia hanya memberitahu kami bahwa silakan saja jika kami ingin sowan ke rumahnya.
“Monggo saja kalau mau sowan,” begitu jawab Gus Muwafiq.
Berselang satu hari, berbekal kemantapan yang tidak penuh, kami pun kemudian sowan ke kediaman Gus Muwafiq di daerah Jombor. Selayaknya rumah seorang kiai, rumah Gus Muwafiq tampak begitu penuh oleh orang-orang yang mungkin juga ingin sowan seperti kami.
Kami serombongan merasa rikuh dan tak enak hati, maklum saja, di rumah Gus Muwafiq, baik di dalam maupun di teras, semuanya penuh oleh orang-orang yang ingin sowan.
“Kalau harus menunggu sampai semuanya sudah pulang, bisa sampai jam satu malam ini,” kata Fairuz.
Beruntung, tak lama kemudian, kami punya kesempatn untuk masuk dan bertemu dengan asisten Gus Muwafiq.
Sayang, keberuntungan kami rupanya hanya separoh. Ternyata malam itu, Gus Muwafiq tidak ada di rumah. Asisten beliau memberitahu kami Bahwa Gus Muwafiq sedang mengisi pengajian di luar kota.
“Sudah janjian tho, sama Gus’e?” kata asisten Gus Muwafiq.
“Belum sih, Mas. Tapi kemarin itu saya sudah ngirim Whatsapp, kami mengabari beliau kalau kami ingin sowan, dan beliau mempersilakan,” kata Dafi.
“Ya begitu itu, Gus’e memang tak pernah bisa ngasih jadwal pasti kapan bisa disowani, tapi kalau ada orang mau sowan ke rumah, beliau selalu mempersilakan.” ujarnya. “Pulangnya nggak mesti.”
Tentu saja kami kecewa. Tapi, yah, anggap saja itu bagian dari perjuangan untuk bisa sowan dan mewawancarai Gus Muwafiq.
“Menemui kiai itu kadang memang harus ada ikhtiar lebihnya.”
Dasar mujur, jeda beberapa hari kemudian, perjuangan kami pada akhirnya berbuah manis. Mungkin karena tak ingin melihat kami kecewa dua kali, asisten Gus Muwafiq memberitahu kami bahwa Gus Muwafiq pulang dan sedang ada di rumah.
“Monggo kalau mau sowan. Ini Gus’e ndilalah pas pulang,” kata Asisten Gus Muwafiq melalui pesan singkat.
Kami tentu saja tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Kali ini, kami berangat ke kediaman Gus Muwafiq dengan keyakinan penuh.
Sampai di kediaman Gus Muwafiq, kondisinya masih tetap sama dengan kondisi saat kami ke sana sebelumnya: ramai oleh orang-orang yang ingin sowan. Bedanya, kali ini, Gus Muwafiq ada di rumah dan bisa disowani. Ini sudah lebih dari cukup buat kami.
Belum sempat kami masuk, kami sudah melihat Gus Muwafiq di depan pintu. Kami spontan langsung menghampirinya dan kemudian mencium tangan beliau.
“Kami dari Mojok dan Gusdurian, Gus,” kata Fairuz.
“Oh, ya. Tapi ini jatahnya nanti, ya, aku tak ngurus tamuku yang lain dulu,” ujarnya.
“Nggih, Gus.”
“Sana, masuk saja dulu.”
Kami semua kemudian masuk, menunggu di dalam sementara Gus Muwafiq ngobrol dengan para tamunya di teras rumah.
Kami menunggu sekitar satu jam sebelum akhirnya Gus Muwafiq selesai dengan tamu-tamunya untuk kemudian masuk dan beralih pada kami.
“Gimana, gimana?” katanya.
Dafi lantas menjelaskan maksud kedatangan kami. Bahwa kami ingin sowan, sekaligus sedikit ngrusuhi dengan meminta waktu untuk wawancara. Hehehe.
Dasar lagi-lagi mujur, Gus Muwafiq bersedia. Sangat bersedia. “Ha mbok iya.”
Demi mendapatkan lampu hijau tersebut, Ali, videografer kami, langsung mempersiapakan ubo-rampenya.
“Ini videografernya pasti anak UIN, pasti ini,” kata Gus Muwafiq. Tebakan yang sangat tepat. Wah, belum apa-apa, kiai kita ini sudah menunjukkan “kelinuwihannya”.
Kunjungan ke kediaman Gus Muwafiq ini membuat kami semakin yakin bahwa beliau memanglah sosok kiai yang lucu.
Di awal wawancara, ketika kami ingin memperkenalkan beliau, dia langsung memotong, “Saya nggak usah dikenalkan, sampeyan kan datang ke sini karena saya sudah terkenal,” ujarnya seraya tertawa.
Dalam wawancara bersama Gus Muwafiq kali ini, kami bertanya tentang alasan Gus Muwafiq banyak menggunakan referensi-referensi unik seperti Samurai-X, Naruto, bahkan Upin-Ipin dalam berbagai ceramahnya.
Menurutnya, dalam berceramah, ia memang perlu membawa referensi yang relevan. Nah, kebetulan, serial kartun yang berkali-kali ia pakai dalam ceramah itu memang punya relevansi terhadap kondisi sosial masyarakat.
Ia lantas mencontohkan serial Upin-Ipin.
“Upin-Ipin ini muncul setelah stigma tentang terorisme itu begitu kuat terhadap negara Malaysia,” terangnya. “Jadi konteks Upin-Ipin ini sesungguhnya adalah konteks program negara yang punya berbagai problem etnik.”
Kami tentu saja tak menyangka bahwa Upin-Ipin bisa menjadi sefilosofis ini.
“Upin-Ipin ini sangat melayu, tapi punya temen yang sangat plural. Ada ras India, Jarjit. Kemudian ada ras Cina, Mey-Mey. Anak Indonesia juga ada, Susanti. Nah, kalau anak kecil paham tentang etnik, maka sampai gedhe, dia akan jernih.”
Gus Muwafiq menyebut langkah Malaysia menciptakan serial Upin-Ipin atau Jepang yang menciptakan serial Samurai-X sebagai sebuah strategi kebudayaan. Strategi yang menurutnya berhasil dan selayaknya diteruskan.
Kami kemudian bertanya perihal Gus Muwafiq yang saat mengisi tausiah di Istana. Ketika ditanya perasaannya saat mengisi di istana, ia merasa tak ada yang istimewa.
“Lha ya biasa saja, wong dulu saya juga sering ke sana,” ujarnya.
Kami seakan tak sadar, bahwa Gus Muwafiq dulu memang menjadi salah satu asisten pribadi Gus Dur, jadi tentu saja istana bukanlah tempat yang asing bagi Gus Muwafiq.
“Setelah ngaji di istana itu, tiba-tiba saya jadi banyak dapat telepon,” ujarnya. “Mungkin karena pengajian yang saya bawakan itu agak aneh, lucu. Gara-gara Upin-Ipin tadi kelihatannya.” Terangnya sambil tertawa.
Gus Muwafiq kemudian memberikan pada kami pemaparan tentang hal yang begitu ia kuasai: sejarah. Dari mulai tentang konsep arkeologi pengetahuan perihal kelahiran Nabi Muhammad saw sampai tentang Kakbah.
Lebih lanjut, Gus Muwafiq juga memberikan nasihat umum tentang Umat islam yang seharusnya jangan jadi kaum kagetan.
“Orang Islam itu diajarkan untuk bisa bersikap biasa saja saat ketemu dengan orang-orang dari sekian bangsa dan suku. Jadi nggak usah ribet.”
Wawancara berjalan dengan sangat cair. Hampir semua pertanyaan selalu bisa dijawab dengan lucu oleh Gus Muwafiq. Pertanyaan tentang mengisi di istana, misalnya.
“Gus Muwafiq sendiri sudah sering ngisi di istana?” Tanya Bahru yang langsung dijawab mantap oleh Gus Muwafiq: “Ya pasti, istana rumah tangga.”
Atau tentang banyaknya ayam dan burungnya yang ada di rumahnya.
“Suatu ketika saya dikasih burung sama orang, trus saya gantungkan di depan. Nah, tamu saya yang lain, ketika tahu ada burung di depan, dia ngira saya suka burung, akhirnya saya dikasih burung. Nah, hal itu terus terjadi sampai kemudian jadi banyak. Ayam juga begitu, tadinya cuma satu, trus sekarang jadi banyak. Semua itu dibawain sama orang. Untung istri saya cuma satu, jadi mereka nggak berani bawain saya istri lagi.”
Di akhir sesi wawancara, Gus Muwafiq juga menjawab pertanyaan kami tentang rokok. Maklum, selama ini, selain dikenal sebagai Kiai gondrong, Gus Muwafiq juga dikenal sebagai kiai yang getol berargumen menolak keharaman rokok.
“Kalau rokok diharamkan, maka produk turunannya juga haram. Masuk APBN, APBN-nya haram. Buat bangun jalan, jalannya haram.”
Obrolan kami dengan Gus Muwafiq berakhir sekitar pukul 11 malam. Setelah itu, kami masih berlanjut dengan obrolan tentang Gus Dur yang memang oleh Gus Muwafiq diminta agar tidak direkam.
Jam setengah dua belas, kami kemudian pamit untuk pulang.
“Gus, niki kintene sampun cekap, sampun jam setengah kalih welas, niki kulo lan rencang-rencang bade pamit,” ujar Dafi.
“Lho, kok pamit. Awakmu wis mangan hurung? Tak pesenke bakmi godok. Doyan tho? Sek, tak jupukke amplop.”
Sosok kiai nyentrik yang fasih berceramah dengan referensi Upin-Ipin dan Samurai X ini kemudian benar-benar mengambil amplop yang terselip di dekat colokan di atas kepalanya.
“Biasane ono duite.” ujarnya sembari membuka amplop. “Nah, tho, ono duite. Kiai og…”
Kami semringah. Niat pamit langsung buyar.
“Nggih mpun, Gus, nek ngoten, wangsule diundur dados jam setunggal mawon…”