Menyambut setahun Joko Widodo menjalankan tugas sebagai presiden, anak buah Pak Joko di kabinet menggagas perayaan yang sangat jenial: menggelar pelatihan Bela Negara buat anak TK sampai pensiunan.
Ketika dunia sudah memasuki milenium baru, download video bokep cuma butuh hitungan detik, di Indonesia, tentara tetaplah manusia paling serba bisa. Penjelasan Direktur Bela Negara Kementerian Pertahanan Laksamana Pertama TNI M. Faisal, soal tujuan program latihan bela negara, menegaskan superioritas makhluk bernama tentara itu.
Banyak anak muda pakai narkoba? Latihan fisik ala tentara solusinya, dijamin langsung bersih tanpa rehabilitasi. Jokowi di media sosial tidak lagi dipanggil ‘bapak presiden’? Wah, Anda wajib baris-berbaris dulu, Bung dan Nona, supaya tak lagi selip jari. Anak SD lebih doyan nonton Elif daripada Tukang Bubur Naik Haji? Gila semuanya, inilah tanda-tanda degradasi moral, hayok semua masuk ke barak!
Tentara selalu diandaikan lebih efisien. Lebih tegas. Lebih berani. Pokoknya serba bagus-bagus. Ini jelas guyonan lama yang bersemi kembali. Perkara meninggikan kualitas individu tentara, dibanding sipil dan polisi, jelas guyonan basi yang melulu diulang-ulang. Bila sehebat itu nasionalisme para kombatan berseragam, untuk apa mereka harus beraksi bak mafia di Lapas Cebongan, lalu menolak diadili sipil dengan alasan jiwa korsa?
Lantas yang di banyak provinsi masih sering tawuran dengan Brimob, menghambur-hamburkan peluru yang dibiayai pajak rakyat itu, memangnya ulah rombongan anak SMK? Siapa pula itu di Paniai, Papua, yang menembaki anak-anak SMP saat mabuk kemudian ngumpet ke barak?
“Oh, cuma oknum!” Frasa sakti ini mirip doktrin OSPEK yang meyakini senior tak pernah salah.
Bagi Kemenhan, program bela negara adalah pengejawantahan revolusi mental secara konkret. Dan kalau diamati lebih jeli, setahun terakhir, sepertinya memang hanya jargon itulah yang paling sukses diwujudkan oleh kabinet Jokowi dibanding macam-macam program ekonomi riil.
Revolusi yang dimaksud tentu menyiapkan mental masyarakat melihat rombongan tentara kembali berperan di pos-pos sipil.
Saya sempat tertawa ngakak sewaktu mendengar Babinsa TNI, saat itu masih era Panglima Jenderal Moeldoko, diminta pemerintah menjadi relawan penyuluh pertanian. Alasannya, Babinsa lebih efektif mendampingi petani daripada sarjana yang cuma makan bangku sekolahan. Saat berita itu baru sebatas wacana, teman saya berseloroh, “Ya jelas efektif, jagung sama padi lebih suka memacu dirinya sesubur mungkin daripada dibentak-bentak. Hama tikus atau wereng pun malas kalau disuruh push up dan menghabiskan sabun sekali mandi gara-gara nekat menggasak isi sawah.”
Ketika program Babinsa masuk sawah itu benar-benar diwujudkan Maret lalu, saya segera mingkem. Bahkan saya benar-benar melongo saat melihat administrasi presiden, yang dielu-elukan tahun lalu karena dinilai mewakili daulat sipil, rupanya sangat serius mengajak kalangan kombatan mengurus banyak hal di luar isu pertahanan.
Tentara diikutkan menjaga bandara, stasiun kereta api, terminal bus, bahkan, tidak malu-malu menawarkan diri sebagai wasit penjaga keamanan ketika KPK bentrok lawan Polri. Kalau sudah begini, tinggal tunggu waktu sampai tentara nyambi jadi anggota redaksi mojok.co.
Jokowi sudah fitrahnya sulit memiliki citra tegas, bila yang dibayangkan dari ketegasan semacam berapi-api saat pidato atau tampak fotogenik mengenakan seragam militer. Tahun lalu, 70,6 juta rakyat memilihnya dalam pilpres justru karena Jokowi diyakini lebih efektif memerintah dibanding jenderal yang menggilai kuda dan macan.
Untuk membuktikan nyalinya, padahal, presiden tinggal menggunakan kewenangannya secara serius buat menghukum perusahaan pembakar lahan, memperkuat perekonomian desa, atau menyiapkan skema pengurangan ongkos transportasi laut. Seiring waktu, dalam rangka mengamankan posisi tawar politik, tampaknya Jokowi memilih jalan pintas paling gampangan: menggandeng para pemegang bedil sambil menyodorkan blanko kosong kekuasaan di ranah sipil.
Ketika Jokowi dan politikus sipil lainnya mendadak berpaling ke tentara untuk menyelesaikan semua urusan yang rumit-rumit, sebetulnya masih bisa dipahami. Mereka toh memang produk Orde Baru yang menjalanken daripada itu dwifungsi ABRI, secara murni dan konsekuen. Generasi Jokowi tumbuh melihat perwira lulusan Magelang selalu memperoleh jatah menjadi bupati atau gubernur dari Sabang sampai Merauke, dan situasi sosial politik melulu adem. Formula “ajak tentara = aman tentram” ini bisa saja masih membekas di benak mereka. Ya iyalah, kalau kritis sedikit sama Pak Danramil, situ dibedil, Bung.
Tapi bagaimana dengan masyarakat? Kenapa warga sipil yang mengalami trauma penindasan Orba, kini sebagian menyambut positif kembalinya militer mengurusi bidang yang bukan wewenangnya?
Saya menduga, situasi ini terkait dengan kacau-balaunya tatanan hukum dan politik di parlemen. Ketika lembaga peradilan korup, sedangkan anggota DPR mengumbar bacot tanpa substansi, tumbuhnya rasa muak masyarakat adalah reaksi yang sangat wajar.
Saya teringat sebuah negara yang kondisinya mirip Indonesia kiwari. Akhir 1920-an, politikus sipilnya lebih sering bertengkar daripada menghasilkan undang-undang strategis menjaga kepentingan masyarakat. Penegak hukumnya korup tanpa malu-malu. Ketika muncul tawaran pemerintahan bertangan besi, rakyat bersukacita menyambut. Pemerintah yang tegas, disiplin, dan sangat cinta tanah air itu, satu dasawarsa kemudian, menyeret rakyatnya ke jurang kehancuran lantaran keblinger perang di sana sini.
Negara itu adalah Jepang.
Omong-omong, siapa berani menjamin tujuan akhir ‘manunggaling TNI-Sipil’ dalam program bela negara kali ini, bukan pembentukan angkatan perang darurat?
Rupanya Pak Bos Ryamizard Ryacudu segera mengaku sejak awal saat konferensi pers. Si jenderal galak itu bilang, “Kalau kedaulatan kita disinggung, kalau perlu kita perang. Kalau perang seluruh komponen harus mempertahankan negara. Itu namanya perang rakyat semesta.”
Ya memang itu-itu saja sih tujuan akhir guyonan dwifungsi, multifungsi, atau apalah istilahnya. Dulu ada konsep Pertahanan Sipil (Hansip), ada juga sekolah ajudan bupati yang lebih banyak mengajari persiapan perang. Hasilnya sebatas melahirkan sipil mahir menggebuk dan membentak, tak kalah garang dari tentara.
Soal membuka lapangan kerja, menyiapkan infrastruktur kesehatan memadai bagi warga miskin di wilayah terdepan Indonesia, menjamin energi terbarukan bisa diakses sebanyak-banyaknya populasi—hal-hal yang bisa menjamin nasionalisme warga—tentu bukan urusan pelatih baris-berbaris yang membentak Anda di siang bolong.
Mengutip komentar rekan saya Habib Asyhad di Facebook: bagaimana bisa dia dipaksa mencintai negara ini, bila orang tuanya banting tulang jadi buruh migran membiayai pendidikannya pakai duwit ringgit Malaysia, bukan rupiahnya Indonesia?
Pertanyaan Habib silakan Anda yang menjawab. Saya harus bersiap karena sepertinya nama saya masuk daftar awal yang dipanggil Rindam Jayakarta untuk latihan fisik, supaya lebih cinta Tanah Air.
Doakan saya bisa dapat kartu, khas rezim Jokowi, tanda lulus pelatihan bela negara. Seandainya kartu ini belum dinamai, saya usul sebutannya Kartu Indonesia Fasis.
Sebab terlalu berbahaya bagi pemerintah bila rakyat cuma dibekali kartu yang membikin mereka sehat dan pintar.