Beberapa waktu yang lewat, wacana terkait jabatan presiden tiga periode sempat menjadi perbincangan yang cukup hangat bahkan cenderung panas, utamanya setelah dibahas oleh Amien Rais yang dalam salah satu videonya menyebut ada potensi untuk mengotak-atik UU demi memuluskan skenario agar Jokowi bisa terpilih lagi menjadi presiden di Pilpres 2024.
Belakangan, satu per satu, pihak-pihak terkait kemudian memberikan bantahan terkait wacana tersebut.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyatakan bahwa di internal MPR saat ini sama sekali tidak ada pembahasan terkait perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden dari dua periode menjadi tiga periode.
Tenaga ahli Kepala Staf Presiden (KSP) Ade Irfan juga menyatakan bahwa wacana masa jabatan presiden tiga periode hanyalah isapan jempol belaka.
Hingga pada puncaknya, Presiden Jokowi sendiri melalui akun media sosial resminya menyatakan bahwa dirinya tidak berminat menjadi presiden tiga periode.
“Saya sama sekali tidak memiliki niat, juga tidak berminat, untuk menjadi presiden tiga periode.” Kata Jokowi.
Belum kering wacana tersebut beredar, kini publik kembali disuguhi dengan wacana yang jauh lebih panas, yakni wacana agar Presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berduet di Pilpres 2024.
Wacana tersebut menguat setelah disinggung oleh Direktur Indo Barometer M Qodari dalam sebuah webinar. Qodari menyatakan bahwa sangat memungkinkan bagi Jokowi dan Prabowo maju bersama di Pilpres 2024 sebagai pasangan capres-cawapres, tentu dengan melewati mekanisme amandemen UUD 1945 terlebih dahulu.
Lebih lanjut, Qodari menyatakan bahwa majunya Jokowi dan Prabowo bisa menjadi skenario yang menarik, sebab majunya dua orang ini kemungkinan besar akan melahirkan Pilpres satu paslon melawan kotak kosong, sebab koalisi pengusung Jokowi dan Prabowo akan sangat dominan sehingga membuat partai-partai lain mau tak mau ikut mendukungnya.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan bahwa UU 7/2017 tentang Pemilu memang memberi celah untuk tersedianya satu paslon capres, kendati demikian, hal tersebut bisa menjadi preseden yang buruk bagi demokrasi.
Nah, kalau memang kelak skenario yang agak aneh itu ternyata benar-benar terwujud (utamanya mengingat sampai saat ini, belum ada tokoh lain yang cukup dominan untuk bisa melawan Jokowi-Prabowo), maka tentu saja majunya Jokowi dan Prabowo menjadi pasangan capres-cawapres di Pilpres 2024 harus didukung penuh.
Bukan apa-apa, saat ini, kita semua tahu bahwa demokrasi di Indonesia memang tengah berada di fase yang sangat mengkhawatirkan.
Menyampaikan pendapat di depan umum, termasuk melalui sosial media kini bukan lagi menjadi hal yang aman dan baik-baik saja. Di masa pemerintahan Jokowi, larangan untuk berkumpul atau berdemonstrasi, pembubaran paksa, pembatasan organisasi, penghalangan informasi, serta intimidasi menjadi hal yang semakin terasa lumrah.
Banyak kebijakan pemerintah yang dianggap represif dan anti-demokrasi. Pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sampai Omnibus Law menjadi sedikit dari sekian banyak contoh.
Dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2020 lalu, Indonesia mencatatkan skor indeks demokrasi terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir dan menempatkan Indonesia masuk dalam kategori negara dengan demokrasi cacat.
Dengan fakta yang demikian, apa saja upaya yang dianggap melemahkan demokrasi harus didukung sepenuhnya. Sebab tampaknya, Indonesia memang sudah jenuh dan ingin keluar dari zona demokrasi. Jadi kalau memang ingin menghancurkan demokrasi di Indonesia ini, sebaiknya memang jangan setengah-setengah. Harus total sekalian.
Nah, bisa majunya kembali Jokowi sebagai capres dan berpasangan dengan Prabowo untuk kemudian melawan kotak kosong tentu bakal menjadi titik balik matinya demokrasi di Indonesia.
Setelah itu, orang-orang akan mencoba memilih sistem pemerintahan yang tepat untuk Indonesia selain demokrasi, sebab tampilnya Jokowi dan Prabowo sebagai presiden dan wakil presiden adalah bukti bahwa demokrasi telah mati.
Salah satu sistem yang tampaknya cukup seksi dan masuk akal untuk dipilih adalah monarki (syukur-syukur monarki absolut). Indonesia bisa mencoba mengupayakan kembali masa-masa jaya nusantara sebagai kerajaan di bawah naungan wadah bernama Majapahit. Kekuasaan penuh ini toh sudah mulai dibiasakan. Jokowi sebagai presiden, anaknya jadi walikota, mantunya pun demikian. Ini kan sudah cukup membuktikan bahwa Jokowi punya bakat dan potensi untuk membawa Indonesia kembali ke masa kerajaan.
Dengan bentuk pemerintahan kerajaan, Indonesia bisa mencoba meromantisasi kejayaan masa lalu, tentu dengan segenap bekal pengalaman dan kegagalan raja-raja di masa silam.
Nantinya, Indonesia bisa menjadi kerajaan besar dengan kerajaan-kerajaan kecil sebagai wilayah keprovinsian di bawahnya.
Sebagai kerajaan dengan segala romantisasi masa lalunya, kehidupan masyarakat Indonesia perlahan akan berubah menjadi masyarakat yang kolosal. Masyarakat yang “Tutur Tinular”. Masyarakat yang “Saur Sepuh”
Mobil-mobil akan berkurang dan perlahan digantikan dengan kuda. Pistol dan senapan bakal hilang digantikan dengan keris dan tombak. Bro dan Sis bakal diganti dengan Kisanak dan Nisanak. Ekstrakurikuler sekolah akan diganti dengan pendidikan ilmu kanuragan. Umpatan bajingan akan diganti dengan haram jadah. Kalau perlu, menu es kopi susu dan boba akan hilang dan diganti dengan tuak.
Kita akan kembali terbiasa melihat orang-orang sakti beradu jurus yang mereka pelajari di padepokan-padepokan yang sudah terakreditasi. Kita akan kembali melihat orang-orang berlatih olah sastra selayaknya Arya Dwipangga. Dokter tak lagi dipanggil dokter, melainkan tabib.
Pokoknya segala lini kehidupan masyarakat akan sangat “kerajaan”. Kurang indah gimana, coba?
Ingat, segala pengalaman hidup indah itu bisa kita wujudkan. Dan langkah pertama untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan mendukung Jokowi-Prabowo sebagai paslon tunggal di Pilpres 2024.
Mari kita mendukung Jokowi-Prabowo untuk Indonesia yang lebih kolosal.
BACA JUGA Mengapresiasi Kericuhan yang Terjadi pada Kongres HMI dan tulisan AGUS MULYADI lainnya.